Oleh Ainul Mizan
Mediaoposisi.com-“Betapa sadisnya negeriku ini”. Ya, hanya kalimat itu yang bergumam di mulut dan membuat miris di hati. Akhir – akhir ini kasus pembunuhan menjadi topik hangat. Bukannya berkurang, justru angka pembunuhan cenderung mengalami peningkatan. Apakah rasa kemanusiaan sudah terkikis oleh kejamnya persaingan hidup? Apakah manusia di abad moderen ini bisa lebih kejam dibandingkan dengan binatang?
Kasus pembunuhan yang sempat terungkap di antaranya pembunuhan terhadap satu anggota keluarga di Bekasi. Keluarga Nainggolan yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua anaknya menjadi korban pembunuhan. Begitu pula kasus pembunuhan yang menimpa Dufi oleh orang yang tidak dikenal.
Selubung Sekulerisme.
Setiap terjadi sebuah kejahatan tentunya harus diselesaikan dengan langkah hukum yang tepat. Ibarat senjata yang dipakai untuk menghadapi musuh, tentunya penggunaan senjata disesuaikan dengan kebutuhan dan kaidah meniadakan kemudhorotan. Yang sering menjadi sasaran tembak persekusi adalah hukum – hukum sangsi di dalam Islam.
Hukum Qishosh atau balas bunuh dituding sebagai hukum bar – bar, melanggar HAM dan tidak sesuai dengan alam demokratis. Padahal kalau bersikap adil tentunya akan terlihat bahwa hukum balas bunuh itu dilakukan ketika tidak ada pengampunan dari keluarga korban. Begitu pula hukum Islam terhadap perilaku zina. Hukum cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah dan hukum rajam bagi pezina yang sudah pernah menikah tidak luput dari sasaran persekusi.
Risalah jihad dengan memberikan 3 tawaran kepada negara musuh dipandang sebagai sikap pemaksaan akan agama dan kepercayaan tertentu. Tiga tawaran tersebut adalah bersedia masuk Islam, bersedia tunduk pada penerapan syariat Islam dan atau diperangi. Dengan bersembunyi di balik tameng kebebasan beragama dan berkeyakinan, hukum – hukum sangsi Islam dicap sebagai simbol keterbelakangan.
Akibatnya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara nihil dari sentuhan hukum Islam. Perzinaan pun tidak ada delik kejahatannya selama tidak ada pelaporan. Alasan dilakukan atas dasar suka sama suka, menjadi pembenar kekejian ini merajalela. Sangsi berupa penjara menjadi ganti hukum qishosh atas kejahatan pembunuhan, yang kerapkali menyisakan rasa ketidakadilan bagi keluarga korban.
Persekusi yang terus menerus dilakukan menjadikan umat Islam tidak berani hanya untuk sekedar mengatakan bahwa jihad sebagai perang di jalan Allah adalah bagian dari ajaran Islam. Sementara di satu sisi, TV – TV di rumah mereka hampir tiap hari tidak sepi dari berita – berita akan arogansi Amerika Serikat yang bertameng perdamaian internasional guna memaksakan nilai – nilai Amerika.
Tidak sekedar mengenai seperangkat sangsi atas kejahatan. Selubung sekulerisme juga menyasar semua lini kehidupan. Pengaturan pergaulan sosial antara laki perempuan jauh dari nilai Islam. Aurot bergentayangan di mana – mana. Gaul bebas menjadi trend jaman. Ujung – ujungnya polisi dibuat ribet untuk melakukan sweeping hotel – hotel, dan tempat – tempat hiburan malam.
Kebijakan di bidang pendidikan. Pendidikan agama hanya sebagai nilai - nilai moral individual yang tidak lepas dari nuansa menghafal, ujian lalu nilai bagus, selesai. Pengaruh bagi kehidupan tidak diambil pusing. Sedangkan di satu sisi pada aspek ekonomi, betul - betul terjadi liberalisasi ekonomi. Setiap individu rakyat menjadi single fighter.
Negara hanya berfungsi layaknya satpam. Yang kuat bisa bertahan. Yang lemah tergerus oleh mesin - mesin ekonomi yang tidak punya perasaan. Harga melambung tinggi. Sensitivitas individual ikut melambung tinggi. Sakit hati bisa menjadi sebuah alibi untuk melakukan upaya penghilangan hak hidup orang lain.
Lengkap sudah. Banyak yang akan menjadi kambing hitam dalam aksi - aksi nekad seperti itu. Keimanan yang lemah hasil dari pendidikan berbasis sekulerisme. Pergaulan yang tidak islami. Kesenjangan ekonomi yang parah dan banyak yang lainnya.
Membingkai Solusi
Adalah hal yang wajar jika banyak orang yang berharap agar angka kejahatan berkurang. Akan tetapi ekspektasi dengan kenyataan seringkali tidak berjalan harmonis. Ingin mengurangi angka pembu-nuhan, justru akhir – akhir ini menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Hukum pidana yang divoniskan layaknya macan ompong. Tidak ada efek jera.
Terbersit pertanyaan, akankah hukum sangsi dalam Islam akan dilirik? Kalaupun ada ketertarikan untuk mengambilnya, tentunya tetap ada asas manfaat. Paling tidak pada tataran awal, hukum sangsi Islam menjadi sebuah opsi. Ibarat memungut sesuatu yang menarik hati sambil tetap berjalan. Bisa diprediksi bahwa mengambilnya akan sepotong sepotong.
Dalam tataran praktis tentunya hukum sangsi dalam Islam bisa menjadi solusi instan. Ambil contoh, hukum qishosh diterapkan. Dalam jangka pendek bisa memberikan kepuasan bagi keluarga korban. Ada hukuman setimpal bagi pelaku. Lantas apakah penerapan hukum Qishosh ini akan bisa menjamin keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara?
Sementara itu dalam ekonominya, pergaulan sosial laki perempuan di samping pendidikannya masih dalam bingkai sekulerisme. Betul – betul jauh dari Islam. Nanti dikuatirkan akan timbul kedholiman yang dilakukan negara terhadap rakyatnya.
Penerapan sekulerisme pada bidang ekonomi tentunya akan menyebabkan tingginya angka kemiskinan. Padahal menurut Imam Ali ra, bahwa kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran. Sedangkan bentuk kekufuran itu termasuk di dalamnya adalah membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Jadi memberangus kejahatan berupa pembunuhan selain dengan langkah pembinaan menguatkan iman dan taqwa dan menerapkan sangsi hukum yang tegas berasal dari aturan Sang Pencipta, adalah dengan membuang Sekulerisme dari semua bidang kehidupan, dengan cara mengambil aturan Islam secara utuh dan paripurna.
Hanya dengan inilah kehidupan berbangsa dan bernegara diliputi oleh nilai keimanan dan ketaqwaan. Tidak percaya…, mari dibuktikan saja![MO/ge]