Mediaoposisi.com-Persoalan TKW seperti tidak ada habisnya untuk dibicarakan dan sering menghiasi media-media pemberitaan.
Kasus-kasus yang menimpa pekerja migran tersebut selalu terulang dan anehnya seperti tidak ada solusi untuk menyelesaikannya?
Diantara kasus-kasus tersebut yang sering menimpa para TKW adalah penyiksaan, pelecehan seksual dan perkosaan yang berujung pada hukuman mati. Kasus yang selalu berulang dan berulang sebagaimana yang baru-baru ini terjadi yang menimpa Tuti Tursilawati seorang TKW asal Majalengka yang bekerja di Arab Saudi. Tuti Tursilawati dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi, senin 29 Oktober 2018, atas tuduhan pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan TKW biasanya karena membela diri dari ancaman perkosaan.
Menurut penuturan Anis Hidayah Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, beberapa kasus yang divonis mati 66 persennya adalah tuduhan pembunuhan, 14 persen dituduh sebagai kurir narkoba, dan 14 persen lainnya terancam hukuman mati dengan tuduhan sihir. Dan pekerja migran yang menghadapi hukuman mati 72 persennya adalah perempuan. (TEMPO.CO)
Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah guna melindungi pekerja migran tersebut? Pemerintah menyatakan berkomitmen tinggi dalam perlindungan terhadap pekerja migran yang bekerja di luar negeri bahkan dimulai sejak dari perekrutan hingga mereka kembali ke tanah air. Sidak oleh kepolisian dan Kementerian Ketenagakerjaan (kemnaker) juga gencar dilakukan termasuk penggerebekan terhadap penampungan-penampungan pekerja migran ilegal. Hal ini dimaksudkan agar siapapun yang bekerja di luar negeri harus melalui proses yang resmi sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah daerah juga dituntut terlibat aktif dalam pengurusan dan perlindungan pekerja migran. Desentralisasi perlindungan pekerja migran dengan pelayanan satu atap di seluruh kabupaten dan kota terutama di kantong-kantong TKI (pekerja migran).
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah tapi tetap saja permasalahan ini terus terjadi, upaya yang dilakukan adalah perlindungan hukum terhadap kasus yang dialami oleh pekerja migran. Lalu bagaimana upaya pemerintah terhadap pencegahan tindak kekerasan, penyiksaan, pelecehan bahkan perkosaan yang siap mengintai para buruh migran?
Tindak kekerasan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang dialami pekerja migran perempuan ternyata tidak menyurutkan keinginan para perempuan untuk bekerja di luar negeri. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan yang paling mendasar bagi mereka. Terbatas nya lapangan kerja sehingga para suami tidak memiliki pekerjaan, dan iming-iming gaji yang besar dibandingkan di negeri sendiri membuat mereka tertarik untuk bekerja di luar meskipun bahaya mengintai.
Fakta bahwa kemiskinan terus bertambah menjadi pertanyaan besar, mengapa? Negeri ini kaya dengan sumber daya alamnya, baik sumber daya mineral maupun sumber daya hayati dari Sabang sampai Merauke tapi penduduknya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi oleh negara telah menjadikan SDA negeri ini dieksploitasi, SDMnya pun tak luput dari eksploitasi terutama dari kaum perempuan. Negeri yang kaya ini tidak lagi mampu menjamin kesejahteraan penduduknya.
Sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai swasta, subsidi dari pemerintah berangsur-angsur dicabut, dan BUMN satu persatu diprivatisasi. Amanah UUD 1945 pasal 33 dan 34 tidak berjalan dengan semestinya justru malah sebaliknya, pengelolaan SDA untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan kapitalis.
Bertolak belakang dengan sistem kapitalis, menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).
Negara wajib mengurusi rakyatnya, mengelola SDA untuk kesejahteraan rakyat. Menciptakan lapangan kerja agar para suami memiliki sumber penghasilan hingga dapat menafkahi keluarga begitu juga biaya pendidikan dan kesehatan gratis atau semurah-murahnya. Dengan demikian dengan terpenuhinya kebutuhan mendasar maka kaum perempuan tidak perlu bekerja mencari nafkah bahkan sampai ke luar negeri karena pada hakekatnya kewajiban nafkah adalah kewajiban yang dibebankan kepada suami.
Para isteri akan kembali kepada tugasnya sebagai Ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumah tangga. Anak-anak akan berada dalam pengasuhan ibunya bukan pada ayahnya, bibi atau pamannya ataupun nenek dan kakeknya.
Lalu apakah perempuan/istri tidak boleh bekerja? Dalam Islam, bekerja mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Di antaranya:
Pekerjaan nya tidak menggangu tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Harus dengan izin suami, karena istri wajib taat pada suami.
Tidak menampakkan aurat, memakai pakaian syar’i.
Tidak tabaruj (berhias) dan memakai wewangian.
Aman dari fitnah.
Demikianlah Islam mengatur sedemikian rupa, individu hingga negara. Syariat Islam adalah aturan yang paling tepat bagi umat manusia untuk mengatur dan menertibkan kehidupan.
Islam tidak menjaga kehormatan perempuan, menjaga kehormatan rumah tangga, dan menjaga kehormatan negara. Berbeda dengan sekularisme kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi dan merusak kehormatan perempuan, kehormatan rumah tangga, dan kehormatan negara.[MO/an]