Oleh: Bang Ochim
(Aktivis DAKWAHKITA)
Mediaoposisi.com-“Soal khilafah, bukan soal umat belum siap. Tapi kalianlah yang belum menyiapkan umat!”
Poin penting itu disampaikan oleh Ir. Ismail Alwahwah, petinggi Hizbut Tahrir Australia dalam sebuah pidatonya. Ia juga menyampaikan pesan kepada para ulama agar membuka diri terhadap khilafah, salah satu ajaran Islam terkait kepemimpinan dan pemerintahan.
“Wahai ulama kaum muslimin, ketika disebut khilafah, kalian selalu mengatakan umat belum siap. Padahal kalianlah yang belum siap dan tidak menyiapkan umat. Kalian membahas semua persoalan, thoharoh, wuddlu, haid dan nifas, tapi tidak mau membahas khilafah. Kalian mengambil semua hukum dari Al-Quran, tapi giliran masalah politik, kalian pergi ke Amerika, Eropa, Inggris, dan lain-lain.”
Kritik yang dilancarkan Ismail bukannya tanpa alasan. Jika sistem kepemimpinan Islam, yaitu khilafah, belum bisa diterima masyarakat, tentu yang menjadi sorotan adalah kaum ulamanya. Bukankah ulama adalah pewaris para Nabi, para penyampai ilmu dan ajaran Sang Baginda Nabi saw?
Jika tata cara salat, thoharoh, wuddlu, haid dan nifas, waris, nikah, harus dilakukan sesuai tata cara yang telah dicontohkan Rasulullah saw, begitu pula seharusnya dengan tata cara pemerintahan dan kepemimpinan. Seperti apa seharusnya kaum muslim berpolitik serta membangun sebuah kepemimpinan, pemerintahan, dan negara? Tentunya juga harus merujuk pada tata cara yang telah dicontohkan Rasulullah saw.
Sayangnya, bicara soal khilafah, ada tokoh yang dianggap ulama dan panutan golongan tertentu justru memusuhi ajaran Islam yang satu ini. Khilafah dianggap tidak sesuai dengan karakter bangsa. Khilafah dianggap anti-kebhinekaan. Parahnya, meskipun khilafah bukan ideologi, tetapi ada yang menganggapnya sebagai sebuah ideologi yang berbahaya.
Belum siapnya umat dengan politik dan sistem kepemimpinan Islam bukan tanpa sebab. Bisa jadi umat belum mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah membangun sebuah institusi negara. Jika belum tahu, bagaimana mereka siap menerima kekhalifahan, sebuah sistem kepemimpinan yang akan menebarkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam ini?
Mempersiapkan penduduk Madinah
Tiga belas tahun Rasulullah berdakwah di tanah kelahirannya, Mekah. Segala penderitaan dialami beliau dan para sahabat akibat persekusi kaum kafir Quraisy. Dihina, difitnah, disiksa, hingga pembunuhan mereka alami. Dengan ajaran Islam yang dibawanya, Rasulullah saw dianggap memecah-belah persatuan Quraisy, menghina tradisi dan ajaran nenek moyang, dan beragam tuduhan lainnya.
Dengan segala daya upaya, kaum Kafir Quraisy mencoba menghentikan dakwah Islam. Kemana pun Rasulullah berdakwah, pamannya—Abu Jahal—selalu mementahkan seruannya. Apakah hal tersebut menyurutkan dakwah Islam?....Ternyata tidak.
Dakwah terus berlanjut. Rasulullah pun meminta bantuan beberapa kabilah Arab agar menolong dakwah Islam. Beberapa kabilah menolak dengan beragam alasan. Sebagiannya tidak hanya menolak, tetapi juga melecehkan beliau saw.
Hingga di suatu musim haji, beliau bertemu dengan kafilah dari Yatsrib yang mau menerima dakwah Islam. Dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam mengungkapkan bahwa angkatan pertama penduduk Yatsrib yang menerima Islam ini sebanyak 6 orang.
Kafilah ini pun kembali ke Yatsrib dan mendakwahkan Islam. Mereka bercerita kepada penduduk Yatsrib tentang Rasulullah saw. Tak hanya itu, mereka mengajak para penduduk untuk memeluk Islam hingga Islam menyebar luas di tempat mereka. Bahkan dikatakan, tidak ada satu rumah pun dari rumah Anshar melainkan di dalamnya terdapat pembahasan tentang Rasulullah saw.
Apakah dakwah Islam di Yatsrib selamanya berjalan mulus?.....Tidak juga.
Paska-Baiat Aqabah I, Rasulullah saw mengirim Mushab bin Umair, duta pertama Rasulullah untuk mendampingi dakwah di Yatsrib. Meskipun berdakwah dengan santun, Mushab masih sempat mendapat intimidasi fisik dari beberapa tokoh Yatsrib. Namun, dengan kematangan diplomasinya, sang duta Rasulullah ini justru mampu mengislamkan para pengancamnya. Dengan masuk Islamnya para tokoh tersebut, masuk Islam pula para pengikutnya.
Dengan dakwah, Rasulullah dan kaum Muhajirin akhirnya mendapatkan pembelaan dari kaum Anshar. Tak hanya perlindungan, penduduk Yatsrib bahkan menjadikan Rasulullah sebagai pemimpin sekaligus menegakkan negara Islam pertama, yaitu Madinah.
Mungkinkah penduduk Yatsrib menerima Islam sebagai agamanya dan menerima Rasulullah saw tanpa dakwah? Mungkinkah penduduk Yatsrib menerima Rasulullah saw sebagai pemimpin mereka dan yang memutuskan segala perkara di antara mereka tanpa persiapan?
Kembalinya era khilafah ala minhajin nubuwwah
Kembalinya era khilafah telah dikabarkan dalam sebuah sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Dari Hudzaifah bin Yaman ra, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17).
Kembalinya era Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah) ini seharusnya menjadi kabar gembira bagi kaum muslimin. Artinya, kepemimpinan kaum muslimin akan kembali pada era di mana Khulafaur Rasyidin dulu menjabat kepemimpinan. Inilah era sepertidi mana Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib menjabat kepemimpinan.
Di bawah kepemimpinan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kaum muslimin akan kembali berkumpul di bawah satu bendera persatuan. Artinya, kaum kafir zalim penindas dan antek-antek oportunisnya akan ditendang ke luar dari basis-basis kaum muslimin.
Di bawah kepemimpinan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, rakyat negara Islam, baik muslim dan nonmuslim akan mendapat persamaan perlakuan di muka hukum peradilan Islam. Ini bukan fiksi, karena konsep hukum tentang hak perlindungan ini ada dalam ajaran Islam, begitu pula fakta real sejarah penerapannya di masa kekhalifahan. Anda bisa mencari informasinya di buku-buku sejarah Islam yang ditulis oleh para penulis yang kredibel, yang mewakili kaum muslimin dan bukan para pembencinya.
Di bawah kepemimpinan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, hukum ditegakkan seadil-adilnya. Artinya, hukuman berat telah menanti para koruptor, penyuap, penjual aset negara, perampok, maling yang tamak, para pembunuh, pezina, pelaku LGBT, serta pelaku maksiat dan amoral lainnya.
Ketika khilafah tegak dan syariat Islam diterapkan, khilafah juga akan mengembalikan hak kepemilikan umat. Menghormati private property, mengembalikan hak kepemilikan umum, serta mengoptimalkan harta negara untuk menyelenggarakan aktivitas negara agar berdikari. Menendang jauh-jauh para cukong yang hendak menyuap, membeli loyalitas aparat negara, untuk membela kepentingan pribadi dan golongannya.
Lantas, atas dasar apa takut pada kembalinya era khilafah, terlebih era yang hadir adalah Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah?
“Wahai kaum Muslimin, jangan kalian takut kepada mereka (kekuatan non-Islam, pen.). Mereka punya otak, kita juga punya otak. Mereka punya kecerdasan, kita juga punya kecerdasan. Mereka punya kekuatan, kita juga punya kekuatan. Tapi kita punya Allah, sedang mereka punya syetan. ” seru Ismail.
Tak perlu lagi ada alasan umat belum siap. Meskipun dalam tekanan, dakwah harus tetap terus berjalan. Seperti kata Ismail, “Jika darah-darah kita bukan untuk Islam, lalu untuk apa? Jika segala pengorbanan kita bukan untuk Islam, lalu untuk apa?”
Jadilah Mushab bin Umair, jangan jadi Abu Jahal.[MO/sr]