Oleh: Hafshah Damayanti, S.Pd
Mediaoposisi.com- Kembali niat pemerintah untuk menjadikan pajak sebagai primadona pendapatan negara akan diwujudkan sungguh-sungguh. Kali ini mahasiswa lulus yang dibidik pemerintah sebagai wajib pajak. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Riset Teknologi & Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir, meminta para rektor mengurus para mahasiswa wisuda untuk langsung mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP).
Menurut Menristekdikti tersebut ada 1,8 juta mahasiswa yang lulus setiap tahunnya. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap para mahasiswa yang lulus bisa menjadi wajib pajak patuh dalam rangka upaya membangun Negara. Katadata.co.id(9/11/2018).
Kebijakan pemeritah tersebut tidaklah mengherankan. Tahunlah lalu pemerintah telah melakukan satu terobosan agar kepatuhan akan pajak telah tertanam di masyarkat sejak dini. Belajar dari pengalaman, bahwa masih banyak rakyat yang belum taat pajak. Pemerintah bertekad mencetak generasi patuh pajak dengan memasukkan materi kesadaran pajak ke dalam Kurikulum Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sudah menandatangani perjanjian kerjasama Eselon I di lingkungan Kemendikbud terkait pembelajaran materi kesadaran pajak di SD, SMP, SMA dan jenjang perguruan tinggi. Bahkan Ditjen pajak menegaskan, bisa saja nanti, pegawai pajak akan mengajar seminggu sekali di SD, SMP,SMA dan perguruan tinggi. kompas.com(11/8/2017).
Keinginan pemerintah agar rakyat makin taat pajak seiring nafsu pemerintah untuk terus menaikkan target penerimaan pajak. Pada tahun 2018 ini saja pemerintah telah menargetkan penerimaan pajak Rp1.424 triliun dan dipastikan target akan dinaikkan lagi pada tahun 2019 menjadi Rp1.781 triliun. Hal ini wajar, karena pemerintah saat ini masih setia dengan sistem ekonom kapitalisme.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadi ruh dalam setiap kebijakan ekonominya. Termasuk menentukan sumber-sumber penerimaan negara. Dengan gaya kapitalisme, pemerintah berlagak sebagai raja dihadapan rakyat semasa feodalisme. Tak ingin bersusah payah, rakyat adalah sumber pendapatan negara karena potensi finansial yang menggiurkan dimiliki rakyat.
Jika pada masa kerajaan, rakyat harus menyerahkan berbagai upeti sedangkan kini pungutan pajak menanti. Maka tak heran, struktur APBN yang dibuat pemerintah pun menempatkan 83% dari total pendapatan negara berasal dari pajak. Sementara atas nama investasi, kekayaan alam negeri ini yang berlimpah dibiarkan begitu saja dijarah oleh penjajah asing dan aseng.
Dalih pajak untuk pembangunan dan kepentingan rakyat sejatinya adalah untuk menutupi pemerintah sebagai tukang palak bagi rakyatnya. Bak sapi perah, pemerintah tega membebani rakyatnya dengan seabrek pungutan pajak. Pemerintah mendadak kreatif dan inovatif saat menentukan tarif pajak bagi rakyat.
Mulai dari pungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan lain sebagainya. Walau beragam pajak tersebut belumlah berkorelasi langsung bagi kesejahteraan rakyat, namun beban hidup kian berat sudah pasti. Tentu saja rakyat tak punya pilihan menolak pajak karena sanksi dan denda didapat jika tak taat.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam sebagai aturan kehidupan yang sempurna diturunkan oleh Zat Yang Maha Sempurna. Berkaitan dengan pajak, Islam tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan tetap bagi negara. Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum muslimin dan masuk ke Baitul Mal adalah:
1. Fa’i (Anfal, Ghanimah, Khumus);
2. Jizyah;
3. Kharaj;
4. ‘Usyur;
5. Harta milik umum yang dilindungi negara;
6. Harta haram pejabat dan pegawai negara;
7. Khumus Rikaz dan tambang;
8. Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris;
9. Harta orang murtad.
Sedangkan pajak, diberlakukan saat kondisi keuangan Baitul Mal kosong yang dibebankan hanya kepada kaum muslimin yang mampu. Dan bersifat sementara, tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Pajak diambil saat Baitul Mal tidak memiliki dana untuk membiayai sejumlah Pos dan kewajiban karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslimin.
Adapun kewajiban dan Pos yang wajib dibiayai, dalam kondisi apapun adalah:
1. Biaya jihad;
2. Biaya industri perang;
3. Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibnu sabil;
4. Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum muslimin;
5. Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum; serta 6. Biaya penanggulangan bencana alam.
Walhasil, pajak dalam Islam bukan lah sebagai sumber pendapatam negara untuk membiayai pembangunan apalagi menjadi ajang bancakan korupsi pejabat negara. Dalam Islam, negara tak akan pernah membebani rakyat dengan aneka pajak tanpa pandang bulu. Karena sejatinya negara dalam Islam adalah pelayan bagi rakyat bukan preman yang gemar memalak rakyat tanpa belas kasihan.
[MO/sr]