Ahmad Rizal
(Dir. Indonesia Justice Monitor)
Dekrit yang disepakati saat Perdamaian Westphalia membantu meletakkan dasar atas apa yang menjadi negara bangsa modern, yang menetapkan bahwa tiap warga negara harus tunduk terutama pada hukum dan pemerintah mereka sendiri. Negara-bangsa menjadi entitas pemerintahan dasar dan sejak itu mendominasi politik global. Bangsa, dan bukan suku atau klan, membuat hubungan dengan negara lain dan itu adalah otoritas eksekutif, yang biasanya terpilih, untuk mengelola urusan bangsa itu. Negara bangsa saat ini menjadi pusat wacana politik dan analisis politik. Pada sebagian besar abad ke-20, negara-bangsa, dengan batas-batas yang jelas, telah menjadi model politik terkemuka. Saat ini ada sekitar 200 negara yang secara global diatur oleh etnis, ideologi, nasionalisme atau bahkan agama.
Para politisi dan cendekiawan dan bangsa-bangsa tidak dapat lagi memikirkan diri mereka sendiri dalam konteks nasionalisme yang melahirkan negara-negara modern di era industri. Mereka sekarang dipaksa untuk berpikir dalam konteks internasional baru karena globalisasi berarti bahwa bangsa-bangsa tidak dapat lagi memikirkan diri mereka sendiri dalam isolasi ke seluruh dunia. Tumbuhnya saling ketergantungan antar negara yang didorong oleh perubahan dalam struktur ekonomi global, hubungan internasional dan kemajuan teknologi memaksa orang untuk mempertanyakan sifat negara bangsa dan organisasi-organisasi sosial. Globalisasi menangkap elemen-elemen persepsi yang tersebar luas bahwa ada perluasan, pendalaman, dan percepatan keterkaitan di seluruh dunia dalam semua aspek kehidupan, mulai dari aspek budaya hingga aspek kriminal, aspek keuangan hingga lingkungan. Yang menjadi masalah adalah ‘pergeseran global,’ yaitu dunia yang dibentuk, oleh kekuatan ekonomi dan teknologi, ke dalam arena ekonomi dan politik bersama. Anthony Giddens, yang dianggap sebagai sosiolog modern terkemuka, mengatakan: “globalisasi adalah restrukturisasi dari cara kita hidup” dan “era negara bangsa telah berakhir.”
Globalisasi hanyalah salah satu tren yang telah menantang negara bangsa. Legitimasi dan efektivitas negara bangsa juga dipertanyakan. Negara bangsa dimaksudkan untuk mewakili rakyatnya dan secara efektif mewakili kehendak nasional. Namun di semua negara, semua pemerintah mewakili segmen populasi yang semakin sempit yang memiliki sebagian besar kekayaan negara dan dengan demikian memiliki pengaruh yang tidak proporsional atas bangsa. Survei global terus menunjukkan bahwa sebagian besar orang merasa pemerintahan tidak diatur oleh kehendak rakyat dan mereka menyatakan sedikit minat pada parlemen nasional, partai politik dan pemerintah. Salah satu alasan utama untuk hal ini adalah ketimpangan ekonomi, karena orang kaya memiliki pengaruh besar terhadap kepemimpinan politik dan institusi politik. Hal ini telah menjadi rusak karena pemerintah sangat melayani kepentingan kaum elit ekonomi yang merugikan rakyat jelata. Laporan Oxfam mengakui hal ini: “Sejak akhir tahun 1970-an, peraturan yang lemah tentang peran uang dalam politik telah memungkinkan individu dan perusahaan-perusahaan kaya untuk memberikan pengaruh yang tidak semestinya atas pembuatan kebijakan pemerintah.” Negara bangsa semakin dilihat bekerja untuk sedikit rakyat dan dengan demikian tidak memadai eksistensinya di abad 21.
Wael B. Hallaq dalam bukunya, The Impossible State, menyatakan ada lima karakteristik negara modern. Pertama: Negara modern adalah produk sejarah Eropa dengan latar belakang sosial budaya tertentu yang melingkupinya. Kedua: Perkembangan konsep kedaulatan negara serta konsep metafisik yang mendasarinya. Ketiga: Monopoli negara dalam melahirkan undang-undang. Keempat: Keberadaan aparatur dan birokrat negara. Kelima: intervensi negara dalam hal tatanan budaya dan sistem sosial.
Hal serupa ditengaskan oleh Carl Smith dalam bukunya, Political Theology, bahwa konsep-konsep yang muncul dalam teori-teori modern tentang negara seluruhnya dibangun di atas teologi sekularisme. Memang demikianlah kenyataanya. Kini konsep kedaulatan rakyat benar-benar telah menggantikan kedaulatan Allah SWT. Undang-undang telah mengalahkan kitab suci. Bahkan paham kebangsaan telah menggeser peran gereja; orang yang mati karenanya dianggap “syahid”. Dengan kata lain, teologi keagamaan telah pudar dan diganti oleh teori bernegara. Konsep tuhan sebagai pembuat hukum tak lagi berdaya di hadapan para pembuat undang-undang yang banyak bermoral rusak.
Singkat kata, sejarah Eropa yang melahirkan konsep negara modern telah merombak tatanan sistem politik Barat, dari konsep teologi gereja menuju pandangan sekular yang memisahkan agama dari urusan publik.
atan adalah Niccolٍ Machiavelli. Dia adalah seorang pemikir Italia yang hidup pada masa peperangan. Oleh sebab itu, tak heran bila ia membangun teori-teorinya di atas asumsi bahwa manusia adalah musuh manusia lain. Machiavelli meyakini bahwa manusia adalah makhluk munafik, serakah dan tamak. Menurut dia, sifat-sifat itu tidak mungkin diubah. Seluruh manusia adalah tiran. Perbedaan antara orang yang benar-benar tiran dan yang tampak normal hanyalah pada aspek kesempatan belaka. Siapa saja yang mendapatkan kesempatan dan sarana untuk berlaku diktator dan penindas maka ia pasti melakukannya. Oleh sebab itu, dalam pandangan Machiavelli, siapa saja yang ingin membangun negara dan menyusun undang-undang mesti memahami bahwa manusia yang akan ia atur adalah manusia bejat. Karena itu dalam pandangan Machiavelli, setiap penguasa diperkenankan menggunakan sarana dan cara apapun untuk meraih tujuannya tanpa memperhatikan nilai-nilai akhlak, spritual dan kemanusiaan.
Sejalan dengan pemikiran Machiavelli, Thomas Hobbes dalam bukunya, Leviathan or The Matter, menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk membatasi keserakahan manusia dan menghentikan peperangan adalah dengan memaksa mereka tunduk pada aturan negara.
Adapun pemikir Prancis, Jean-Jacques Rousseau, memandang bahwa negara terbentuk karena adanya kontrak sosial yang dilakukan oleh rakyat. Kontrak itulah yang menjadi pilar negara dan kekuasan umum yang ia pegang. Atas dasar kontrak itulah seorang individu melepaskan sebagian kebebasaannya kepada komunitas tempat ia hidup, untuk mendapatkan kebebasaan sipil yang baru. Dalam pandangan Rousseau, negara adalah ekspresi dari kehendak umum mayoritas; negara memiliki kekuasaan mutlak yang tinggi, bahkan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Teori ini sejatinya telah mengakhiri teori kebenaran Ilahi yang dipegang oleh gereja dan para raja. Meski demikian, Rousseau sendiri dalam bukunya, The Social Contract, tidak pernah menyatakan bahwa teori kontrak sosial merupakan hasil kajian ilmiah dan sejarah, melainkan asumsi-asumsi belaka untuk mencapai tujuan “mulia” dan “luhur”.
Kenyataannya, konsep kontrak sosial hanyalah klaim belaka. Atas nama rakyat miskin dengan peran sepintas lalu dalam bilik-bilik suara, berbagai perundangan yang memberatkan mereka dibuat. Rakyat dipaksa untuk menerima itu. Mereka tidak memiliki pilihan kecuali menunggu pemilu berikutnya setelah terjadi kerusakan demi kerusakan yang nyata. Bagaimana tidak, hukum dan perundangan dibuat tanpa standar baku yang membedakan antara hak dan batil. Sebaliknya, hak dan batil ditentukan oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa. Begitu pun lembaga legislatif; pada gilirannya hanyalah representatif kepentingan para kapitalis. Adapun lembaga peradilan hanya berperan dalam polemik dan perdebatan dalam menafsirkan undang-undang sesuai hasrat penguasa. Bila tak berhasil bermain di lembaga peradilan, penguasa tak merasa risih menggunakan lembaga legislatif untuk mengubah undang-undang.
Contoh paling nyata apa yang terjadi di Mahkmah Agung Konstitusi di Amerika. Kecenderungan keputusan bisa berubah-ubah; dari republik-konservatif ke demokrat-liberal; atau sebaliknya. Hal tersebut tentu bukan hanya terjadi di AS, namun juga di negara-negara modern yang lain. Perdebatan terkait legalitas ganja, gay, aborsi, dan lain-lain, secara kasatmata menunjukan cacatnya “tuhan” demokrasi yang menyebabkan hukum tidak stabil. Sebaliknya, ia senantiasa berubah-ubah mengikuti nafsu dan hasrat manusia yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana bentuk sistem ekonomi terbaik? Siapakah yang menentukan kepemilikan pribadi dan umum? Siapakah yang menentukan kewajiban negara atas rakyat, begitu juga sebaliknya? Apa peran sektor publik dan sektor swasta? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi problem tersendiri bagi konsep negara modern hingga saat ini.
Bagi kalangan sosialis, tentu sistem sosialis-komunis lebih baik. Namun, para kapitalis justru bisa sesumbar dengan keberhasilan mereka meluluhlantakkan prototipe sistem sosialis komunis yang diemban Uni Soviet, meski pada saat yang sama mereka membutuhkan tambal-sulam atas sistem yang mereka anut. Kajian-kajian atas teori-teori kapitalis untuk membenarkan intervensi negara (sektor publik) dalam mengorganisasi arus pasar (sektor swasta), sesuai teori the invisible hand-nya Adam Smith adalah salah satu bentuk tambal-sulam tersebut.
Ketika bencana akibat penerapan sistem kapitalis demikian nyata, mereka pun segara melakukan reformasi untuk mencegah revolusi yang dilakukan kalangan tertindas. Namun, bila situasi kembali normal para kapitalis kembali menjarah di siang bolong dengan legalitas undang-undang. Pada saat itu negara pun menyerah dan membiarkan kaum tertindas semakin menderita.
Ringkasnya, standar kebenaran yang dibawa oleh Barat dengan konsep negara modernnya selalu berubah-ubah; dasarnya adalah nafsu belaka bukan yang lain. Prinsip-prinsip Negara-negara kapitalis yang dibangun atas dasar filsafat Machiavelli—bahwa “tujuan menghalalkan segala cara” yang tidak mengenal kecuali nilai materi—adalah prinsip yang tidak manusiawi dan tidak dibangun berdasarkan nalar sama sekali, melainkan hukum rimba yang didominasi logika kekuasaan.
from Pojok Aktivis