Oleh : Iiv Febriana
Mediaoposisi.com-Sejak awal diturunkan makhluk ciptaan Allah SWT bernama manusia ke bumi pada dasarnya manusia merupakan satu umat.
Lalu pertanyaannya apakah Allah SWT sebagai “Produsen” manusia pada saat menugaskan manusia ke bumi ini tidak memberikan Standard Operasional Prosedur (SOP)?
Jawabannya tentu tidak, sebab produk-produk buatan pabrik saja pasti akan dibuatkan buku SOP untuk setiap produknya sekalipun untuk produk yang sama tapi beda tipe.
Oleh karena Allah SWT mengutus Nabi dan Rasul dari golongan manusia untuk membawa dan menjelaskan SOP tersebut kepada umat manusia seluruhnya.
Lalu setelah sepeninggalan Rasul terakhir yaitu Nabiyullah Muhammad SAW bagaimana nasib umat manusia ini? Apakah SOP Allah SWT juga ikut berakhir?
Disinilah kemudian kita mengenal istilah Khilafah yang melanjutkan estafet kepemimpinan para Nabi dan Rasul Allh SWT. Ini penting karena manusia di utus ke muka bumi ini untuk mengatur seluruh alam dan isinya hanya dengan aturan dari Pembuatnya,
yaitu Al Qur’an sebagai kitab terakhir yang menyempurnakan SOP sebelumnya. Jadi jelas secara logika akal, konsep Khilafah adalah wajar dipakai sebagai bentuk ketaatan manusia pada Pencipta-nya, tanpa memandang warna kulit, ras, suku bangsa bahkan agama/keyakinan lain.
Jadi, pada saat Allah SWT memerintahkan manusia untuk berhukum kepada hukum Allah SWT, maka di saat itu pula Allah menjelaskan bagaimana cara berhukum kepada hukum-hukumNya, tidak hanya masalah ibadah, akhlak, cara berpakaian,
makanan dan minuman tapi juga sistem kemasyarakatan dari sisi ekonomi, pendidikan sampai urusan tata negara. Itulah sesungguhnya isi dari Al Qur’an.
Jika tidak demikian, rasanya Al qur’an tak perlu setebal itu atau jangan-jangan lebih baik direvisi saja agar kesannya lebih kekinian, Na’udzubillahimindzalik.
Entri Khilafah di Indonesia
Di Indonesia sendiri konsep khilafah diperkenalkan di banyak buku fikih diantaranya bukuh Fikih Islam karangan H. Sulaiman Rasjid yang sempat menjadi rujukan di madrasah-madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah.
Ada pula buku Ensiklopedia Islam jaman tahun 1990-an yang resmi terbit dengan pengantar Menteri Agama yang saat itu dijabat Bapak Tarmidzi Taher dan beberapa tokoh Islam juga menulis di dalamnya seperti Nurcholis Madjid dan Azyumardi Azra.
Disana dijelaskan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin dan umat seluruhnya yang dipimpin seorang seorang Khalifah yang berasal dari manusia biasa yang tidak maksum (tidak bebas dosa) seperti para Nabi.
Dan yang digunakan sebagai aturan adalah SOP dari Sang Maha Pencipta saja bukan dari akal dan kepandaian Khalifah atau hawa nafsunya.
Tugas Khalifah juga bertugas menjamin supaya SOP Allah SWT dijalankan dengan benar dan menyelesaikan segala permasalahan hanya dengan hukum Allah SWT,
tanpa melihat lagi dia muslim atau tidak karena yang dihukumi adalah sisi kemanusiaannya sehingga SOP ini pun tak perlu berubah mengikuti jaman selama memang yang dihukumi masih manusia, bukan yang lain.
Karena pada dasarnya, manusia sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah kebutuhannya yang berbeda hanyalah alat dan sarananya saja.
Efek dari semua ini adalah kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia seluruhnya, karena aturan yang dipakai menyelesaikan masalah tidak berasal dari hawa nafsu seseorang.
Kepala boleh sama hitam tapi setiap orang memiliki kepentingan dan kehendak yang berbeda-beda. Jika kita menyadari semua ini, maka sesungguhnya kita lah yang membutuhkan sistem ini bukan Allah SWT yang membutuhkan kita, jangan dibalik!
Secara logika sejatinya konsep khilafah adalah sangat manusiawi, sebab fitrah manusia ingin hidupnya bahagia dan sejahtera, tidak ada manusia yang ingin menderita. Maka jika kita ditawarkan bagaimana cara untuk meraihnya.
kenapa kita masih berpikir dua kali? Kecuali kita tidak yakin bahwa Al Qur’an adalah SOP yang diturunkan oleh Allah SWT bukan ciptaan manusia atau ciptaan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawanya. Lalu jika kita meyakininya, mana yang akan kita pilih, aturan buatan manusia atau Sang Pencipta?[MO/gr]