Yuli Sarwanto
(Dir. FAKTA)
Indonesia. Negeri kaya yang dikelola dengan “cara aneh”. Untuk utang negara, pemerintah menggunakan pendapatan negara dalam melunasi cicilan bunga utang yang jatuh tempo. Sedangkan pinjaman baru baik dalam bentuk pinjaman asing maupun hasil penerbitan obligasi (Surat Utang Negara) digunakan untuk membayar cicilan pokok utang yang jatuh tempo. Jadi dengan cara seperti ini, negara kita selamanya akan terjebak utang dengan jumlah total dan beban pembayaran tahunan yang semakin besar.
Negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia yang besar, serta pasar domestik yang luas, justru mengandalkan utang untuk “hidup”. Dengan utang, seolah-olah Indonesia yang bergantung pada asing. Namun sebaliknya, asinglah yang bergantung pada Indonesia karena mereka menjadikan utang sebagai sumber pendapatan melalui bunga dan sebagai cara membuka mata pencaharian untuk korporasi-korporasi Kapitalis.
Merupakan sebuah malapetaka jika jumlah dan beban utang pemerintah dianggap aman sehingga sinyal-sinyal bahaya utang diabaikan. Ingatlah sebelum krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, pemerintah juga mengabaikan peringatan para pengamat ekonomi. Pemerintah justru percaya dengan puji-pujian terhadap kinerja ekonomi nasional dari Bank Dunia.
Namun apa yang terjadi? Tidak lama setelah pujian Bank Dunia, perekonomian Indonesia ikut terseret krisis mata uang Thailand, Bath.
Mengapa krisis Bath dapat menyeret rupiah? Tentu saja, terseretnya rupiah yang membuat sistem moneter Indonesia tak berdaya bukanlah disebabkan oleh jatuhnya mata uang Thailand. Faktor perekonomian yang dibangun dari ketergantungan pada utanglah yang menjadi penyebab utama.
Hendaknya kita mengambil hikmah dari krisis di barat yang telah membuka tabir ketidakberdayaan pemerintahan Barat dalam memecahkan permasalahan di negara mereka kecuali sekedar meredam dampaknya sesaat untuk kemudian datang lagi dalam goncangan yang lebih hebat. Krisis tersebut juga telah membuka pandangan dunia yang selama ini menjadikan negara-negara Barat dengan ideologi Kapitalismenya sebagai kiblat sistem ekonomi, pemerintahan, hukum, dan nilai-nilai kehidupan.
Sebuah jawaban diperlukan dalam hal ini, yakni bagaimanakah utang ribawi menciptakan krisis di Barat? Dengan kejatuhan ekonomi Barat tersebut, bagaimanakah masa depan ekonomi dunia dan siapakah yang akan mengambil-alih kepemimpinan dunia kemudian?
Walhasil, menjadi miris jika pengelola negeri ini, termasuk para politisi dan partai politik yang saat ini sedang “berebut” kursi parlemen terjebak pada kerusakan sistem liberal Barat, dan menjadi pemelihara kerusakan itu sendiri. Tidak sedikit di antara mereka membawa agenda penjajah ataupun kepentingan “pragmatis”. Semua perbuatan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Setiap penghianat akan membawa bendera pada Hari Pembalasan yang akan dikibarkan sama tinggi dengan (tingkat) penghianatannya. Dan tidak ada penghianatan yang lebih besar daripada penghianatan (yang dilakukan oleh) seorang pemimpin umat.”
from Pojok Aktivis