Oleh : Eni Mu’tamaroh I, S,Si
"Pendidik dan Member Revowriter "
Mediaoposisi.com-Banyak negara mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sumber devisa. Mereka memanfaatkan keindahan alam, baik alami maupun buatan. Bahkan keragaman budaya juga dipandang potensial sebagai objek wisata. Tak heran daerah-daerah berlomba menggali dan menonjolkan budaya lokalnya. Selain modus pelestarian budaya mereka dapat income dari para wisatawan.
Hajatan adat berpadu promosi wisata marak di Indonesia. Salah satunya Festival Gunung Slamet (FGS). Festival yang sudah berlangsung tiga tahun terakhir ini sangat menarik perhatian. Sebanyak 15 ribu wisatawan ditargetkan datang. Sebagaimana penuturan Sugiarto Kepala Desa setempat. "Kami menargetkan sedikitnya 5 ribu wisatawan per hari atau 15 ribu wisatawan selama pagelaran FGS 2018 yang di gelar selama tiga hari." (m.republika.co.id, 12/9/2018)
Apa sebenarnya daya tarik FGS hingga mampu menyedot puluhan ribu wisatawan? FGS diadakan di kawasan wisata Lembah Asri Desa Serang, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Purbalingga. Festival ini digelar setiap satu tahun sekali. Menurut beberapa sumber informasi, diantara rangkaian acaranya selama tiga hari berturut ada pawai Ta'aruf, festival Rebana, lomba MTQ dan Serang Bershalawat pada hari pertama. Hari kedua, prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah. Kali ini 700
warga yang melakukan prosesi tersebut. Dengan berjalan sejauh 2 km tanpa alas kaki dan mengenakan pakaian adat. Kemudian dilanjut Ruwatan Bumi dan pagelaran wayang kulit. Hari terakhir, ada pawai budaya, Mangan Takir dengan Bupati dan perang Tomat sebagai pertunjukan seni yang diadopsi dari perayaan di Bunio Spanyol dan dihibur penampilan Andra and The Backbone.
FGS digelar sebagai ungkapan syukur atas segala nikmat. Utamanya kesuburan tanah pertanian, yang diyakini karena mendapat pengairan dari Tuk Sikopyah. Untuk itu mereka menggelar ritual khusus. Dan Gunung Slamet dijadikan simbol keselarasan alam dengan manusia. Jika semula dipandang hanya sebagai hajatan adat, kini menjadi destinasi menarik bagi warga setempat dan sekitarnya. Bahkan di dukung Pemerintah setempat agar masuk menjadi agenda wisata nasional. Sebagaimana penuturan Ptl Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi saat membuka acara FGS. "Saya berharap, tahun depan FGS dapat menjadi salah satu agenda pariwisata nasional yang ditetapkan Kementerian Pariwisata,'' jelasnya. (Republika.co.id, 03/10/2018)
Hajatan serupa banyak ditemui di negeri ini, terlebih saat bulan Suro. Ada tradisi Petik Laut, Larung Sesaji, Sedekah Bumi, Pawai Grebek Suro, Ruwatan massal dan lain sebagainya. Pariwisata berkedok budaya laris jadi ajang pertunjukan. Terdengar manis, sebagai ungkapan syukur, melestarikan budaya, mengembangkan aset pariwisata. Namun jika kita cermati dari rangkaian acara yang digelar, tampak percampuran antara budaya yang mengandung unsur keislaman dan unsur kepercayaan adat istiadat.
MTQ, Shalawatan memang bagian dari khasanah Islam. Namun prosesi Ruwatan, Larung sesaji, atau ritual khusus pada benda yang dianggap keramat jelas bukan bagian dari khasanah Islam. Justru hal demikian dapat mengikis aqidah. Yang seharusnya rasa syukur itu kepada Allah sebagai Al-Khalik dan dilakukan sebagaimana Allah SWT perintahkan. Bukan menggantinya dengan ritual-ritual yang
mengandung kesyirikan.
Hal ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah. Mereka hanya memandang pariwisata sebagai sumber devisa, motif bisnis dan ekonomi. Namun penjagaan aqidah umat dibiarkan begitu saja. Percampuran ragam budaya dianggap khasanah kebangsaan. Budaya nusantara yang patut dilestarikan sebagai icon. Padahal bagi umat Islam rambu-rambunya jelas.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (Al-Baqarah:42)
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Maka pariwisata berkedok budaya ini jika terus dilestarikan, apalagi dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan agama, akan diterima menjadi kebenaran dan terus diwariskan. Hal ini sungguh bahaya karena dapat mengikis aqidah. Keimanan kepada Allah SWT bercampur dengan keyakinan terhadap kekuatan ghaib lain adalah bentuk kesyirikan.
Kenapa hal demikian tumbuh subur di negeri ini? Padahal mayoritas penduduknya muslim. Ketika kehidupan dipandang secara materi, maka keuntungan menjadi fokus tujuan. Dengan landasan kehidupan fasludin anil hayah (pemisahan antara agama dengan kehidupan), tak heran meski mayoritas penduduknya muslim namun kehidupan tak semua diatur berdasarkan aturan agama. Demikian halnya dalam memandang sektor pariwisata.
Tak perlu pikir panjang apakah pariwisata, kebudayaan, mengancam aqidah umat ataukah tidak. Sesuai aturan Islam ataukah tidak. Selama mendatangkan keuntungan maka akan "digenjot" sedemikian rupa. Meski harus mentolerir berbagai praktik kemaksiatan. Inilah bukti sistem kapitalisme telah mencengkeram negeri ini.
Hal ini sangat berbeda dengan cara pandang Islam. Ketika Islam dijadikan ideologi bangsa, maka negara tidak memandang pariwisata semata-mata sebagai sumber devisa. Namun, pariwisata dipandang sebagai sarana dakwah dan di'ayah (propaganda).
Sebagai sarana dakwah, pariwisata dimanfaatkan untuk menumbuhkan rasa syukur dan takjub akan keindahan alam yang diciptakan Allah SWT. Diarahkan melahirkan keimanan bagi orang-orang yang
belum beriman. Dan akan semakin mengokohkan keimanan bagi yang sudah beriman. Tentu segala hal yang memicu kemaksiatan akan dicegah. Jadi dengan berwisata dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Bukan disajikan ajang kesyirikan yang mengikis aqidah.
Sebagai sarana di'ayah (propaganda), pariwisata dijadikan bukti keagungan Allah SWT serta bukti adanya pedaban sejarah Islam. Dengan melihat langsung objek wisata tersebut akan semakin menguatkan keyakinan terhadap Islam. Agama yang sempurna aturannya dalam segala lini kehidupan. Mampu melahirkan peradaban madaniyah (bangunan fisik) dan peradaban budaya (hadharah). Jika kita menengok sejarah, akan kita temukan bahwa peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang pernah menjadi mercusuar dunia.[MO/dr]