Oleh: Ana Mardiana
Mediaoposisi.com-Beberapa bulan terakhir ramai pemberitaan bahwa BPJS mengalami defisit anggaran. Isu defisit anggaran BPJS kesehatan akhirnya di bahas dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR. Dalam rapat tersebut terungkap BPJS mengalami defisit sebesar 16,5 triliun.
Pada akhirnya Pemerintah mengambil tindakan. Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan Presiden(Perpres) soal pemanfaatan cukai rokok dari Daerah untuk menutupi defisit keuangan BPJS kesehatan. (Tribunnews, 19/9/2018)
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Tanpa tubuh yang sehat, maka produktivitas akan berkurang bahkan terhenti. Maka, tak salah jika manusia akan terus mengupayakan apa saja demi kesehatan dan pengobatannya. Namun, sungguh sayang hal tersebut justru dimanfaatkan oleh sistim kapitalisme yang sejak lama bercokol di Negeri ini sebagai lahan untuk mengeruk rupiah.
Kapitalisme menganggap bahwa kesehatan merupakan jasa ekonomi. Maksudnya, Negara tidak akan memberikan layanan gratis pada masyarakatnya.
Pada akhirnya, pelayanan kesehatan pun dijadikan sebagai lahan komersial. Maka di buatlah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS. Dana tersebut diperoleh dari iuran rakyat yang wajib di keluarkan tiap bulannya. Alih- alih bergotong royong faktanya, program tersebut mirip dengan asuransi kesehatan.
Perlu diketahui bahwa BPJS adalah lembaga yang berorientasi pada bisnis serta yang menjadi pertimbangannya adalah keuntungan dan kerugian, seperti penyediaan obat, alat-alat medis dan jasa dokter atau petugas rumah sakit. Sehingga yang diperhatikan oleh lembaga tersebut adalah minimal kebutuhan bukan kebutuhan realnya.
Semestinya pemerintah sebagai pihak bertanggung jawab memberikan jaminan kesehatan dan pengobatan bagi rakyat. Pemerintah terbukti tidak menjalankan fungsinya. Pemerintah justru melepas tanggung jawab ini kepada BPJS.
Patut dicatat, adanya program BPJS ini bukan berarti tanggung jawab pemerintah tertunaikan, karena nyatanya segudang permasalahan masih menghadang dan tidak akan pernah usai hingga paradigma kapitalisasi kesetanan ini di cabut.
Model komersialisasi semacam ini semakin menambah beban ekonomi masyarakat. Sudah lapangan kerja menyempit, harga bahan bakar dan kebutuhan pokok lain melangit, masih pula di bebani dengan pembiayaan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak rakyat.
Tak hanya masyarakat saja, ternyata pihak rumah sakit dan tenaga medis pun juga dirugikan dengan adanya komersialisasi pelayanan kesehatan semacam ini. Pencairan klaim yang lamban dan berbelit, serta penghitungan biaya yang minimalis menjadi beban bagi mereka. Bagaimana mampu melayani dengan baik, memberi obat-obatan terbaik, jika biaya untuk itu tidak ada?
Paradigma berpikir kapitalistik menyebabkan masyarakat beranggapan mustahil ada pelayanan kesehatan gratis. Kalaupun ada, kualitasnya pasti diragukan. Namun nyatanya, hal yang seperti itu pernah ada pada masa kekhilafahan Islam.
Khilafah pada masa itu menyediakan banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota seperti Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan lain-lain. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter.
Begitulah ketika sistem islam yang menjadi aturan dalam kehidupan bernegara, dimana pemimpin menjalankan tugasnya yakni mengurus dan melayani rakyatnya di seluruh aspek kehidupan termasuk kesehatan.[MO/an]