Oleh : Aufa Adzkiya
"Aktivis Dakwah Kampus dan Pegiat di Pena Langit"
Mediaoposisi.com-Korupsi berasal dari bahasa latin coruptio atau corrputus yang bermakna kerusakan atau kebobrokan. Korupsi juga sering dimaknai sebagai kerja kotor/ oshoku (Jepang), makan bangsa/ gin moung (Muangthai), dan keserakahan bernoda/ tanwu (Cina) (KPK, 2007:2).
Dalam kamus KBBI, Korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan makna tersebut, penulis mendefinisikan korupsi sebagai suatu tindakan yang merusak karena berasal dari sebuah keserakahan individu/kelompok yang merugikan perekonomian Negara/perusahaan.
Pelaku korupsi pun tidak tanggung-tanggung banyak dari kalangan pejabat/penyelenggara Negara sendiri. Pemberitaan mengenai korupsi senantiasa mewarnai panggung media. Akhir ini pemberitaan korupsi yang masih hangat ialah Idrus Marham sebagai Menteri Sosial.
Dikutip pada Kompas Mantan Sekertaris Jendral Partai Golkar dan Menteri Sosial Idrus Marham resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Idrus ditahan setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Gedung KPK pada Jum’at (31/08/2018). Sebelum resmi menjadi tersangka Idrus Marham pun telah mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial yang kemudian langsung diganti oleh Agus Gumiwang.
Ini semua tidak patut terjadi, bagaimana mungkin seorang pejabat Negara yang seharusnya mengayomi rakyat malah berlomba merampas hak rakyat untuk mencari keuntungan diri sendiri.
Mereka tidak memandang halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatannya, melainkan mereka senantiasa melakukan apa saja agar mendapat keuntungan secara materi sebanyak-banyaknya. Hal ini manjadikan terputusnya rantai kepercayaan rakyat terhadap pejabat Negara.
Ditambah kasus korupsi yang tumbuh subur dan semakin banyak seperti jamur sebenarnya tidaklah dibiarkan begitu saja, berbagai upaya untuk menyelesaikan dan memutus mata rantai sudah dilakukan namun belum dapat menghentikan. Salah satunya yaitu dengan pembentukan komisi khusus pemberantasan korupsi pun telah dilakukan. Pertanyaannya mengapa kasus korupsi belum usai, walaupun berbagai cara telah dilakukan untuk menghentikannya?
Marilah kita bersama-sama melihat suatu permasalahan secara obyektif bukan subyektif karena bagaimana mungkin adanya kasus korupsi yang terus terjadi hanya karena kesalahan individu semata.
Memang kasus korupsi tidak pernah lepas dari individu pelaku korupsi yang kurang bertaqwa kepada Allah SWT. Kerakusan dan keserakahan yang mendominasi daripada ketaqwaan menjadikan mereka tidak tahan terhadap godaan. Selain individu, lingkungan tidak pernah luput untuk mensuasanakan bagaimana budaya suap menyuap dan korupsi kini menjadi hal biasa ditengah lingkungan kita, dalam sistem kapitalisme.
Salah satu contoh, dalam sistem kapitalisme yang dibungkus dengan sistem demokrasi dalam pemilihan penguasa tidaklah dengan dana yang murah. Sebab politik demokrasi, dalam proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat membutuhkan dana yang besar. Hal ini mengakibatkan calon penguasa bergandeng dengan para pengusaha untuk mencapai tujuan. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk bisnis dan penguasa membutuhkan dana untuk pemilu.
Tidak hanya di Indonesia, Kasus korupsi di negeri lain yang menganut demokrasi banyak ditemukan fakta yang serupa. Di Negara pegeksplor demokrasi yaitu Amerika serikat, presiden Donald Trump terjerat 3500 kasus hukum yang meliputi kasus pribadi dan perusahaannya sejak 30 tahun silam. Faktanya meski demikian 2016 lalu Trump lolos menjabat.
Ini adalah bukti bahwa sistem kapitalisme merupakan biang dari segala kemaksitan, kerusakan moral, dan kerakusan.
Berbeda dengan sistem Islam, yang terbukti kegemilangannya dan penjagaannya yang telah diterapkan selama 13 abad silam, dan berhasil menguasai 2/3 dunia.
Sistem kepemerintahan Islam atau biasa disebut Khilafah, telah melakukan penjagaan Aqidah yang luar biasa kepada umat muslim yang hidup didalamnya.
Penanaman ketaqwaan kepada Allah SWT tercermin dalam setiap aktivitasnya ditambah dengan masyarakat dan lingkungan yang mengkondisikan. Para penguasa yang memiliki jabatan pun akan menyadari bahwa amanah yang diberikan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Sistem penegekan hukumnya, dapat memberikan efek jera kepada para pelaku dan menjadikan pelajaran bagi yang lain untuk tidak melaksanakannya.
Dalam sistem islam, koruptor dapat dikenakan hukum potong tangan dengan syarat pelaku sudah baligh, tidak dipaksa/terpaksa ketika melakukannya, sehat dan berakal, dan nilai yang dicuri jumlahnya nisab. Pendapat sebagian orang mungkin sistem hukum dalam Khilafah menyeramkan.
Namun sebenarnya sistem hukum islam memiliki dua fungsi yaitu zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus) yang akhirnya dapat meminimalisir kasus korupsi salah satunya. Fungsi pertama ialah mencegah orang melakukan pelanggaran karena hukumannya amatlah berat, dan fungsi kedua ialah penebus bagi orang yang berdosa didunia setelah mendapat hukuman agar terlepas dari siksa diakhirat.[MO/an]