Oleh : Chusnatul Jannah
"Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban "
Mediaoposisi.com-Nasib malang melanda Kota Malang,Pemerintahannya terancam lumpuh total.
Total, 41 dari 45 anggota DRPD kota Malang digelandang KPK. Mereka melakukan korupsi
berjama’ah dalam kasus suap dan gratifikasi tentang pembahasan APBD-P Tahun Anggaran
2015. Tak tanggung – tanggung, sang Wali Kota non aktif, Moch. Anton menjadi tersangka
pula. Ia diduga menyuap para dewan lesgislatif itu dengan besaran Rp 12,5 juta hingga Rp
50 juta. Kasus ini benar – benar menajdi catatan merah. Korupsi seperti candu. Tak kapok
dan bikin nagih. Meski KPK berupaya membabat habis pelaku tindak korupsi, nyatanya
masih saja terjadi. Tugas berat yang tak pernah usai. Selama bibit – bibit korupsi itu masih
tersemai di alam demokrasi.
Demokrasi Mahal
Tak ada cerita politik demokrasi berbiaya murah. Modal kampanye para calon
legislatif bisa didapat dari mana saja. Mulai jual tanah warisan hingga dimodali penguasaha.
Rela korbankan harta asal menang. Dan setelah resmi sebagai anggota, balik modal adalah
upaya yang wajib dilakukan. Gaji saja tak cukup kembalikan modal. Jalan instan terbaik
adalah korupsi. Asal tak ketahuan, pasti aman. Alhasil, korupsi dijadikan alasan bagi para
wakil rakyat untuk meraup keuntungan, meski dengan cara nakal. Inilah mengapa korupsi
tetap merajelala hingga dilakukan secara berjama’ah.
Pertama, keimanan dan ketaqwaan yang rendah. Salah satu benteng agar wakil
rakyat itu tak tergoda korupsi adalah dengan iman yang tebal. Iman yang kuat akan
mencegah seseorang berbuat maksiat. Ia paham bahwa setiap perbuatan memiliki
pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta’ala. Sayangnya, iklim sekulerisme telah
menggerus iman. Tak ada lagi rasa takut dan merasa diawasi oleh Tuhan. Terjebaklah
mereka dengan perbuatan tercela semisal korupsi.
Kedua, politik berbiaya mahal. Tak punya duit, jangan nyaleg. Tak miliki modal,
jangan ngarep menang. Slogan baku dalam demokrasi. Terjun di dunia politik ala demokrasi
hanya berbekal kecerdasan, itu tak masuk akal. Demokrasi mengharuskan berbiaya besar.
Tak ada uang ya wassalam.
Ketiga, tergiur kekayaan materi. Meski tak semenggoda profesi artis, menjadi
anggota legislatif tetap memesona. Faktanya bisa kita lihat banyaknya artis banting setir.
Ramai – ramai mendaftar sebagai calon legislatif pada pemilu 2019. Artinya, kursi senayan
tetap menggiurkan bagi penikmat kekayaan. Mengkayakan diri walau peran di legislatif tak
begitu berarti. Yang penting, hidup terjamin dengan berbagai fasilitas dan tunjangan yang
cukup berkelas.
Membersihkan Korupsi
Lahirnya perilaku korupsi berjama’ah tak terlepas dari sistem yang diberlakukan. Ya,
demokrasi sekali lagi menunjukkan boroknya. Maksud negara melibas korupsi, apa daya
lemah lunglai dihantam sistem demokrasi. Tak bisa bersih. Berulangkali ini terjadi. Untuk
membersihkan korupsi, ada langkah taktis dan ideologis yng perlu dilakukan.
Pertama, mewujudkan sistem yang baik. Sebagaimana diketahui, pangkal persoalan
korupsi bukan pada personal pelakunya, namun sistem yang menaunginya. Sudah
selayaknya sistem demokrasi digantikan dengan sistem yang mampu mewujudkan individu
bertaqwa dan mampu mengemban amanah sebagai wakil rakyat. Sistem Islam sebagai
solusi aternatif untuk kebaikan semua. Agar korupsi tak lagi menjadi benalu di negeri ini.
Kedua, sanksi hukum tegas. Hukuman yang ditetapkan pada pelaku korupsi terbilang
belum memberikan efek jera. Hebohnya sel mewah di Lapas Sukamiskin beberapa waktu
lalu menjadi bukti nyata. Didalam penjara, mereka pun masih bisa melakukan rasuah.
Hukum Islam mampu memberi efek jera. Memiskinkan para koruptor, pembuktian terbalik,
pengasingan hingga ta’zir adalah contohnya.
Ketiga, sadar setiap amanah. Sistem sekuler telah membentuk manusia – manusia
lemah iman. Menjauhkan agama dari kehidupan. Dengan penerapan sistem Islam, akan
tercipta masyarakat beriman, bertaqwa dan takut kepada Allah Ta’ala. Sebab, mereka
menyadari setiap perbuatan di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Kasus korupsi berjama’ah ini menyiratkan pesan untuk kita. Kebobrokan sistem saat
ini tak seharusnay diepertahankan. Masihkah perlu bukti lagi untuk meyakinkan diri bahwa
demokrasi – kapitalis tak layak diterapkan? Ujung tombak masalah di negeri ini terletak
pada sistemnya, bukan hanya individunya. Sistem baik melahirkan individu baik. Begitu pula
sebaliknya.[MO/an]