Oleh: Rina Indrawati
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Mediaoposisi.com- "Politic is dirty", diterjemahkan "politik itu kotor". Seperti mantra, kalimat tersebut mampu menyihir setiap manusia untuk pergi jauh dari pembahasannya. Bahkan melegenda. Seperti epik. Jawaban klasik atas pertanyaan berbau politik.
Kalimat yang selalu dihembuskan jika kita pertanyakan kepada kakak, bapak, kakek dan tetua lainnya. Selanjutnya akan lahir saran, "sudahlah jangan bicarakan politik, bicarakan yang lain saja!", kata mereka.
Alhasil mereka menghindar. Masyarakat lebih memilih untuk meninggalkan lingkar-lingkar diskusi yang bernuansa politik. Dari yang tua hingga anak muda. Berakhir dengan berkelit agar terlepas dari bahasan politik. Atau yang lebih mengejutkan lagi, kabur tanpa argumentasi.
Begitulah kiranya kondisi masyarakat kita saat ini. Mirisnya adalah mantra ini berpengaruh besar pada pola pikir anak muda kita. Andalan penerus bangsa. Yang digadang bung Karno untuk taklukkan dunia. Sangat disayangkan memang. Kondisi ini tidak terlepas dari salah kaprah definisi politik yang telah mashur di kalangan masyarakat.
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Sementara menurut Harold Laswell, politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Secara garis besar, hampir semua ahli menyatakan bahwa politik adalah tentang kekuasaan. Dimana ketika membahas kekuasaan, maka manusia seketika menjadi rakus. Tak peduli kawan dan lawan. Semua dilibas tanpa "sungkan".
Lihat saja praktik politik di negeri ini, Indonesia. Jabatan penguasa hanyalah pemulus jalan mengumpulkan harta. Bukan menyejahterahkan umat. Ujungnya korupsi merajalela. Mahfud MD pernah mengatakan bahwa, Malaikat jika masuk sistem Indonesia pun bisa jadi iblis. Kalimat ini menandai sungguh buruknya jejak politik di masa ini.
Siapa kiranya manusia normal yang sudi bersentuhan dengan politik yang buruk luar dalam begitu?
Kesalahpahaman definisi politik itu sebenarnya tidak terlepas dari sistem politik yang mendasari kelahiran makna politiknya. Makna politik di atas lahir dari rahim demokrasi. Menganggap akal pikir manusia seolah Tuhan. Sehingga mereka merasa mampu memutuskan sekehendaknya.
Definisi berbeda disuguhkan sistem Islam. Makna politik dalam Islam adalah ri'ayah su'un Al ummah atau mengurusi urusan rakyat. Tentu makna yang dalam. Dimana pemerintah tidak hanya mengurusi urusan individu atau kelompok dalam lingkaran sosialnya. Namun amanah pemerintah wajib atas seluruh rakyat.
Dari batas negara terluar hingga yang paling dekat dengan pusat pemerintahan.
Perbedaan inilah yang harus dipegang masyarakat ketika berbicara politik. Definisi berdasarkan Islam saja yang seharusnya kita ambil sebagai kesepakatan umum atas makna politik.
Dengan demikian, umat tidak akan merasa jengah dengan ulah elit berdasi di kursi legislasi. Hingga apatis dalam mengkritisi. Karena rakyat sudah pusing dengan urusannya sendiri. Terlebih himpitan ekonomi menaungi.
Dengan demikian, sudah saatnya kita paham arti politik sebenarnya. Sebagaimana Islam mendefinisikannya. Agar pemerintahan tak lagi kotor.
Dan peran pemuda sangatlah penting. Sebagai lapisan masyarakat yang potensial secara hard skill dan soft skill, ia didapuk sebagai corong peradaban emas berikutnya. Menjadi sosok Al Fatih berikutnya. Untuk taklukkan Roma.
Lantas bagaimana caranya agar pemuda tak lagi alergi politik?
Pertama, pemuda harus memahami makna hakiki politik di atas. Kedua, membuka diri turut serta dalam diskusi-diskusi Islam politik untuk temukan solusi semua carut marut negeri akibat demokrasi. Ketiga, menjadi penyambung lidah umat, menyampaikan kritik membangun bagi penguasa.
Keempat, mengambil peran dalam perjuangan menyebarluaskan Islam kaffah ke seluruh penjuru negeri. Dan seketika itu kau akan dengan senang hati berbicara politik prespektif Islam. [MO/sr]