Oleh: Salma Banin
(member Revowriter)
Mediaoposisi.com-Setiap negara berdaulat akan menjalankan dua jenis kebijakan politik, yaitu politik dalam negeri dan luar negeri. Politik dalam negeri terkait pada bagaimana suatu negara mensolusikan berbagai permasalahan rakyat termasuk dengan cara apa pemerintah akan memenuhi kebutuhan rakyat dan menyejahterakannya.
Sedang politik luar negeri mengurusi segala hal yang berkaitan dengan kerjasama dan hubungan internasional.
Kerjasama atau hubungan ini dijalin semata-mata demi kepentingan negaranya masing-masing. Tak dikenal dalam sistem perpolitikan saat ini istilah “makan siang gratis”, maka apapun relasi yang dibangun antar kedua belah pihak harus memberikan keuntungan baik itu secara moril maupun materil.
Besaran keuntungan yang didapat bergantung pihak mana yang lebih kuat dominasinya terhadap pihak lainnya. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Baru-baru ini (5/8) Presiden Indonesia, Joko Widodo dikunjungi oleh tamu kehormatan dari negeri Paman Sam, Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat. Pertemuan itu didahului oleh pertemuan sesama Menlu dihari sebelumnya (4/8) yang diakui membahas berbagai isu pokok seperti kerjasama ekonomi, perdamaian di kawasan, serta kemerdekaan Palestina.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menlu Retno menyatakan bahwa hasil pertemuan mereka mendapat respon positif. Ia yakin, pertemuannya kali ini akan membentuk hubungan dua negara yang semakin harmonis.
Amerika sangat disegani Indonesia tidak hanya karna ia adalah negara adidaya terkuat saat ini, namun juga tersebab Amerika memiliki komitmen besar terhadap ekonomi Indonesia.
Amerika Serikat adalah mitra dagang nomor 4 dan urusan investasi nomor 6 terbesar di Indonesia. Dan tahun depan merupakan ulang tahun ke 70 bagi kerjasama ini. Itu berarti, sudah hampir 70 tahun kita ‘bergantung’ pada Amerika.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kunjungan negara pertama adalah suatu hal yang membanggakan lagi menjanjikan. Padahal sejatinya hanya melanggengkan penjajahan.
Amerika memang tak secara langsung menjajah dan menumpahkan darah sebagaimana yang mereka lakukan di Timur Tengah atas nama pemberantasan terorisme, namun apa yang mereka tancapkan di negeri ini sungguh sesuatu yang bersifat racun, menggerogoti kedaulatan negara dengan dalih bantuan dalam bentuk hutang.
Apa yang dilakukan Amerika terhadap negara kita adalah semata-mata untuk memastikan demokrasi dan moderasi Islam tetap tertancap disini. Karna dengan itu, Indonesia akan tetap loyal terhadap hegemoni Amerika.
Sebagaimana pernyataan seorang penasihat mantan Presiden AS, Bill Clinton, dalam pidatonya, tertanggal 21 September 1993, ia mengatakan, “Kita harus menyebarkan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena hal ini akan dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, memelihara kita, sekaligus menunjukkan nilai-nilai anutan kita, yaitu nilai-nilai Amerika yang luhur.”
Maka demokrasi disebarkan ke seluruh dunia hanya demi kepentingan negara adidaya. Faktanya bisa kita lihat sendiri, meski menuju 73 tahun kemerdekaan, kita tetap saja jadi negara berkembang. Lantas kapan majunya?
Selamanya kita tidak akan pernah merangkak naik jika masih menempatkan diri dibawah ketiak Amerika, menerapkan demokrasi yang mereka bawa. Kita butuh alternatif sistem pemerintahan lain yang mampu membebaskan kita dari dominasi bangsa yang selama hidupnya junub ini. Satu-satunya sistem yang mampu menandingi, bahkan melampaui demokrasi adalah Islam dan Khilafah.
Khilafah merupakan kepemimpinan yang dicontohkan Rasul saw. dan Khulafaur Rasyidin meski memang belum dilembagakan dalam sebuah buku khusus. Namun praktek kenegaraan yang tercatat rapi dalam berbagai sirah dan riwayat para Imam menunjukkan suatu perwujudan sistem dan struktur pemerintahan Islam, yang berbeda dari sistem manapun.
Sistem inilah yang akan menghantarkan Indonesia (bahkan dunia) pada kemerdekaan yang hakiki. Bebas dari segala penghambaan pada manusia, beralih pada penghambaan pada Sang Pencipta, Allah Ta’ala.[MO/sr]