Oleh: Siti Roikhanah
Mediaoposisi.com- Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 3-6 Juli 2018, Indonesia menjadi tuan rumah acara Multaqo atau pertemuan da'i dan ulama Internasional. Multaqo adalah forum ilmiah internasional bagi ulama dan da'i se-Asia Tenggara, Afrika juga Eropa. Forum yang dihadiri 600 orang ini merupakan kerjasama antara pemerintah Jakarta dengan yayasan Al Mannara.
Multaqo ini merekomendasikn 10 poin diantaranya menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai antara Muslim dan non muslim, berpegang kepada Al Qur'an dan As Sunnah dengan pemahaman komprehensif terintegrasi dengan kaidah ilmiah dan praktis, serta membangun kemitraan antara lembaga dakwah, pemerintah, pendidikan dan swasta.
Tidak berselang lama dari Multaqo Ulama', Presiden Jokowi bertemu dengan ulama dan ratusan Hafidz di istana (11/7/2018). Presiden berpesan untuk selalu menjaga agar Islam menjadi Rahmat bagi semua (Metrotvnews.com).
Sebelumnya juga terselenggara pertemuan ulama' -dengan tema senafas Islam Rahmatan Lil Alamin- yaitu Konferensi Trilateral Ulama' Afghanistan, Indonesia, dan Pakistan di istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat (11/5/2018).
Tidak hanya di tahun ini saja, pada tahun sebelumnya, tepatnya 25-27 April 2017 telah berlangsung pula Kongres Ulama' Perempuan Indonesia (KUPI) di Ponpes Kebon Jambu, Ciwaringin, Cirebon.
Pertemuan ini membuahkan ikrar akan tanggung jawab Ulama' Perempuan untuk menghapus segala bentuk kezholiman atas dasar agama, ras, golongan dan jenis kelamin, termasuk radikalisasi perempuan.
Dari berbagai penyelenggaraan forum ulama tersebut, ada satu pesan senada sebagai benang merah yang saling terkait bahwa peran ulama' -sebagai pemimpin kultural masyarakat- diharapkan mampu membangun kesadaran umat akan Islam yang damai, toleran dan non-radikalisme. Islam yang mereka sebut sebagai Islam Rahmatan Lil 'Alamin.
Pemerintah sebagai penyelenggara berbagai konferensi alim ulama', paham betul akan peran strategis ulama'. Indonesia yang diharapkan bisa menjadi role model dunia sebagai negara Islam wasathiyah benar-benar diwujudkan oleh Presiden Jokowi saat ini. Ulama' sebagai panutan umat akan dijadikan corong guna meng-aruskan Islam Rahmatan Lil Alamin yang diterjemahkan sebagai Islam moderat.
Presiden Jokowi menegaskan pentingnya peran ulama dalam memberikan tuntunan kepada umat. Terutama tuntunan untuk mewujudkan Islam moderat dan santun. Hal ini disampaikan Jokowi saat memberi sambutan pembukaan Halaqoh Nasional Alim Ulama' di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat (detiknews. 14/7/2017).
Presiden Jokowi juga meminta ulama' untuk memperkuat perannya dalam menekan paham radikalisme serta menyuburkan Islam sebagai agama yang penuh damai dan menyejukkan (Halaqoh Nasional Hubbul Wathon dan Deklarasi Gerakan Nasional Muballigh Bela Negara, di Asrama Haji, Jakarta 14/5/2018).
Dengan adanya konferensi dan pertemuan ulama' yang begitu masif. Ditambah tuntutan peran yang dimainkan ulama' sebagai pengemban Islam moderat. Akankah para ulama' hari ini mengalami depolitisasi peran sebagai ulama'??
Ulama' Dan Peran Strategisnya
Ulama' adalah orng yang memiliki ilmu agama. Namun tidak hanya itu, ulama' adalah orang yang paling takut kpd Allah Swt. Sebagaimana dalam Al Qur'an surat Al Fathir: 28 yang artinya:
"Sesungguhnya yang paling takut kpd Allah adalah Ulama' ". Karena ia di anugerahi ilmu, tahu rahasia alam, faham hukum Allah, yang haq dan bathil, kebaikan dan keburukan dalam pandangan syara'.
Sedang peran ulama' di lihat posisinya sebagai warotsatul anbiya' (pewaris para nabi). Sebagaimana dalam hadist: "Sesungguhnya ulama' itu adalah pewaris para Nabi" (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi).
Sebagaimana para nabi, begitupun ulama', mereka memberi petunjuk kepada umat dengan aturan-aturan Allah Swt; aturan Islam. Terdepan dalam dakwah Islam, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, menunjukkan kebaikan dan keburukan sesuai hukum Allah, meluruskan penguasa yang dzalim atau yang menyalahi aturan Allah Swt.
Ulama' juga harus mampu mengungkap permasalahan-permasalahan yang dirancang orang-orang kafir yang selalu ingin menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Peran ini tidak bisa berjalan kecuali jika ulama' mempunyai pemikiran ideologis. Yaitu pemikiran mendasar berdasarkn sudut pandang 'aqidah Islam.
Dari pengertian ulama' dan ciri-cirinya, kita memahami bahwa ulama' memiliki peran politis ideologis. Dimana ulama sebagai pembimbing, penjaga umat di satu sisi, dan di sisi lain sebagai pendamping, pelurus penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Dengan kata lain, umat tidak akan mengalami penyesatan aqidah, kerusakan pemikiran islamnya, tahu yang haq dan yang bathil, yang halal dan yang haram dst., manakala ulama menjalankn peran politisnya kepada umat.
Sedangkan penguasa tidak akan melakukan kezholiman/kejahatan dalam bentuk apapun (hak hidup, kemanusiaan, ekonomi, hukum dst) pada umat, manakala ulama' menjalankan peran politisnya kepada penguasa.
Dengan ideologi-nya, ulama' akan mampu melihat berbagai peristiwa politik lokal, regional maupun internasional, yang kemudian di analisa berdasarkan sudut pandang aqidah dan syariah Islam. Sehingga bisa menjaga umat dan negara dari kejahatan kaum penjajah.
Salah satu ungkapan ulama' besar Imam Al Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin: Tradisi Islam adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah Swt. Kerusakan masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama'.
Depolitisasi Ulama'
Dalam sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme -pemisahan agama dari kehidupan-, depolitisasi peran ulama' menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya dalam sekuerisme agama tidak diberi ruang di ranah publik mengatur urusan masyarakat (politik). Ulama' yang sejatinya memilki peran politik, saat ini kita melihat ada upaya sistematis menjauhkan ulama' dari perannya.
Mulai dari dikeluarkannya regulasi untuk membatasi materi-materi ceramah, sertifikasi ulama', hingga larangan membicarakn 'politik' di masjid. Langkah itu kini lebih jauh lagi yaitu mendangkalkan sisi ideologis ulama'.
Ulama' "dipaksa" memahami dan menyampaikan Islam yang tidak hakiki. Islam moderat dengan bungkus Islam Rahmatan lil 'alamin sejatinya merupakan narasi Barat tentang ideologi sekular.
Islam Rahmatan lil 'alamin hakikatnya memiliki makna dimana Islam mampu memberi rahmat pada seluruh alam (manusia-manusia muslim maupun non muslim, pada binatang serta alam semesta), disebabkan penerapan syari'at Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah sehingga menjadi solusi permasalahan.
Namun oleh Barat ditafsirkn sebagai Islam moderat. Yaitu Islam yang terbuka dengan nilai-nilai diluar Islam, damai, toleran dan tidak radikal. Karakter Muslim moderat adalah karakter yang bisa menerima budaya Barat yakni yang mendukung demokrasi, mengakui HAM, menghormati sumber hukum non agama, menentang terorisme dan kekerasan ala Amerika. Sehingga yang menyebut dirinya sebagai Muslim moderat akan menolak pemberlakuan hukum Islam kaffah, menentang Islam politik, khilafah dan jihad. Barat yaitu AS dan sekutunya memandang Islam radikal sebagai ancaman bagi kehidupan demokrasi dan peradaban Barat sekuler. Karenanya, Barat menciptakan narasi Islam moderat; Islam Rahmatan lil Alamin sebagai perlawanan terhadap Islam radikal. Hal ini disampaikan Menlu AS Rex Tillerson, yang menegaskan bahwa Indonesia memimpin upaya global melawan ideologi 'radikal'.
Terkait pengembanan Islam moderat, Indonesia telah menobatkan diri menjadi rujukan kemajuan peradaban Islam di dunia. Bersama Amerika, Indonesia bekerjasama menyusun konsep akademik UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia).
Melalui UIII, Indonesia akan dibesarkan sebagai poros Islam Moderat dunia. Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, UIII dibangun tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik di bidang pendidikan tinggi Islam. Lebih dari itu, UIII hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakata global dan sekaligus untuk meneguhkan kepemimpinan Indonesia di dunia Islam Internasional.
UIII dibangun di atas tiga nilai dasar yang akan mewarnai keseluruhan aktifitasnya, yakni nilai-nilai keislaman, wawasan dan proyeksi global serta nilai-nilai keindonesiaan. UIII akan dijadikan tempat strategis mengenalkan kekayaan dan keragaman tradisi Islam Indonesia yang moderat ke dunia Internasional karena 70% dari mahasiswa-nya akan berasal dari perwakilan berbagai negara.
Tidak heran dengan adanya proyek tersebut, pemerintah menggandeng ulama' dengan menjadikan MUI sebagai inisiator dan eksekutor dalam misi Islam moderat. Tugasnya membuat modul pelatihan dakwah wasathiyah bagi para da'i baik yang on air di media massa atau yang off air di masjid dan majlis taklim.
Termasuk mengangkat tokoh tertentu sebagai corong Islam moderat. Sebagaimana pernyataan Rais Aam PBNU KH Ma' ruf Amin yang menegaskan tanggung jawab ulama' dalam Hikayat ad-daulah atau menjaga NKRI dari rongrongan kelompok 'radikal' kanan ataupun kiri. (Disampaikan dalam Halqah Alim Ulama' dan Kyai se-Cirebon 6/5/2017).
Padahal jika melihat peran ulama' sebelumnya dalam sejarah Indonesia, mereka layaknya mutiara-mutiara umat yang menjadi pewaris para nabi. Menyampaikan Islam sebagai ruh perjuangan melawan penjajahan. Menyampaikan yang haq dan memerangi yang batil. Menegakkan kema'rufan dan mencegah kemunkaran.
Negri ini banyak memiliki ulama'-ulama' sejati. Salah satunya adalah Prof.Dr. Buya Hamka. Karena keyakinannya bahwa Islam agama yang Haq, beliau bersama tokoh-tokoh Masyumi, memperjuangkan Islam dengan gagasan dalam mengajukan konsep Islam secara ilmiah dan argumentatif.
Ketika penguasa saat itu ingin menerapkan sistem demokrasi terpimpin, beliau dengan beraninya mnganyatakan tidak sepakat. Meski setelah itu beliau harus dipenjara (1964-1960). Saat menjadi ketua MUI, beliau harus mengeluarkan fatwa, bahwa tidak boleh mengucapkan selamat Natal karena bukan bagian dari toleransi sebagaimana yang diajarkan Islam.
Meski setelah itu beliau harus berhadapan dengan kekuasaan, mnjadikan beliau memilih untuk mundur dari MUI. Beliau pun paham akan bahaya isme-isme atau paham-paham Barat yang dilabeli Islam. Beliau mengatakan:
"Orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat yang akan menegakkan kendornya rasa perjuangan, rasa jihad menegakkan cita Islam, bukan saja menjadikan pelakunya membawa ke jalan kafir, bahkan itulah penghianat2 yang membawa nama-nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam ." (Dari Hati ke Hati, Hamka. Pustaka Panji 2002, Jakarta).
Itulah contoh ulama' pewaris para nabi. Ulama' yang dinanti. Sebaliknya bukan ulama' yang menjadi corong Barat.[MO/sr]