Oleh : Novia Listiani
(Aktivis Muslimah Peduli Umat & Member AMK)
Mediaoposisi.com- Bulan Agustus merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepat pada Jum'at pagi di bulan Ramadhan 17 Agustus 1945, Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno, membacakan teks proklamasi di hadapan sejumlah rakyatnya. Pembacaan teks proklamasi ini menandakan awal kemerdekaan bangsa Indonesia, Indonesia telah merdeka.
Maka setiap tanggal 17 Agustus rakyat Indonesia memperingatinya sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Yang sebentar lagi akan diperingati untuk yang ke-73 tahun.
Kesemarakan dalam menyambut hari bersejarah ini sudah nampak dari jauh-jauh hari. Spanduk, lampu-lampu hias, bendera, sampai baliho-baliho bertuliskan "Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia" menghiasi jalan-jalan. Iklan-iklan ucapan hari kemerdekaan dan acara spesial kemerdekaan di media massa pun bertebaran menambah gegap gempita menyambut hari peringatan kemerdekaan.
Tidak lupa juga kegiatan kerja bakti dilakukan di desa-desa dan berbagai perlombaan pun digelar. Ada lomba balap karung, tarik tambang, makan kerupuk dan lain sebagainya. Seolah-olah sudah menjadi kegiatan rutin yang harus dilakukan ketika memperingati hari kemerdekaan.
Namun dibalik Kesemarakan dalam menyambut hari kemerdekaan itu masih terselip pertanyaan besar, sudahkah negeri ini merdeka? Sementara fakta yang terjadi sangat jauh dari makna merdeka. Kemerdekaan yang sudah 73 tahun, namun hanya terlepas dari penjajahan fisik saja. Lalu apa makna dari kemerdekaan?
Menurut KBBI merdeka artinya bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Sedangkan kemerdekaan adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas lepas, tidak terjajah lagi).
Berdasarkan berbagai makna itu sudahkah keadaan yang dirasakan saat ini disebut merdeka? Sepertinya belum. Mungkin dari segi fisik memang sudah tidak terjajah, namun sadarkah negeri ini berada dalam cengkraman neo imperialisme. Bak racun yang merusak dan mematikan tanpa disadari.
Penjajahan itu tidak lagi dengan fisik, namun seluruh sendi kehidupan saat ini berada dalam kendali penjajah, baik segi ekonomi, politik, sosial, budaya, pemikiran, bahkan akidah pun ikut terjajah. Meskipun demikian, misi yang ingin mereka capai tidak terlepas dari 3 G, yaitu Gold (emas), Glory (kekuasaan), Gospel (agama).
Tiga hal inilah yang menjadi racun dan mereka wariskan kepada bangsa ini. Sehingga dengan mudahnya orang yang mempunyai kekuasaan disetir oleh penjajah untuk mencapai misi itu dengan perlahan.
Hari ini rakyat benar-benar merasakan dampak dari neo imperialisme, meskipun mereka tidak pernah merasa sedang dijajah, namun hal ini tampak jelas dirasakan. Dari segi ekonomi, rakyat justru menjadi objek atas berbagai kesenjangan ekonomi yang terjadi saat ini. Kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal. Tidak seimbang dengan hasil pendapatan mereka.
Rakyat menjadi korban keserakahan para pemilik modal dan orang yang mempunyai kekuasaan. Mulai dari naiknya tarif dasar listrik, BBM naik, harga kebutuhan pokok naik. Sementara hutang negara semakin membengkak. Akibat dari sistem ekonomi ribawi yang diterapkan.
Belum lagi kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak rakyat, menjadi santapan penjajah asing. Tambang emas, perak, batu bara, minyak bumi kini dieksploitasi oleh asing aseng. Seperti PT. Freeport, Exxon Mobile, Newmont, dan banyak perusahaan lainnya yang dikuasai negara penjajah. Sementara rakyat yang notabene pemilik kekayaan alam, harus kelaparan dan hidup dalam jeratan kemiskinan.
Hanya karena misi para penjajah dari dulu yang berambisi untuk mencari dan menguasai kekayaan negeri ini. Rakyat pun dengan polosnya menerima dan ikut serta dalam perayaan kemerdekaan, padahal mereka sejatinya masih terjajah. Dengan bahagianya mengikuti lomba tarik tambang, sementara tambang yang mereka butuhkan untuk hidup dijarah asing.
Tidak hanya itu, dari segi politik, semua orang haus akan kekuasaan. Apalagi menjelang pemilihan presiden. Kancah perpolitikan diwarnai dengan gonjang ganjing pemilihan paslon pemimpin. Dimana mereka berebut kekuasaan yang ujungnya tidak membawa perubahan yang menyeluruh bagi bangsa ini. Berbagai kasus korupsi justru disandang oleh menteri dan wakil rakyat.
Yang semakin menjamur terjadi di negeri ini. Pemimpin yang seharusnya mengayomi rakyat, justru mendzalimi rakyat. Lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk menindas rakyat. Melalui pajak yang dibuat sedemikian rupa, hanya akan membuat rakyat sengsara. Kemudian mahalnya biaya pendidikan. Sehingga banyak rakyat miskin yang tidak mampu menempuh pendidikan karena biaya yang mahal.
Dari segi sosial dan budaya generasi digerus oleh budaya westernisasi. Barat menjadi kiblat dalam peradaban generasi saat ini. Mulai dari kebebasan berekspresi, pornografi, pergaulan bebas, hedonis, individualistik dan sebagainya. Akibatnya generasi rusak dan jauh dari perannya sebagai agent of change.
Mereka yang kerap menjadi pelaksana upacara dalam peringatan kemerdekaan, namun mereka tidak sadar bahwa dirinya sendiri sedang dijajah.
Arus westernisasi juga menimbulkan dampak yang sangat mengerikan bagi semua kalangan. Baik remaja maupun dewasa. Terlebih penjajahan melalui pemikiran yang semakin dipropagandakan. Melalui kemajuan teknologi dan informasi, pemuda menjadi target utama yang mereka sasar. Melalui sosial media, tayangan televisi, dan berbagai narasi yang penjajah buat untuk generasi.
Belum lama ini ide Islam Nusantara sukses membuat umat Islam terpecah belah. Sebuah narasi yang dibuat-buat untuk menghancurkan Islam. Hal ini juga berdampak pada rusaknya akidah seseorang. Melalui informasi inilah penjajah lihai dalam memasukkan pengetahuan yang dapat merusak pemikiran bangsa ini.
Mereka tentu akan senang jika bangsa ini terpecah belah, melalui propaganda busuk yang mereka gencarkan. Dengan demikian masuklah pemahaman mereka yang menjauhkan agama dari kehidupan.Juga virus kapitalisme, liberalisme, sekulerisme kini menyerang seluruh lini kehidupan yang sekarang mengakar menjadi sebuah ideologi yang diemban di negeri ini.
Melihat kondisi yang terjadi di negeri ini sudah cukup menjadi bukti bahwa hakikatnya Indonesia belum merdeka. Lalu bagaimana arti kemerdekaan yang hakiki?
Sejarah telah mengajarkan umat Muslim memaknai kemerdekaan yang hakiki. Ketika zaman jahiliyah Nabi Muhammad SAW, diutus oleh Allah membawa manusia kepada kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan dari kegelapan kepada cahaya hidayah Allah, dari kebodohan kepada ilmu Islam, dari kedzaliman kepada keadilan.
Kemerdekaan yang menjadi gerbang besar menuju kemenangan dunia dan akhirat. Dengan kekuatan ini dua imperium besar, Persia dan Romawi, ditundukkan di awal sejarah Islam.
Ketika perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash memerintahkan Rib’i bin Amir raá¸hiallahu ‘anhu untuk menghadap Rustum, panglima perang Persia. Rustum bertanya kepada Rib’i tentang tujuan kedatangan pasukan Islam ke wilayahnya. Dengan lantang Rib’i menjawab dan jawabannya itu kemudian dicatat dengan tinta emas oleh sejarah. Rib’i bin Amira berkata :
“Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesama manusia kepada penghambaan hanya kepada Allah semata, dan dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas, serta dari kesewenang-wenangan agama-agama (yang batil) kepada keadilan Islam (yang hak).”
Kemudian sahabat mulia Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu, ketika masih berstatus sebagai budak, beliau disiksa dengan siksaan yang amat pedih. Meski demikian, beliau tetap dalam keimanannya karena memiliki jiwa merdeka yang hanya bertauhid dan tunduk kepada Allah. Dengan itulah alasan beliau menjadi hamba yang merdeka seutuhnya.
Maka makna kemerdekaan yang hakiki adalah ketika seorang Muslim terbebas dari penghambaan kepada selain Allah, tunduk dan patuh kepada aturan dan hukum Allah. Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala belenggu penjajahan sesama manusia, dan keluar dari keterpurukan hidup di dunia.
Demi tercipta kemerdekaan yang hakiki sudah seharusnya seorang Muslim harus melawan segala bentuk neo imperialisme. Dengan senantiasa menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. [MO/sr]