Oleh : Sindy Utami
(Mahasiswi Fak.Hukum USN Kolaka)
Mediaoposisi.com- Dikutip dalam www. cnnindonesia.com, “Pada Juni lalu, seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), tewas bunuh diri setelah dirinya khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan Permendikbud nomor 14 tahun 2018 penerimaan peserta didik baru (PPDB) dilaksanakan dengan tidak mengacu nilai ujian nasional sebagai tolak ukur, melainkan radius jarak tempat tinggal ke sekolah.
Hal ini diatur demikian dengan harapan adanya pemerataan pendidikan. Supaya tidak ada lagi kastanisasi favoritisme sekolah. Sehingga tidak memunculkan kesenjangan diantara para pelajar, sebagai siswa unggulan atau siswa tersisihkan.
Siswa yang dianggap pintar dapat menyebar di seluruh sekolah untuk menjadi tutor kawan-kawannya yang memiliki kemampuan daya serap yang lebih rendah mengenai materi pembelajaran. Dengan demikian, setiap sekolah dapat bersaing untuk mencerdaskan siswa-siswinya melalui berbagai metode.
Selain itu panitia PPDB juga mampu membuat prediksi PPDB tahun berikutnya yang berkesinambungan dengan kebutuhan ruangan, kursi, dan fasilitas lain yang terkait.
Namun demikian, respon negatif muncul dari para orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya untuk alih jenjang. Banyak yang akhirnya tidak dapat diterima di suatu sekolah karena tergeser oleh peserta lain yang letak tinggalnya lebih dekat.
Kemudian, jika memutuskan mendaftar di luar domisili tentu kesempatannya berkurang hanya 5%. Itu pun harus berdasarkan pindah sebab bencana alam atau prestasi yang dimiliki. Maka pilihan terakhir adalah menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang biaya pembayarannya relatif lebih mahal. Meskipun dengan sistem zonasi ini terhindar dari kecurangan “jual-beli kursi”.
Namun, masih ada celah lain. Seperti berpindah ke suatu tempat 6 bulan sebelum PPDB dengan cara mencantumkan Nama calon peserta pada KK saudara. Tentu saja hal ini dapat mengurangi kesempatan peserta lainnya. Dan mirisnya kebijakan ini telah menelan korban. Seorang calon siswi bunuh diri karena ketakutan berlebih tidak dapat diterima di sekolah yang diidamkan.
Akibat Sekularisasi Pendidikan
Pemerataan pendidikan sebenarnya bukan suatu ilusi. Tentu saja hal tersebut dapat terwujud jika ada perubahan secara sistemik. Pemerintah tidak hanya fokus untuk memproduksi peraturan, tetapi juga memperhatikan secara keseluruhan bagaimana kelayakan fasilitas pendidikan.
Karena telah menjadi hak setiap warga negara mengenyam pendidikan, negara berkewajiban memenuhi hak warga negaranya. Bukankah kemajuan suatu negeri dapat diraih dengan kecerdasan bangsa.
Kecerdasan bangsa dilalui dengan pendidikan yang diayomi. Pemerataan pendidikan bukanlah soal jarak atau kemampuan, tapi tentang fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas. Dimana tidak hanya mendidik dari segi intelektualitas tetapi yang paling penting adalah moralitas.
Standarisasi pemerataan pendidikan bukan melalui berkumpul atau tersebarnya siswa-siswi yang dianggap pintar, seyogyanya pemerataan pendidikan adalah distandarkan agar setiap warga negara usia sekolah harus mengenyam pendidikan secara layak seluruhnya tanpa kecuali.
Hal ini tentu bukan hanya problem si anak yang enggan bersekolah, orangtua yang enggan menyekolahkan anaknya, atau sekolah yang tidak dapat menampung murid melebihi kapasitas kursi. Pemerataan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan kesadaran tiap warga negara.
Dalam Islam menuntut ilmu bukanlah sekedar berangkat ke suatu tempat untuk mendapatkan nilai dari seorang guru, tetapi merupakan kegiatan yang mendulang pahala. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Mujadilah ayat (11) “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang yang telah diberi ilmu.”
Inilah realitas sistem zonasi. Oleh Karena itu, dimana rasionalitasnya bahwa system zonasi mempermudah pendidikan, meniadakan diskriminasi, mendorong pemerataan dan peningkatan kualiatas pendidikan? Sementara disisi lain pemerintah masih saja menerapkan system pendidikan sekuler yang menjadi biang kerok dari segala permasalahan kehidupan.
Hanya Islam Solusinya
Islam memuliakan orang-orang yang berilmu, sehingga para pengajar sangat dihargai dalam Islam. Seperti misal pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab gaji seorang pengajar Al Qur’an adalah 15 dinar. Dimana 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas, sehingga jika dikalkulasikan dalam rupiah gaji seorang pengajar kala itu adalah Rp. 31.875.000,00.
Setiap sekolah pada masa Islam, disponsori langsung oleh negara melalui baitul maal. Biaya pendidikan dari baitul maal dibelanjakan untuk dua kepentingan yakni untuk membayar gaji berbagai pihak terkait pelaksanaan pendidikan seperti guru, dosen, staf dan lain sebagainya.
Kedua untuk pengadaan fasilitas sarana, dan prasarana seperti bangunan sekolah, perpustakaan, laboratorium, asrama, buku pegangan dan lain sebagainya. Ketika itu pemungutan biaya hanya dibebankan kepada wali pelajar yang memiliki notabene mampu.
Sehingga setiap warga negara dapat bersekolah dimana saja ia inginkan dengan kesempatan yang sama dengan warga lainnya berikut fasilitas yang telah disediakan oleh negara. Dengan demikian pemerataan pendidikan dapat menjadi sebuah kenyataan, bukan ilusi. Metode sistematika pendidikan yang diwariskan Rasulullah dan para Khalifah pengganti adalah hal yang solutif.
Sudah saatnya mengambil langkah untuk menyelamatkan generasi bangsa, yakni dengan kembali menyandarkan setiap tata laksana terhadap firman Allah Yang Maha Tahu dan sabda rasulullah SAW. [MO/sr]