Oleh: Agnes Ummu Afifah
Mediaoposisi.com- "Keputusan BPJS menghentikan fakoemulsifikasi dan mengganti dengan ECCE sangat baik dari sisi keuangan (kendali biaya), tetapi dari sisi mutu sungguh tidak bagus karena mengakibatkan seseorang menjadi tidak produtif dan nyaris buta baru dioperasi"
Kutipan di atas adalah sedikit dari tulisan viral dr. Patrianef, SpB(K)V, yang mengkritik adanya 3 peraturan baru yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Adanya peraturan baru tersebut menurutnya berpotensi menurunkan mutu pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Perlu diketahui, ECCE merupakan tindakan yang dilakukan ketika penglihatan seseorang sudah sangat buruk, yakni 6/60. Artinya, jarak pandang yang harusnya terlihat jelas dari jarak 60 meter kini hanya bisa terlihat dari jarak 6 meter. Sementara fakoemulsifikasi dilakukan ketika kondisi penglihatan sudah 6/18, di mana jarak penglihatan normal 18 meter baru terlihat jelas di jarak 6 meter.
Dalam aturan terbaru BPJS, tindakan fakoemulsifikasi kini sudah tak lagi dijamin JKN.
"Kalau 6/18 saja mata sudah kabur, sudah tentu mengganggu produktivitas seseorang. Tapi sekarang tunggu 6/60 dulu matanya, hampir buta, baru bisa operasi katarak yang dijamin BPJS," tegas pakar bedah subspesialis bedah vaskular dari RS Cipto Mangunkusumo ini.
Banyak pihak menyayangkan dan kecewa dengan dirilisnya 3 peraturan baru dari BPJS, dari pasien maupun profesi medis. Tiga kebijakan tersebut, antara lain menerapkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik (beritasatu.com, 25 Juli 2018).
Meski Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, berdalih dengan menyebut keluarnya 3 peraturan baru ini dilakukan untuk memastikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapat pelayanan yang bermutu dan efisien, dengan tetap mempertimbangkan berlangsungnya program JKN dalam jangka panjang.
Pada kenyataannya aturan baru ini memang berpotensi menurunnya kualitas pelayanan medis dengan banyaknya prosedur medis yang tidak lagi dijamin pembiayaannya oleh BPJS, dengan dalih menghemat anggaran.
Sungguh jauh berbeda dengan awal dipromosikannya badan ini, BPJS digadang-gadang sebagai solusi paling tepat untuk sistem kesehatan Indonesia. Seluruh masyarakat didorong untuk menjadi pesertanya. Instansi pemerintah dan perusahaan swasta pun diminta mendaftarkan semua PNS dan karyawannya.
Sejak berjalan resmi Per Januari 2014 silam, BPJS alih-alih mendatangkan berjuta manfaat tanpa masalah, justru membuat pelayanan kesehatan semakin penuh konflik dan kontroversi.
Dana iuran premi yang dihimpun dengan beragam cara ternyata tak cukup membuat BPJS mampu menanggung seluruh kebutuhan pembiayaan kesehatan pesertanya. Data dari laporan keuangan BPJS Kesehatan menyebut pada 2017 mereka mengalami kerugian mencapai Rp183,3 miliar. Angka ini relatif lebih baik jika melihat kerugian-kerugian pada tahun sebelumnya.
Pada 2014 BPJS Kesehatan rugi Rp814,4 miliar, 2015 membengkak jadi Rp4,63 triliun, dan 2016 Rp6,6 triliun.
Tahun ini defisit BJPS diprediksi membengkak. Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, sampai Mei 2018 saja defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp4,8 triliun. Pendapatan BPJS Kesehatan Rp33,56 triliun, sementara pengeluarannya lebih besar, Rp38,28 triliun (Tirto.id, 21 Juli 2018).
Jika memperhatikan dengan mendalam, sejatinya problem seperti ini selalu terjadi dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan terkait pelayanan kesehatan.
Bukan hanya terjadi di era BPJS. Mulai era ASKES, JAMKESMAS, JAMPERSAL, dan jaminan-jaminan yang lain telah muncul berbagai permasalahan meski tak separah era BPJS kini. Pangkal masalahnya ada pada siapa yang seharusnya menanggung pembiayaan kesehatan.
Sistem Kapitalisme yang diterapkan negeri ini meletakkan penanggungan biaya kesehatan pada rakyat, sementara pemerintah berlepas tangan. Kalaupun ada biaya yang ditanggung pemerintah, yaitu peserta BPJS yang termasuk program Bantuan Iuran, jumlahnya terbatas dan khusus warga tidak mampu.
Itupun mereka hanya mendapat fasilitas kelas 3, kelas terendah dalam kasta fasilitas BPJS. Sementara untuk peserta PNS, karyawan, terlebih mandiri harus menggunakan gaji dan uang sendiri untuk membayar premi tiap bulan. Meski tak tiap bulan mereka membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini berarti, negara mengalihkan tanggung jawab untuk pembiayaan kesehatan pada rakyatnya.
Tentu sangat bertentangan dengan Islam. Kesehatan menjadi salah satu fasilitas yang disediakan oleh negara untuk rakyat secara gratis. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan setiap individu masyarakat.
Diberikan secara cuma-cuma dengan kualitas terbaik, tidak hanya bagi yang miskin tapi juga yang kaya, apapun warna kulit dan agamanya. Tentang tugas penting dan mulia ini telah ditegaskan Rasulullah dalam tuturnya, yang artinya,
”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Sehubungan dengan itu, di pundak pemerintah pulalah terletak tanggung jawab segala sesuatu yang diperlukan bagi terwujudnya keterjaminan setiap orang terhadap pembiayaan kesehatan;
penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan; penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan; penyediaan peralatan kedokteran, obat-obatan dan teknologi terkini; sarana pra sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan terbaik, seperti listrik, transportasi dan air bersih; dan tata kelola keseluruhannya.
Adapun peran masyarakat, swasta, bila dipandang penting, seperti ketika Negara tidak memiliki teknologi kedokteran tertentu, pada hal sangat dibutuhkan masyarakat, maka dibatasi pada transaksi jual beli atau yang semisal, tidak boleh lebih dari pada itu. Disamping diberikan arahan dan motivasi agar beramal sholeh, seperti wakaf, dan shadaqah.
Pembiayaan jaminan kesehatan dalam Islam adalah model pembiayaan berkelanjutan yang sesungguhnya. Pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan telah ditetapkan Allah SWT sebagai salah satu pos pengeluaran pada baitul maal, dengan pengeluaran yang bersifat mutlak.
Artinya, sekalipun tidak mencukupi dan atau tidak ada harta tersedia di pos yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan, sementara ada kebutuhan pengeluaran untuk pembiayaan pelayanan kesehatan, seperti pembiayaan pembangunan rumah sakit, maka ketika itu dibenarkan adanya penarikan iuran yang bersifat sementara dari warga yang tergolong kaya, sebesar yang dibutuhkan saja. Jika upaya ini berakibat pada terjadinya kemudaratan pada masyarakat, Allah SWT telah mengizinkan Negara berhutang (helpsharia.com, 12 Januari 2017).
Demikianlah prinsip jaminan kesehatan dalam Islam, yang bersumber dari mata air ilmu dan kebenaran, yaitu Al Quran dan As Sunnah, dan apa yang ditunjuki oleh keduanya, berupa ijma’ sahabat dan qiyas. Inilah konsep yang berasal dari Allah SWT, satu-satunya konsep yang benar, yang lurus.
Sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam berfirman-Nya, QS Al-Baqarah (2): 147, yang artinya, “Kebenaran itu dari Rabmu, maka janganlah sekali-kali Engkau (Muhammad) termasuk orang yang ragu”. Dimana konsep-konsep tersebut adalah bagian integral dari keseluruhan konsep sistem kehidupan Islam.[MO/sr]