Oleh : Ummu Hanif
Mediaoposisi.com- Fenomena politisi kutu loncat atau berpindah-pindah partai politik (parpol) menjelang pemilihan umum (pemilu) kembali marak. Biasanya hal ini terjadi karena bermasalah di parpol sebelumnya sementara politisi tersebut masih terus ingin berkarier dalam politik.
Politisi kutu loncat tidak hanya mengejar jabatan di eksekutif melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) tetapi atau ingin meraih kursi di lembaga legislatif melalui pemilu seperti menjelang Pemilu 2019 ini.
Guru besar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Syamsuddin Haris mengaku prihatin atas fenomena politisi kutu loncat tersebut. Sebagaimana yang dilansir www.wartakota.tribunnews.com (21/7/2018),
beliau menyampaikan bahwa fenomena politisi pindah parpol akan berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Para politisi kutu loncat ini biasanya sekadar mengejar kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu, www.sindoews.com (18/7/2018) mencatat, ada belasan anggota DPR memutuskan kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat melalui partai politik berbeda.
Setidaknya ada 16 anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri melalui partai politik berbeda. Sebagian besar wakil rakyat tersebut pindah dari partai asal ke Partai NasDem. Dikabarkan adanya janji pembiayaan kampanye dalam jumlah besar menjadi salah satu alasan para anggota DPR tersebut rela berpindah ke partai politik berlambang bulan dan matahari tersebut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai NasDem Johnny G Plate mengatakan, NasDem mendaftarkan sekitar 575 orang untuk caleg DPR RI. Di antaranya, banyak politisi kawakan seperti mantan menteri, mantan gubernur, mantan Anggota DPR dan juga mantan pimpinan partai.
Berdasarkan pengamatan kasus di atas, sindonews.com menyimpulkan bahwa fenomena pindahnya kader parpol ini diakibatkan oleh dua faktor yakni, tingginya cost politic serta problem di internal parpol tersebut di mana ada perbedaan pendapat sehingga menyebabkan perpecahan di internal partai.
Fenomena ini harusnya menjadi pelajaran bagi kikta semua. engungkap bhw demokrasi hanya mampu melahirkan politisi2 pragmatis yg minus visi ideologis.
Wajar jika negara kacau balau krn diatur oleh orang-orang yg tdk kapabel dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri
Fenomena ini sekaligus merupakan koreksi total atas peran dan fungsi parpol yg seharusnya, yakni sbg wahana membina kader dg platform parpol, mengedukasi umat dg pemikiran-pemikiran yg diadopsi parpol, berjuang mewujudkan visinya dlm kehidupan nyata. Fungsi parpol dlm demokrasi hanya sbg batu loncatan utk meraih kursi kekuasaan.
Hal ini berbeda dg Islam, dimana peran dan fungsi partai sangat mulia sebagaimana dijelaskan dalam QS 3:104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Kebajikan (al khair) adalah segala sesuatu yang mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kemurkaan-Nya.
Ma'ruf: segala perintah Allah atau yang dianggap baik oleh syara' dan akal, sedangkan munkar adalah segala yang dilarang Allah atau yang dianggap buruk oleh syara' dan akal.
Ayat ini merupakan petunjuk dari Allah kepada kaum mukmin, yakni hendaknya di antara mereka ada segolongan orang yang mau berdakwah dan mengajak manusia ke dalam agama-Nya.
Termasuk ke dalamnya adalah para ulama yang mengajarkan agama, para penasehat yang mengajak orang-orang non muslim ke dalam Islam, orang yang mengajak orang-orang yang menyimpang agar dapat beristiqamah, orang-orang yang berjihad fi sabilillah,
dewan hisbah (lembaga amr ma'ruf dan nahi munkar) yang ditunjuk pemerintah untuk memperhatikan keadaan manusia dan mengajak manusia mengikuti syara' seperti mengajak mereka mendirikan shalat lima waktu, berzakat, berpuasa, berhaji bagi yang mampu dan mengajak kepada syari'at Islam lainnya,
demikian juga memperhatikan pasar, bagaimana timbangan dan takaran yang mereka gunakan apakah terjadi pengurangan atau tidak, serta melarang mereka melakukan kecurangan dalam bermu'amalah.
Semua ini hukumnya fardhu kifayah. Bahkan tidak hanya itu, segala sarana yang menjadikan sempurna amr ma'ruf dan nahi munkar, sama diperintahkan, misalnya menyediakan perlengkapan jihad untuk dapat mengalahkan musuh, mempelajari ilmu agar dapat mengajak manusia kepada kebajikan, menuliskan buku-buku yang berisikan ajaran Islam,
membangun madrasah untuk mengajarkan agama, membantu pihak berwenang (dewan hisbah) mewujudkan syari'at, dsb. Mereka inilah orang-orang yang beruntung, yakni memperoleh apa yang mereka inginkan dan selamat dari hal yang mereka khawatirkan.
Pada ayat selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang mereka bertasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab yang berpecah belah dalam beragama, terlebih perpecahan mereka terjadi setelah datang keterangan yang jelas.[MO/sr]