Oleh : Gita Larasati FT
(Karyawati, Tegal)
"Informasi terakhir dari Polresta Bogor yang pertama tidak ada masalah pidana," kata Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta, Ahad (3/6). Menurut Setyo, sudah ada pertemuan antara pihak Radar Bogor dan PDIP. Pertemuan itu terkait pemberitaan koran Radar Bogor bertajuk 'Ongkang Ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta' tentang gaji Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dimana Megawati Soekarnoputri menjadi sampul depan judul berita tersebut.
"Mungkin dalam waktu dekat ada pertemuan lagi dari asosiasi dan lainnya akan ketemu," ujar dia. Dengan ini, kata Setyo, maka kedua belah pihak sepakat akan menyelesaikan perkara tanpa langkah hukum, atau kekeluargaan. Sebelumnya Simpatisan PDIP mendatangi kantor Radar Bogor pada Rabu (30/5) sore. Mereka datang ramai-ramai menggeruduk Radar Bogor.
Saat itu, mediasi berlangsung antara kedua belah pihak dan menyepakati beberapa hal. Pihak Radar bersedia mengoreksi berita dan menerbitkan permintaan kader PDIP. Pada Jumat (1/6) lalu, sejumlah kader dan simpatisan PDIP kembali mendatangi kantor Radar Bogor untuk memprotes masalah yang sama. Sementara itu, Forum Pekerja Media mengecam pernyataan politisi PDIP yang mengancam akan meratakan kantor Radar Bogor apabila terjadi di Jawa Tengah.
Hal ini menurut mereka adalah pernyataan yang bernada kekerasan dan menimbulkan rasa tidak aman bagi pekerja media lainnya. "Ini kan pernyataan yang memicu kekerasan pada teman-teman Radar Bogor di wilayah lainnya," kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, Sasmito di lokasi aksi, Sabtu (2/6).
Pernyataan tersebut, ia menambahkan, adalah pernyataan anti demokrasi kebebasan pers. Selain itu pernyataan tersebut sangat berpotensi memicu kekerasan lanjutan yang dilakukan oleh kader atau simpatisan kepada media-media yang berbeda pendapat. Selain itu, pihaknya juga mengimbau kepada Polri untuk mengusut tuntas segala bentuk intimidasi.
Pasalnya pada kedatangan PDIP ke kantor Radar Bogor yang pertama sempat terjadi perbuatan yang menimbulkan ketidaknyamanan pada staf dan pengerusakan alat-alat kantor.
Terjadi hipokrisi dalam kasus tersebut, yaitu secara terbuka PDIP bertindak dengan cara yang tidak konsisten dalam kebebasan menyampaikan pendapat dan kritik. Sedangkan dalam Demokrasi itu sendiri menjamin hak untuk berpendapat, namun hal tersebut tidak serta merta dipakai oleh PDIP yang malah bertindak anarkis.
Sedangkan dalam Islam, rakyat diberi ruang untuk melakukan muhasabah kepada penguasa agar tidak melakukan kezhaliman. Kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) disyariatkan dalam Islam.
Ia merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang hukumnya fardhu kifayah. Karenanya, di dalam umat harus senantiasa ada orang-orang yang melakukan kewajiban ini, kalaupun tidak bisa dilakukan oleh mereka secara keseluruhan. Hal ini banyak dijelaskan baik dalam al-Quran maupun as-Sunah. Diantaranya firman Allah SWT,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (al-baqarah: 143)
Dalam ayat lain Allah SWT, berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil ” (QS. Al-Maaidah[5]: 8)
Di samping ayat-ayat lain yang banyak sekali jumlahnya terkait kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dua ayat di atas merupakan seruan kepada umat Islam untuk menjadi saksi bagi umat dan bangsa lain. Lalu bagaimana umat ini menjadi saksi bagi mereka kalau ia belum bisa menjadi saksi dan pemimpin atas dirinya sendiri.
Hal ini mengharuskan selalu adanya muhasabah dan kritik bukan hanya diantara individu-individu umat melainkan terhadap penguasa dalam kedudukanya sebagai pemimpin, pemelihara urusan-urusan mereka, pihak yang bertanggung jawab mewujudkan kesejahtera dan membimbing meraka hingga mampu menjadi suhada bagi umat dan bangsa lain .
Selain itu, dalam banyak hadits Rasulullah SAW. juga menjelaskan tentang kewajiban muhasabah ini, diantaranya sabda beliau yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَأْمُرُونَكُمْ بِمَا لَا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ (رواه أحمد)
“Akan ada para pemimpin yang memimpin kalian dengan perkara-perkara yang tidak mereka laksanakan. Karena itu, siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedzaliman mereka maka ia bukan termasuk golongganku, dan aku juga bukan termasuk golongannnya; telaga haud pun sekali-kali tidak akan bermanfaat bagiku (untuk menolongnya). (HR. Ahmad).
Selain itu pula, Islam telah menganggap orang yang dibunuh karena penentangannya terhadap penguasa sebagai afdhalus syuhada, ini tiada lain karena Islam menjadikan muhasabah sebagai perkara penting bahkan ia merupakan salah satu pilar bagi hilangnya kedzaliman dan tegaknya hukum Allah SWT di muka bumi ini.
Lalu Bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghadapi kritik atau muhasabah yang dilakukan oleh rakyatnya, perlukah ia berapologi, membela diri atau selalu merasa benar bahkan melakukan pencitraan dan kebohongan? Mari kita lihat karakter para pemimpin muslim di masa lalu, terutama Rasulullah SAW sebagai panutan kita. Pada zaman kehidupan Rasullah SAW, kritik pernah terjadi, dimana budaya muhasabah ini telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Para shahabat sebagai rakyat pernah melakukan muhasabah kepada kebijakan pemerintahan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Rasulullah, pernah dinasihati Hubbab bin Mundzir dalam menentukan posisi pasukan di medan perang Badar.
Pada saat ditandatangani perjanjian Hudaibiyah kaum Muslim menampakkan ketidaksetujuan mereka kepada beliau. Sedang seusai perang Hunain, para sahabat Anshar menampakkan rasa kecewa melihat Rasulullah memberikan ghanimah kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam (al-muallafatu qulubuhum), tanpa memberikan satu bagian pun untuk mereka.[MO/sr]