Oleh: Ainul Mizan, S.Pd
Mediaoposisi.com- Pertimbangan guna menjaga marwah pemerintah, di samping untuk melawan ujaran kebencian yang ditujukan kepada pemerintah, Presiden membentuk TPIJ (Tim Pembela Istana Jokowi) (Antaranews.com, 31 Mei 2018). Bahkan Tim Pembela Jokowi ini akan dibentuk di setiap daerah.
Memang pembentukan TPIJ ini tidak sebagaimana BPIP. Jika saat pembentukan BPIP sudah ada ketentuan penggajiannya yang diatur dalam Perpres, yang tentunya menjadi bahan pembicaraan hangat yang cukup meluas. Walaupun begitu untuk TPIJ tetap patut untuk dikaji terkait urgensitasnya.
Setidaknya ada beberapa hal catatan terkait pembentukan TPIJ ini, yang selanjutnya lebih simpel disebut dengan Tim Pembela Jokowi.
Pertama, Terdapatnya tumpang tindih regulasi di dalam penanganan terhadap apa yang disebut sebagai ujaran kebencian. Terkait dengan ujaran kebencian, sudah terdapat UU ITE. Bahkan tidak cukup dengan itu, telah ada juga perppu Ormas. Hanya saja jangan sampai kemudian, UU ITE maupun Perppu Ormas menghilangkan hak konstitusi warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat serta berkumpul.
Lantas dibentuknya Tim Pembela Jokowi bisa menimbulkan kesan bahwa adanya UU ITE maupun Perppu Ormas hanyalah untuk kepentingan sekelompok masyarakat tertentu, dalam konteks ini adalah pemerintah. Ataukah nanti akan ada undang – undang yang menegaskan untuk tidak boleh memberikan kritikan, maupun koreksi atas setiap kebijakan pemerintahan.
Kedua, Adanya pemborosan APBN maupun APBD. Kemarin saat pembentukan BPIP dengan numerasi gaji yang fantastis, tentunya akan menimbulkan banyak tanda tanya akan kerja nyata BPIP bagi rakyat. Dengan tidak jelasnya skema kerja BPIP dan disinyalir hanya memboroskan keuangan negara, tentu akan menjadi gaji buta bagi mereka yang ada di dalamnya.
TPIJ atau Tim Pembela Jokowi sebenarnya tidak diperlukan lagi karena sudah ada BPIP, dengan catatan kerja BPIP itu jelas. Pemerintahan itu ada adalah dalam rangka untuk menjalankan amanat rakyat dan menjaga kelurusan pengamalan pancasila. BPIP dalam hal ini menduduki posisi membantu pemerintah menjaga kelurusan pengamalan pancasila. Ketika ada Parpol yang radikal seperti melakukan premanisme, tentunya BPIP berperan untuk membinanya.
Begitu pula, saat disinyalir ada warga atau organisasi yang kurang baik di dalam menyampaikan aspirasinya, BPIP berperan. Contohnya baru – baru ini, adanya aksi mogok sopir angkutan umum terkait persoalan angkutan online. Walhasil adanya TPIJ ini semakin menjadi tidak jelas arah kerjanya ketika sudah dibentuk apa yang disebut sebagai BPIP. Artinya hanya akan membebani APBN dan APBD.
Ketiga, Tidak ada manusia yang ma’sum. Yakni tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat kesalahan dan dosa, kecuali ia adalah seorang Nabi. Dengan demikian, adalah sebuah hal yang wajar bila di dalam melakukan sesuatu apapun kita terkadang mendapatkan kritik maupun koreksi. Apalagi dalam menyelenggarakan sebuah pemerintahan negara. Mutlak diperlukan adanya balance antara kebijakan politik dengan koreksi di satu sisi.
Memang betul bahwa seorang pemimpin itu harus orang yang kuat bukanlah sosok yang lemah. Pemimpin itu mempunyai kekuatan kepribadian, baik cara berpikirnya maupun pola kejiwaannya. Ia memiliki pengetahuan akan berbagai hubungan nasional maupun internasional. Bagitu pula kejiwaannya adalah kejiwaan seorang pemimpin.
Ia mempunyai keteguhan dan tidak mudah terombang – ambing. Hanya saja dengan kekuatan kepribadian ini, seorang pemimpin berpotensi menjadi otoriter dan sewenang – wenang. Oleh karena itu, mutlak bagi seorang pemimpin memiliki sikap ketaqwaan dalam kepemimpinannya. Ia akan terbuka kepada semua kritik maupun koreksi atas setiap kebijakannya. Bahkan tidak malu untuk mengakui kesalahan kebijakannya dan menerima koreksi yang disampaikan kepadanya.
Adalah Kholifah Umar bin Khotthob ra, dengan besar hati mengakui kesalahan kebijakannya dalam hal penetapan mahar pernikahan. Syifa memberikan koreksi dengan tegas dan keras kepadanya. Atas hak apakah Umar ini menetapkan batasan mahar nikah, sementara Alloh SWT di dalam firmanNya tidak pernah menentukan batasan mahar pernikahan?
Setelah mendengarkan dengan seksama uraian dari Syifa ini, Kholifah Umar ra segera membenarkannya dan meralat kebijakannyadi hadapan khalayak ramai. Kholifah Umar ra tidak lantas melakukan persekusi kepada Syifa lantaran berani menentangnya. Beliau justru berterima kasih karena diingatkan dari kesalahannya.
Keempat, Adanya praktek politik yang tidak santun dari pemerintah sendiri. Pernyataan – pernyataan para menteri di Kabinet kerja yang asbun. Bahkan terkesan anti kritik. Di antara pernyataan asbun menteri Jokowi seperti kata menkes bahwa di dalam cacing itu banyak mengandung protein, menjawab keluhan rakyat akan ditemukannya cacing di dalam makarel dan sarden.
Begitu juga, pernyataan Mendag tentang beras di pasaran yang masih mahal. Mendag mengatakan bahwa rakyat harus menawarnya. Bahkan yang terbaru dari Mendag, kalau pihaknya tidak memberikan ijin impor singkong, tapi sudah jalan sendiri. Aneh, ada impor singkong tanpa seijin dan sepengetahuan dari mendag. Apa mungkin impor gelap ataukah singkongnya jalan sendiri?
Sementara itu drama ketidakadilan kian nyata, terutama kepada umat Islam. Padahal warga Indonesia ini mayoritasnya adalah umat Islam. Artinya pemerintah sudah melakukan ketidakadilan kepada rakyatnya sendiri. Persekusi kepada ulama dan aktivis Islam. Persekusi kepada ajaran Islam. Apakah di negeri yang mayoritas Islam ini, justru terjadi persekusi kepada Islam.
Keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakannya yang tidak terlihat. Biaya hidup semakin mahal, pengangguran masih tinggi, utang negara yang kian menumpuk hingga sekarang tembus pada angka kurang lebih 5000 trilyun rupiah. Utang negara yang besar tersebut 49 persennya adalah utang swasta. Artinya ancaman kebangkrutan negara sudah membayang.
Eksploitasi besar – besaran kekayaan alam Indonesia oleh asing, semakin menambah penderitaan bangsa ini. Tentunya pengurusan urusan rakyat dengan pola sedemikian tidaklah bisa disebut sebagai politik yang santun. Jika demikian, keharusan untuk memberikan saran, kritikan maupun koreksi walaupun itu terasa pedas adalah sesuatu yang urgen dan mendesak demi menyelamatkan negeri.
Apakah dengan alasan menjaga marwah pemerintah, Tim Pembela Jokowi ini akan tetap dibentuk? Sementara di sisi lain, prkatek politik yang dijalankannya memang mengharuskan adanya balancing berupa koreksi dari berbagai pihak.
Yang lebih mengherankan lagi adalah fragmen tiadanya penjagaan marwah ulama dengan adanya persekusi, tentunya mengisyaratkan sebuah kesimpulan bahwa ketika marwah ulama saja tidak bisa dijaga, justru hal demikian hanya mencerminkan ketiadaan marwah bagi para pelaku pemerintahan. Jika demikian adanya, dimanakah letak urgensi penjagaan marwah pemerintah dengan pembentukan TPIJ ini?
Tinggal satu persoalan yakni terkait dengan bagaimanakah praktek politik yang santun itu? Yang urgen harus dipahami bahwa politik itu adalah pengurusan urusan rakyat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pengurusan tersebut dilakukan oleh pemerintah, dan rakyat memberikan koreksi kepada pemerintah.
Di dalam pengurusan urusan rakyatnya ini, pemerintah sadar betul bahwa ia mendapatkan amanat dari rakyat. Dengan demikian ia tidak memandang rakyatnya sebagai rival dalam setiap kebijakannya. Pemerintah akan menempatkan rakyat sebagai pemicu kebaikan dan kelurusan dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Ia terbuka menerima koreksi bahkan walaupun terasa pahit. Islam telah menggariskan semua ini dengan begitu jelas dan rinci, dan akan terlihat begitu indahnya penyelenggaraan kehidupan bernegara yang saling bersinergi demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.[MO/sr]