Oleh: Sulistia Harun
Mediaoposisi.com- Kebebasan merupakan hal sakral dalam demokrasi. Manusia bebas melakukan apapun yang dia inginkan. Begitupun dengan kebebasan berpendapat. Masyarakat Indonesia khusunya sekarang ini bebas berpendapat karena telah runtuhnya orde baru yang mengekang kebebasan tersebut.
Saat ini kita dapat mengemukakan pendapat apa saja, dapat mengkritik siapa saja karena hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi dalam demokrasi.
Apakah benar demokrasi menjamin kebebasan setiap individu? Pada faktanya TIDAK. Kasus Penggerebekkan kantor Radar Bogor oleh PDIP yang dipicu headline Radar Bogor yang berjudul “Ongkang-ongkang Kaki dapat 112 juta” menjadi bukti bahwa kebebasan berpendapa itu omong kosong. Massa PDIP mendatangi kantor Radar Bogor pada Rabu (30/5) sore. Mereka marah sambil memaki, mengintimidasi, merusak alat-alat kantor, bahkan memukul seorang staf (CNN, 2/6/18).
Kasus ini langsung mendapat respon dari sejumlah jurnalis. Jurnalis yang tergabung dalam Forum Pekerja Media melakukan aksi protes terhadap tindakan yang dilakukan oleh kader PDIP di Kantor Radar Bogor. Koordinator Aksi Sasmito Madrim mengatakan intimidasi, pemukulan terhadap staf Radar Bogor, dan perusakan properti kantor oleh kader PDIP merupakan pelanggaran hukum yang dapat mengancam kebebasan pers (CNN, 2/6/18).
Selain itu, kasus Profesor Suteki Guru Besar Universitas Diponegoro yang dipersekusi karena diduga pro terhadap salah satu ormas, adanya sertivikasi ulama masjid, dan lahirnya UU ITE ataupun Hate Speech menjadi bukti kuat bahwa sebenarnya hak mengemukakan pendapat dalam demokrasi hanya berupa pujian-pujian kepada rezim yang berkuasa bukan kritik.
Kebebasan berpendapat hanya diperbolehkan bagi mereka para penjilat. Kritik terhadap penguasa dibungkam bahkan dicabut dari orang-orang yang dianggap mengganggu kekuasaan mereka. Negara dan rezim yang mengaku sebagai demokrator sejati nyatanya GAGAL mengimpelentasikan kebebasan itu sendiri karena memang pada pada dasarnya kebebasan dalam demokrasi adalah UTOPIS.
Jika dalam demokrasi kebebasan berpendapat adalah utopis, lalu bagaimana rakyat dapat saling mengoreksi teruatama koreksi terhadap penguasa? Islam adalah agama dengan kesempurnaan aturannya artinya Islam juga mengatur Negara dan politik. Kaum muslim wajib melek politik karena berperan melakukan muhasabah lil hukam atau koreksi terhadap penguasa. Rasulullah bersabda:
"Siapa saja yang melihat penguasa yang zhalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengingkari janji Allah, menyalahi sunnah Rasul, memperkosa hak-hak hamba Allah, lalu tidak mengubahnya dengan perkataan ataupun perbuatan, maka pasti Allah akan menempatkannya di tempat penguasa zhalim itu (di akhirat)" (HR. Ibnu Katsir, lihat, Abdul Aziz Al Badri, Ulama dan Penguasa, hal 45).
Khalifah Umar ra. pernah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi pemberian mahar atau mas kawin. Wanita itu membacakan firman Allah:
"Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun" (QS. An Nisaa: 20).
Mendengar teguran itu, Umar berkata:
"Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru". Berdasarkan gambaran tersebut, hanya Islamlah yang mampu memberikan ruang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasa.[MO/sr]