Oleh: Nur Khamidah
(Mahasiswa Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya)
Mediaoposisi.com- Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut total utang Indonesia yang mencapai RP. 4.180 triliun hingga akhir April 2018 masih di bawah batas aman. Dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini sebesar RP. 14000 triliun, batas aman utang Indonesia sesuai Undang-Undang (UU) mencapai RP. 840 triliun.
Sri mulyani mengatakan bahwa utang baru yang diambil pemerintah dibutuhkan dalam rangka membenahi infrastruktur untuk kemudahan hidup masyarakat termasuk untuk perkembangan industri dalam negeri. Selain itu, utang juga digunakan untuk subsidi kebutuhan masyarakat. (CNN, Minggu/27/05/2018)
Dibalik asumsi utang yang aman, tersimpan bahaya yang siap menerkam negeri ini. Utang luar negeri adalah bukti ketidakmandirian negeri ini dan keran masuknya penjajahan Barat. Peran Barat melalui IMF untuk mendominasi negeri Muslim ditempuh dengan memberikan bantuan dan merekayasa krisis ekonomi yang menyebabkan kebutuhan akan hutang.
Jika kondisi ini terwujud, IMF akan datang untuk memanfaatkan semua pengendalian ekonomi, memaksakan pengontrolan perekonomian di negeri ini, dan memaksakan syarat-syarat reformasi ekonomi yang disesuaikan dengan kehendak IMF, sebagai imbalan dari penjadwalan kembali hutang-hutangnya.
Salah satunya melalui program penghematan dengan mengambil sejumlah kebijakan untuk mengesahkan undang-undang untuk mendukung ide swastanisasi, yang menurut IMF berguna untuk menggairahkan kegiatan ekonomi.
Swastanisasi dilakukan dengan mengubah sektor publik menjadi sektor swasta, untuk mengurangi peran negara dan beban biaya besar dalam sektor jasa, seperti listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Penanganan sektor-sektor yang telah diswastanisasi otomatis beralih ke pihak swasta. Hal ini justru melahirkan dominasi orang-orang kaya di sektor-sektor jasa yang sangat vital.
Pelayanan jasa dengan harga rendah yang seharusnya diberikan oleh negara tanpa mengambil keuntungan. Orang-orang kaya akan menetapkan harga sesuai kepentingan mereka. Belum lagi adanya kenaikan jumlah pengangguran sebagai akibat pengurangan tenaga kerja ketika terjadi perubahan sektor publik menjadi sektor swasta.
Termasuk kebijakan pencabutan subsidi bagi barang-barang kebutuhan pokok dan tidak adanya kenaikan gaji atau upah, maka yang akan menderita adalah masyarakat. Inilah kekacauan di balik asumsi utang yang aman akibat penerapan sistem Kapitalisme.
Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan utang sebagai pemasukan negara. Sebab utang inilah yang menjadi keran penjajahan Barat dan Islam menuntut negara untuk mandiri. Maka dalam Islam ada pengaturan terkait kepemilikan umum, individu, dan negara yang tidak boleh dicampuraduk.
Kepemilikan negara seperti SDA akan dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, kesehatan, maupun pendidikan. Kekayaan umum seperti sumber daya alam, selamanya tidak boleh diswastanisasi apalagi dikuasai asing. Oleh karena itu, kerja sama-kerja sama dengan asing yang merugikan negara harus segera diputus.
Tsaqofah asing jua harus disterilkan agar asing (Barat) tidak menjadi kiblat umat Islam. Inilah cara menutup keran penjajahan Barat. Semua itu akan terwujud ketika umat Islam berjuang menerapkan aturan Allah secara kaffah dalam naungan Khilafah dan mencampakkan Kapitalisme.[MO/sr]