Oleh Khamsiyatil Fajriyah
Mediaoposisi.com-Perpres no 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadikan banyak pihak khawatir akan nasib tenaga kerja Indonesia.
Banyak pihak yang menengarai, dengan Perpres ini semakin mempermudah atau bahkan membebaskan TKA bekerja di Indonesia. Kemudahan dalam pengajuan RPTKA( Rencana Pengajuan Tenaga Kerja Asing), IPTA( Izin Penempatan Tenaga Asing) dan Vitas(Visa ijin tinggal sementara).
Dalih pemerintah bahwa syarat kualitatif tetap berlaku, akhirnya seperti saran saja bagi perusahaan pengguna TKA. Kementerian Tenaga Kerja tidak pernah benar-benar melihat apa yang terjadi. Di lapang, syarat kualitatif seperti keahlian dan kemampuan berbahasa Indonesia para TKA ini sudah tidak diindahkan. Contohnya beberapa waktu lalu, di proyek tol pekalongan warga menemukan 13 TKA illegal. Mereka sebagai kuli dan tidak bisa berbahasa Indonesia.
Wajar bila khalayak umum menilai kebijakan ini akan merugikan Tenaga Kerja Indonesia. Di akhir tahun 2017 masuknya TKA sudah mengalami kenaikan sebanyak 70% lebih banyak daripada akhir tahun 2016(detikNews.com).
Dengan banyaknya TKA yang berdatangan dan bekerja di negeri ini secara otomatis Pendapatan akan menghilang, daya beli menurun, pajakpun berkurang. Menjadi pengangguran juga memicu masalah sosial. Semakin tinggi angka perceraian, kriminalitas, bahkan tidak mustahil kejahatan seksual pasti terjadi.
Peraturan tentang TKA tidak ditetapkan satu kali ini saja. Di tahun 2013 terbit peraturan tentang kewajiban belajar bahasa Indonesia bagi TKA. Tahun 2015 peraturan tersebut dicabut dan ditetapkan tidak wajibnya TKA belajar bahasa Indonesia. Peraturan demi peraturan ditetapkan untuk semakin menyempurnakan. Menyempurnakan liberalisasi masuknya TKA ke dalam negeri.
Membuka penghalang masuknya TKA ke dalam negeri adalah konsekuensi Indonesia berkhidmat pada GATS (General Agreement on Trade Services). Sebuah konvensi yang digagas WTO agar negara-negara anggotanya totalitas dalam perdagangan global atau membuka semua bentuk proteksi arus perdagangan global
Indonesia telah melewati 23 tahun menjadi anggota WTO,Harapannya, dengan ikut aktif dalam perdagangan internasional memajukan perekonomian Indonesia. Ratifikasi WTO juga telah ditetapkan menjadi Undang-undang sejak tahun 1995. Konsekuensinya Indonesia harus melakukan liberalisasi masuk dan keluarnya barang, modal, investasi, dan orang.
Semakin terperosoknya Indonesia dalam pusaran liberalisasi, dengan berperan serta dalam ACFTA ( Asean China Free Trade Association) dan MEA(Masyarakat Ekonomi Asean).Ke duanya adalah organisasi perdagangan multilateral yang berada di bawah naungan WTO. Tuntutan untuk mutlak menghilangkan proteksi arus barang, jasa, investasi, dan orang antar negara semakin menguat.
Maka jadilah Indonesia sebagai negara pengimport. Semua barang diimport hanya dengan alasan keuntungan ekonomi. Dari barang aksesoris yang remeh, hingga bahan pangan yang mengusik kedaulatan negara. Begitupun nantinya dengan jasa tenaga kerja. Dari tenaga ahli seperti profesor sampai kuli akan menjadi komoditas import bagi Indonesia.
Nampak tidak berdaulat. Tetapi seperti itulah buah 'pelayanan' kepada organisasi Internasional. Kebijakan dan kesepakatan yang dihasilkan, ditetapkan oleh negara-negara adikuasa. Negara-negara yang memiliki kekuatan politik besar di dunia. Negara-negara berkembang hanya mengikutinya saja dengan dalih kesepakatan. Bahasa manis 'bermitra' berbuah keuntungan bagi mereka, buntung bagi kita.
Dengan penjajahan gaya baru yaitu penjajahan ekonomi, mereka menghisap habis kekuatan negara-negara berkembang. Negeri-negeri muslim,Indonesia salah satunya.
Untuk lepas dan melawan mereka, sebenarnya cukup dengan mewujudkan kekuatan baru. Bukan sekedar kekuatan ekonomi, tetapi haruslah kekuatan politik. Semua kekuatan ekonomi ditopang oleh sistem politik. Sistem ekonomi kapitalis liberal ditopang oleh sebuah kekuatan politik, oleh sebuah negara.
Tentu saja sudah tidak ada alasan lagi kita terus mempertahankan ekonomi liberal yang sudah jelas-jelas tidak mampu lagi dalam mensejahterakan ummat.[MO/un]