Oleh : Melfin Zaenuri
Mediaoposisi.com- Setelah menonton Mata Najwa Episode Melarang Ormas Terlarang, saya menaruh apresiasi lebih kepada Ismail Yusanto (Jubir HTI) ketimbang Alfa Isnaini (Komandan Banser Nasional). Secara gagasan, saya tidak setuju dengan ide-ide khilafah yang dimajukan oleh HTI, tapi sebagai sebuah gagasan, ia sah-sah saja dipertarungkan dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Tak usah lah negara mengatur isi kepala rakyatnya. Apalagi jika merujuk sejarah Indonesia, gagasan tentang penerapan syari’at Islam itu sudah ada dalam perdebatan BPUPKI dalam membuat dasar negara.
Ada satu pernyataan yang disampaikan oleh Alfa Isnaini, bahwa khilafah ala HTI itu utopis, tidak kongkrit. Pertanyaannya: apakah Pancasila yang selama ini merupakan harga mati bagi Banser itu tidak utopis? Apakah ada suatu rezim di Indonesia yang sebenar-nyatanya Pancasilais? Apakah sudah terwujud Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Apakah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan yang dinyatakan sebagai demokrasi ala Indonesia itu benar-benar terwujud?
Tidak ada yang betul-betul terwujud. Katanya kemanusiaan yang adil dan beradab, tapi kenyataannya kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang melibatkan negara belum terselesaikan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Tidak usah dipertanyakan lah distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial di Indonesia. Data telah banyak menunjukkan hal itu. Demokrasi ala Indonesia? Jual-beli suara dan jabatan masih mewarnai perhelatan politik Indonesia.
Intinya, Pancasila itu utopis, dan memang harus utopis. Ideologi, apapun itu, haruslah utopis. Karena ia menjadi acuan dan pedoman serta koridor dalam bergerak dan berjuang untuk mencapai yang ideal tersebut. Jika tidak utopis, ideologi haruslah diperbaharui karena mudah atau sudah tercapai.
Yang mudah atau sudah tercapai atau yang kongkret itu namanya program kerja dalam rangka menuju cita-cita ideologis. Pertanyaan buat Alfa Isnaini, Komandan Banser Nasional itu, apakah mau Pancasila disebut sebagai program kerja?
Sedangkan Ismail Yusanto konsisten dengan gagasannya: khilafah, dan argumentasi yang dibangun betul-betul dipersiapakan secara matang (menguasai) dan tidaklah karbitan. Baik itu argumentasi tentang perbedaan tafsir prihal khilafah yang disikapi secara bijaksana ataupun jalur konstitusional yang selama ini ditempuh oleh HTI dalam menyampaikan aspirasinya.
Argumentasi menarik datang dari Hary Azhar, Direktur Lokataru, yang menyatakan HTI menikmati prinsip-prinsip demokrasi untuk kemudian menggunakan gagasan menolak demokrasi.
Menggunakan tangan negara untuk melarang Ormas atau secara umum kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi itu hal yang haram dalam demokrasi. Biarkanlah kompetisi wacana, gagasan dan ideologi ada selagi ada dalam koridor demokrasi, hak asasi manusia dan konstitusi.
Terkait argumentasi hukum, saya menaruh hormat kepada Yusril Ihza Mahendara (Kuasa Hukum HTI) karena argumentasi-argumentasinya yang runtut ketimbang Ahmad Budi Prayoga (Kuasa Hukum Pemerintah) yang tergopoh-gopoh dan kewalahan menanggapi pertanyaan Yusril perihal kesinambungan UU Ormas dan Perppu Ormas lalu menjadi UU Ormas.
Yang terakhir, sebagai bagian dari nahdliyin (NU Kultural atau Jama’ah NU), saya menyarankan kepada Banser ataupun Ansor untuk membentuk juru bicara organisasi yang mumpuni lah. Bukan sekadar bela mati-mati NKRI dan Pancasila tanpa bangunan argumentasi yang kokoh dan runtut.[MO]