Oleh: Novita Sari Gunawan
(Aktifis Akademi Menulis Kreatif)
Mediaoposisi.com- "Koruptor ternyata bukan sejenis maling, mereka itu priyayi agung, orang penting. Buktinya mereka akan diperlakukan secara khusus, diminta dengan hormat menggunakan seragam khusus, rancangan model dan warnannya pun berbeda dengan kostum maling pada umumnya."
Begitulah bunyi cuplikan monolog dari seniman Butet Kartaredjasa. Sindiran bagi mereka para Koruptor alias 'Tikus berdasi'. Seakan telah hilang urat malu, tampil parlente di khalayak publik yang mereka hisap darah dan keringatnya.
Orde Baru yang telah binasa 20 tahun lalu masih menyisakan peninggalan lamanya yaitu korupsi. Meski selama 20 tahun reformasi berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi angka korupsi, namun rupanya budaya tersebut tak jua lenyap dari negeri ini. Bahkan semakin menjulang tinggi angkanya setiap tahun.
Peneliti Divisi Investigasi Indonesia Corrupption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017. Angka ini bertambah dibandingkan pada 2016 dengan total 482 kasus.
(nasional.tempo.co)
Selama Orde Baru, bau anyir korupsi memang mulai terasa menyengat. Tetapi bedanya mekanisme korupsi yang dulunya sentralistis, kini di era reformasi menjalar ke berbagai lini. Sudah menjadi hal umum, begitulah wacananya. Ibarat jika dulu harta negara yang dikorupsi hanya berpusat pada seorang penguasa. Saat ini sudah menjadi hidangan yang bisa dibagi-bagi.
Skema korupsi tak lain merupakan lingkaran setan. Para pejabat butuh modal untuk penggelontoran dana dalam rangka membeli suara rakyat. Setelah menjadi pejabat, ditempuhlah cara korupsi untuk menggantikan modal. Juga untuk dana kampanye berikutnya.
Disamping itu, tak ingin ketinggalan dengan gaya hidup hedonis yang menjadi tolak ukur kebahagiaan saat ini. Biaya hidup tinggi serta gaya hidup yang mahal bagi dirinya berikut sanak keluarganya mengharuskan ia rakus meraup pundi-pundi rupiah bagaimanapun caranya.
Akibatnya, nampaklah para elite pejabat yang memegang amanah mengurus rakyat, tampak setengah hati melakukan tugasnya. Contohnya banyak infrastruktur yang mangkrak. Kurang berkualitas dari segi materialnya. Rendahnya mutu barang dan jasa. Karena dana yang diberikan tak sepenuhnya digunakan untuk khalayak umum. Melainkan masuk ke kantong para tikus berdasi tersebut.
Mengapa suara rakyat bisa begitu saja mudah dibeli? Karena mayoritas rakyat adalah orang miskin. Jadilah hanya dengan receh begitu mudahnya mereka terbius untuk memberikan suaranya.
Kemiskinan dan korupsi, dua hal yang tak bisa didikotomikan. Karena takut pada kemiskinan maka seseorang melakukan korupsi. Dan karena korupsilah menjadi salah satu faktor kemiskinan itu terjadi.
Pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu tuntutan reformasi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Dilansir dari Kompas.com, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, ada dua indikator untuk mengukur angka pemberantasan korupsi.
Pertama ialah Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Yang terjadi prestasi angka ini justru melonjak tinggi. Dan yang kedua ialah masih terdapatnya ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Bahkan sudah sangat transparan ketimpangan ini semakin lebar setiap tahunnya.
Lalu, mengupas sepak terjang 20 tahun reformasi, terbuktikah berhasil memberantas korupsi? Jelas bahwa semakin kuat penetrasi demokratisasi justru semakin membesarkan kasus korupsi. Sistem ini terbukti gagal mengupayakan visi melenyapkan budaya korupsi dari tanah air ini.[MO/sr]