-->

Mengukur Kadar Ilusi Demokrasi

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Hafshah Damayanti, SP.d
(Forum Muslimah Pantura)

Mediaoposisi.com- Hari-hari ini kita menyaksikan, secara sigap aparat di balik  pencegahan ujaran  kebencian dan merebaknya opini hoax di media sosial mengeluarkan aturan yang cukup ketat bagi pengguna sosial media di jagad maya. 

Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN), untuk membantu pemerintah memberantas penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian yang bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-golongan),  telah merilis enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin aparatur sipil negara (ASN).

 BKN pun meminta agar Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak terlibat dalam aktivitas ujaran kebencian yang memperkeruh situasi dalah.(tribunenews.com,19/5). Bahkan salah satu  kementerian di lingkungan pemerintah pun ambil bagian untuk mewajibkan seluruh pegawainya menyerahkan nomor ponsel, email hingga id akun sosial media yang dipunya. tribunnews.com (18/5). Tentu saja pro kontra terjadi, apalagi aparat terkesan berlebihan dan tebang pilih ketika menindak pelaku medsos yang dinyatakan melanggar etika dan aturan.
 
Ironi Demokrasi
Jargon kebebasan berpendapat yang diagung-agungkan dalam Demokrasi tampaknya tak lagi berlaku bagi semua orang. Sekali pun dengan santun menyampaikan kebenaran, pendapat tak lagi aman jika pejabat dan aparat tak berkenan. Jeruji tahanan jadi taruhan. Bahkan dakwah menyampaikan kebenaran ajaran Islam pun tak bebas dilakukan jika melawan arus mainstream kepentingan penguasa. 

Rezim Demokrasi hanya menghendaki suara-suara yang sejalan dengan kehendak mereka untuk menutupi ketidakmampuan rezim mengentaskan beragam persoalan krusial negeri ini. 
Tak dipungkiri di era digital saat ini, media sosial menjadi pilihan jitu rakyat untuk beropini apa saja karena dianggap paling memberi ruang untuk tayang  hingga sanggup mengguncang jagad maya bahkan dunia nyata. Tak pelak lagi opini kritis terhadap beragam kebijakan publik yang tak sense of crisis berseliweran di linimasa. 

Sayangnya, rezim Demokrasi saat ini pun mulai tak sanggup menahan dahsyatnya sikap kritis masyarakat di media sosial. Singgasana rezim  merasa terusik dengan guncangan opini yang menelanjangi kebobrokan rezim sekaligus sistim Demokrasinya. Dengan segala kekuatan yang dimiliki, rezim seolah ingin membungkam suara-suara rakyat yang sejatinya dalan Demokrasi, suara rakyat adalah segalanya. 

Bukan kah dalam pemerintahan Demokrasi meyakini bahwa kekuasaan rezim itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?  Lantas atas dalih apa rezim sangat antusias membungkam aspirasi rakyat sekalipun itu suara-suara kebenaran dari Islam? Sungguh! Demokrasi selalu ada cara untuk mengingkari janji-janjinya.

Inilah ironi Demokrasi dengan standar gandanya sukses mengelabui rakyat. Kebebasan berpendapat hanya jika sesuai selera rezim yang menjabat. Rakyat bebas bersuara tapi tidak untuk menyuarakan Islam kaffah. Demokrasi hanya alat dusta  rezim untuk menutupi fakta bahwa negeri muslim terbesar ini masih terjajah.

Sebagai insan yang berakal, umat Islam tentu tak ingin selalu di beri harapan palsu oleh sistim Demokrasi. Sudah terlalu lama umat tak berdaya atas perlakuan semena-mena rezim  mengebiri aspirasi umat untuk kembali kepada Islam yang kaffah. Agar beragam persoalan hidup tak lagi menjamah.[MO]


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close