-->

Menghindari Deradikalisasi Tanpa Kecuali

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen



Spesial Redaksi| Mediaoposisi.com- Isu deradikalisasi makin menjadi sebuah pembicaraan hangat setelah mako brimob diisukan telah dikuasai oleh napi teroris, Selasa (8/5). Polisi membutuhkan waktu 40 jam untuk mengambil alih kembali rutan. Rutan sukses ditaklukkan oleh Polisi, pada Kamis (10/5/2018) pagi pukul 07.15.

Meski sempat ada perlawanan, sebanyak 155 tahanan di rutan cabang Salembang yang ada dalam akhirnya menyerahkan diri, muncul dugaan terkait penyebab kenekatan Napi tersebut. Mulai dari system pengelolaan Rutan yang kacau, napi kekurangan makanan hingga perlakuan sipir yang tak beradab . 

Polemik teroris ini sangat dekat dengan program deradikaliasi. Dikutip dari tulisan “Deradicalization Programs and Counterterrorism: A Perspective on the Challenges and Benefits”, peneliti terorisme asal Inggris, Lindsay Clutterbuck, memaparkan bahwa rehabilitasi adalah tujuan utama deradikalisasi dengan cara menghentikan kekerasan mereka dan menitegrasikan “mereka” ke masyarakat.

Deradikalisasi dalam prakteknya beralih menjadi program kontroversial untuk menjauhkan umat Islam terhadap ajaran Islam yang hakiki. Pasalnya, dalam berbagai penjelasan, deradikalisasi kerap mepersoalkan ajaran Islam nan mulia seperti Jihad dan Khilafah.

Tipuan deradikalisasi semakin kuat terasa bila merujuk ukuran kesukesan deradikalisasi yang digunakan saat ini. Menurut Elaine Pressman, peneliti Public Safety Canada, dalam Risk Assessment Decisions for Violent Political Extremism (2009),. Pertama, penolakan terhadap ideologi yang kaku.

Kedua, penolakan terhadap kekerasan. Ketiga, bukti perubahan tujuan-tujuan non-kekerasan.

Keempat, motivasi untuk melakukan deradikalisasi. 

Kelima, dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.

Wahid Insitute, dalam lama resminya (wahidinstitute.org) membuat “syarah” tulisan Elianie.  Pertama, jihad tidak sama dengan perang (qital). Kedua, tidak setuju hukuman potong tangan bagi pencuri diterapkan di Indonesia. Ketiga, tidak setuju penerapan hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) bagi pelaku zina di Indonesia.

Berikutnya, yang keempat, tidak setuju muslim yang keluar dari Islam (murtad) harus dibunuh. Kelima, pelaku tindak pidana dihukum berdasarkan hukum yang berlaku di suatu negara.
 Keenam, tidak setuju terhadap ajaran fa’i.

Ketujuh, umat Islam mengamini demokrasi bukan ajaran yang sesat sehingga sistem demokrasi bukanlah pemerintahan thaghut (sesembahan dan sesuatu yang ditaati selain Allah).
Pemaparan yang disebutkan di atas telah menguatkan kemana arah radikalisasi, tidak ada yang mengarah untuk pembentukan kejayaan Islam dalam naungan Khilafah. Justru dalam prakeknya, terjadi pengkaitan antara terorisme dan ajaran Khilafah.

Islam memang radikal, dikutip dari KBBI, radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) .Definisi dari Islam menurut ulama revolusioner asal Palestina (An Nabhani) agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang  mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya dan dengan manusiasesamanya.

An Nabhani dalam buku yang sama menambahkan beberapa hal yang membuktikan bahwa Islam memang ajaran yang mendasar, yaitu Islam turut mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya (Pencipta) tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan,dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah dan uqubat.

Komprehensifnya Islam akan ternoda dengan adanya deradikalisasi. Maka umat Islam harus menghindari upaya deradikalisasi tanpa kecuali.[MO]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close