Oleh : Uqie Rukiyah
Mediaoposisi.com- Rumor bahwa kejamnya ibu tiri, ternyata lebih kejam sekularisasi. Di Sleman, Yogyakarta beberapa hari yang lalu seorang bocah yatim piatu yang diduga melakukan pencurian onderdil bekas harus menjalani hukuman “mandi oli” oleh pemilik bengkel.
Kasus ini mengundang perhatian, karena rekaman sang bocah mandi oli bekas, viral di media sosial. Di Blitar, Jawa Timur, seorang pria pengangguran harus diamankan Satreskrim Polres Blitar karena mencabuli anak di bawah umur hingga hamil. Merseni, Residivis kasus pencabulan ini dilaporkan telah mencabuli korban sebanyak empat kali dengan iming-iming uang Rp 20 ribu.
Perbuatan tak pantas itu dilakukan pelaku di rumah korban saat orangtuanya bekerja. Korban yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar ini tengah menjalani perawatan untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Sementara tersangka akan dijerat tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara (liputan6.com).
Kasus kekerasan pada anak seperti fenomena gunung es, tampak dipermukaan saja, tapi masih banyak lagi kasus yang tidak terungkap. Mulai dari pencabulan, pemerkosaan, kekerasan psikologis, fisik, ataupun anak terlibat hukum. Ironisnya, lebih banyak pelaku kekerasan itu adalah orang terdekat korban. Sebagian besar korban tidak berani melaporkan karena alasan malu, membuka aib keluarga, tidak berani karena diancam, atau karena tidak mengetahui cara melapor ke pihak berwenang.
Menurut data Komnas Perlindungan Anak (PA), pemicu kekerasan terhadap anak, diantaranya :
KDRT, disfungsi keluarga, tekanan ekonomi atau kemiskinan, salah pola asuh dan terinspirasi tayangan media. Semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal disegala sisi kehidupan.
Indonesia telah mencoba berbagai produk hukum, tapi nampaknya tak pernah memberikan rasa aman. Ancaman terhadap kehormatanpun datang bertubi-tubi, silih berganti mencari korbannya, tak terkecuali anak-anak. Bahkan kejahatan terhadap anak jauh lebih sadis dan memilukan.
Semakin maraknya kasus kekerasan terhadap anak menjadi bukti gagalnya negara melindungi anak. Kegagalan terjadi karena upaya yang dilakukan sistem dan negara tidak solutif alias tidak menyentuh akar permasalahannya.
Fungsi negara telah dilucuti dengan label “pembuat regulasi” semata bukan sebagai ria’yah ummah atau penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara berikut sistemnya kurang peduli dengan masalah rakyat.
Negarapun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan masyarakat. Kebijakan yang dibuat negara dan jajarannyapun dinilai gagal. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak.
Faktanya, semua itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengharuskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan. Negara mengusung program membangun ketahanan keluarga.
Namun alih-alih menguatkan, pemerintah justru menghancurkannya lewat program kesetaraan gender. Bahkan, Negara tidak mampu menciptakan kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.
Dengan segala bukti kegagalan sistem Sekular tersebut, maka suatu keniscayaan perlindungan dan keamanan terhadap anak akan kembali sebagaimana mestinya. Kekejaman sekularisasi tidak akan lagi terjadi menimpa anggota keluarga, terutama anak-anak.
Peran dan fungsi keluarga, masyarakat dan negara akan berjalan sesuai harapan. Semua aktifasi itu Bukan lagi dengan UU warisan Belanda ataupun UU kaum kufur lainnya. Akan tetapi dengan aturan yang lahir dari wahyu Allah, yakni Al-Qur’an dan As Sunnah yang akan diterapkan dan direalisasikan dalam sistem Khilafah ‘ala Minhajj an Nubuwwah.[MO/sr]