Oleh :Nila Afila
Mediaoposisi.com-Mahasiswa, “katanya” merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki 3 peran besar dalam masyarakat, yaitu sebagai Agen Perubahan (Agent of Change), Kontrol Masyarakat (Social Control), dan Calon Pemimpin Bangsa (Iron Stock). Namun pada faktanya mahasiswa diarahkan untuk memiliki mental pekerja dan bukan mental pemimpin.
Jauhnya pandangan mahasiswa terhadap 3 peran besar yang dimilikinya tidak lain karena mahasiswa memang diarahkan untuk menjadi pekerja.
Pengalihan pandangan mahasiswa dilakukan melalui beberapa aspek, salah satunya adalah melalui pendidikan. Mahasiswa hanya disibukkan dengan tugas-tugas dan laporan yang menumpuk, dimana tugas-tugas tersebut bukan justru membangkitkan kreativitas mahasiswa, namun mengungkung kreativitasnya dalam mengembangkan ide dan solusi untuk permasalahan yang terjadi di negaranya karena yang mereka fikirkan hanyalah tugas dan laporan yang harus selesai.
Pendidikan saat ini juga telah diarahkan kearah bisnis dimana baik siswa maupun mahasiswa didorong untuk berwirausaha, mereka hanya diarahkan untuk membuat Karya Tulis Ilmiah yang berhubungan dengan Bisnis dan Kewirausahaan, bahkan ketika karya mereka benar-benar memberi kontribusi untuk masyarakat, negara tidak benar-benar serius dalam menanggapi ide yang telah dihasilkan oleh anak-anak bangsa, oleh karenanya banyak sekali hasil kreatifitas anak bangsa yang dijual kepada asing.
Padahal pendidikan seharusnya diarahkan untuk mendidik generasi penerus agar memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang tengah dialami negara dan masyarakat seperti kemiskinan, gizi buruk, korupsi, pengangguran, dan lain-lain. Pendidikan harusnya mengarahkan siswa terutama mahasiswa untuk peduli terhadap negara dan rakyatnya, bukan justru menjadi apatis dan bahkan acuh terhadap kondisi negara dan rakyatnya.
Penggerusan kreativitas mahasiswa dilakukan dengan cara membatasi mahasiswa pada gelar “mahasiswa berprestasi” yang didapatkan hanya dengan persaingan Indeks Prestasi (IP) dan Karya Tulis Ilmiah, dimana Indeks Prestasi (IP) sendiri tidak mampu menjamin apakah mahasiswa mampu memecahkan masalah yang ada di masyarakat karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini, selain itu Karya Tulis
Ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa hanya fokus ke arah bisnis yang mana akan memberikan keuntungan hanya kepada pihak-pihak tertentu yaitu pihak yang memiliki Modal (Capital), sedangkan mahasiswa hanya membuatkan ide bisnis untuk mereka dan tidak mendapatkan apa-apa selain gelar “mahasiswa berprestasi”.
Selain itu, mahalnya biaya pendidikan atau disebut sebagai kapitalisasi dalam pendidikan membuat para pemuda tidak dapat menimba ilmu, padahal pendidikan merupakan hak bagi masyarakat.
Adanya kapitalisasi dalam pendidikan sangat terlihat ketika hanya orang-orang yang memiliki uang yang dapat kuliah, artinya orang-orang miskin tidak mampu mendapatkan pendidikan yang layak, maka wajar apabila pengangguran, kemiskinan dan tindak kriminal semakin meningkat. Ditambah lagi banyaknya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia yang membuat tenaga kerja negara sendiri menganggur.
Kondisi ini jelas memperlihatkan bahwa pendidikan saat ini hanya ditujukan untuk orang yang memiliki Modal (Capital), dan pendidikan tidak lagi serius mendidik siswa terutama mahasiswa untuk menjadi calon pemimpin bangsa yang peduli terhadap kondisi rakyatnya. Lalu pertanyaannya, bagaimana mahasiswa akan mampu memimpin bangsa jika pemikiran mereka dikurung hanya untuk bisnis?
Seekor burung harus lepas dari kandangnya jika ia ingin terbang, sama halnya dengan mahasiswa, jika ia ingin mampu terbang dan melihat kondisi negaranya untuk memberikan solusi terhadap problem yang ada maka ia harus terbang dan terbebas dari segala hal yang mengurung dirinya dan kreativitasnya.
Masalahnya, yang mengurung kemampuan mahasiswa bukanlah sebuah organisasi ataupun kelompok kecil, melainkan negara dengan sistem pendidikannya. Oleh karena itu, disinilah peran negara sangat dibutuhkan, negara memiliki kemampuan dalam mengarahkan sistem pendidikan, apabila negara telah memutuskan untuk mengubah sistem pendidikan, maka hal itu pasti akan terjadi.
Negara melalui pemerintah yang berkuasa harus menyadari bahwa ini merupakan permasalahan sistem, sehingga sistem yang berlaku itulah yang harus diganti. Ketika sistem kapitalisme berlaku dalam dunia pendidikan, hanya negaralah yang mampu membuat sistem tersebut tidak berlaku, sehingga pendidikan tidak lagi menjadi sesuatu yang diperjual belikan.
Lalu sistem seperti apa yang cocok untuk menggantikan sistem kapitalisme yang jelas memberikan kerugian kapada masyarakat terutama dalam hal pendidikan?
Masyarakat terutama para pelajar membutuhkan sebuah sistem yang mampu mengatur dengan baik arah pendidikan, sebuah sistem yang tidak menjadikan ilmu sebagai bisnis, sebuah sistem yang serius mendidik generasi untuk menjadi pemimpin bangsa, sebuah sistem yang meninggikan posisi pendidikan sehingga semua orang wajib memiliki pendidikan baik yang miskin atau yang kaya, dan sistem seperti ini hanya ada didalam Islam.
Seperti yang telah diketahui bahwa sistem pendidikan Islam tidak menghendaki adanya kapitalisasi dalam pendidikan, selain itu secara empiris juga telah terbukti bahwa Islam dengan sistem pendidikannya telah mampu membawa masyarakat kearah pendidikan yang gemilang. Sistem pendidikan dalam Islam telah mampu mencetak ilmuan-ilmuan yang memiliki kontribusi besar terhadap dunia.[MO/un]