Mediaoposisi.com- Perdana Menteri Cina, Li Keqiang, melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Senin (07/05), guna membahas kerja sama ekonomi dan investasi.
Beberapa pihak menganggap investasi Cina mampu mendongkrak ekonomi Indonesia, namun kekhawatiran membanjirnya tenaga kerja dari Aseng (baca: Cina) tampaknya akan dimanfaatkan sebagai bahan politik jelang Pilpres 2019.
Pertemuan Perdana Menteri Li dengan Presiden Jokowi ini sebagai balasan dari kunjungan Presiden Jokowi ke Cina tahun lalu. Pertemuan itu membahas tentang perdagangan, mengingat kerja sama ekonomi antar kedua negara yang semakin erat selama beberapa tahun berakhir ini. Di samping itu, sejak 2017 Indonesia-Cina telah memiliki Strategic Partnership 2017-2021.
Menteri Luar Negeri Retno Marsuadi mengungkapkan dalam bidang investasi, terdapat empat poin yang dibahas dalam kunjungan PM Li ke Indonesia. Diantaranya adalah, pertama transfer of technology. Kedua, masalah hulu hilir, agar addes values-nya dapat dinikmati Indonesia. Ketiga adalah penggunaan tenaga kerja. Keempat, menjaga lingkungan.
Retno Marsudi juga menyatakan bahwa di dalam mengembangkan hubungan, sebuah hubungan itu sifatnya bukan zero sum. Tetapi, mengembangkan hubungan yang hasilnya adalah win-win (menang-menang).Hal demikian selalu ditekankan oleh Presiden.
Akan tetapi, Anggota Komisi VII DPR yang membidangi urusan perdagangan dan investasi dari Partai Gerindra, Supratman Andi Atgas menegaskan bahwa eratnya hubungan dagang antar kedua negara ini berbanding lurus dengan membludaknya jumlah tenaga kerja Cina di Indonesia.
Supratman menuntut agar pemerintah lebih protektif terhadap tenaga kerja lokal. Apabila tidak demikian akan berbahaya, karena rata-rata pinjaman Indonesia ke Cina dalam klausul perjanjiannya adalah menyertakan tenaga kerja Cina untuk masuk ke Indonesia. Tentu saja hal ini akan berdampak buruk bagi keberlangsungan tenaga kerja lokal.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja asing asal Cina hingga 2017 mencapai 24.804 orang, jumlah ini rata-rata terus meningkat sejak 2007 yang saat itu jumlahnya baru 4.301 orang.
Dengan demikian, Indonesia perlu berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan negeri tirai bambu ini. Kemitraan yang disusun antar keduanya bukan saja kemitraan strategis yang merupakan konsep di atas kertas. Melainkan, intervensi kebijakan ekonomi atas nama bantuan dan investasi.
Dalam pergaulan internasional, setiap negara memiliki kepentingan yang bermacam-macam.
Setiap kerja sama yang dilakukan, tentu mengandung konsep-konsep dan alasan mendasar yang begitu baik. Namun, di balik itu akan menjadi semacam “celah” bahaya laten bagi kedaulatan dan kemandirian sebuah negara. Sehingga kerja sama itu berubah menjadi imperialism dan kolonialisme, yakni suatu negara terpaksa (dipaksa) tunduk terhadap intervensi negara lain.
Saling menguntungkan adalah logika yang paling sederhana dalam menjalin hubungan sebuah kerja sama antar negara. Selain itu, menjadi hal yang aneh ketika pemegang kekuasaan seolah-olah menjadi “bodoh” sebab model penjajahan yang mengatas namakan kerja sama.
Sudah saatnya bagi negeri ini meninggalkan sistem kerja sama ini. Sebab hal ini akan memuluskan agenda penjajahan negara adidaya terhadap negeri berkembang, seperti Indonesia. Maka, menjadi kewajiban untuk berlepas diri dari berbagai jenis kerja sama yang demikian, baik secara internasional maupun regional.[MO]