-->

Fatamorgana Tanggung Jawab Negara

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh : 
NOVERATUFIANTI, SP  
(anggota Komunitas Muslimah Cerdas(KMC)  Banjarbaru)

Mediaoposisi.com- Perum Bulog kembali menegaskan bahwa stok beras nasional sangat aman menghadapi Ramadan dan Lebaran 2018. Stok beras yang berada di gudang Bulog saat ini tercatat melebihi 1 juta ton, yakni sekitar 1,2 juta ton.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Karyawan Gunarso menyampaikan, jumlah stok beras yang mereka kelola senantiasa berubah secara jumlah, dari waktu ke waktu.
"Stok Bulog itu kan ada dua, yang cadangan beras pemerintah (CBP) dan beras komersil. Itu jumlahnya tidak diam, setiap jam terus bergerak. Pengadaan serapan lokal bergerak," tutur dia di Kemenkominfo, Jakarta, Jumat (11/5).

Karyawan menegaskan, ketersediaan beras saat ini terhitung cukup, bahkan berlebih untuk Bulan Ramadan nanti, dan bisa menyanggupi kebutuhan beras nasional hingga enam bulan ke depan. (Merdeka.com, 15/5/18).

Namun ternyata di lapangan berkata lain. Pemerintah melalui kementerian Perdagangan memutuskan untuk menambah impor beras sebanyak 500.000 ton.

Asal tambahan (asal beras) ditentukan oleh Bulog, ada Vietnam, Myanmar, Thailand, Kamboja, Pakistan dan India,” kata Direktur Jenderal Pedagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat. Detik Finance, 15/5/18).

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengaku impor beras 500.000 ton merupakan arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), guna menambah pasokan beras dalam negeri. Sebab, stok beras di Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) berada di bawah angka 1 juta ton.

 “Berdasarkan arahan Bapak Wakil Presiden dalam Rakortas (Rapat Koordinasi Terbatas) pada tanggal 9 Januari 2018, impor beras dapat dilakukan jika cadangan beras pemerintah atau stok beras Bulog di bawah 1 juta ton,” ungkapnya. (merdeka.com 19/1/18)

Dalam waktu bersamaan,menjelang bulan puasa harga beberapa komoditas pangan mengalami kenaikan, detikFinance merinci kenaikan harga beberapa komoditas tersebut berdasarkan pantauan di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat.

Seperti daging ayam yang saat ini dijual dengan harga Rp 38.000-40.000 per ekor dari harga normal sekitar Rp 35.000 per ekor. Bobot ayam tersebut memiliki bobot sekitar 9 ons per ekornya.

"Udah naik dari kemarin, biasanya ini kan dijualnya Rp 35.000 per ekor. Tapi sekarang dari Utan Kayu (peternak/agen) aja yang ayam hidup Rp 32.000/ekor," kata salah satu pedagang ayam potong, Martini kepada detikFinance.

Sementara itu kenaikan juga terjadi di beberapa komoditas lain seperti cabai rawit merah saat ini dijual dengan harga Rp 35.000 per kilogram (kg), sementara itu pada minggu lalu cabai rawit merah dijual dengan harga Rp 30.000/kilogram.

Ada juga komoditas lain seperti cabai merah keriting dijual dengan harga Rp 30.000 per kg dari harga sebelumnya Rp 27.000 per kg. Kemudian cabai rawit hijau dijual dengan harga Rp 30.000 per kg dari minggu lalu Rp 25.000 per kg. (Detik Finance, 15 Mei 2018).
 
Keberpihakan Pemerintah,pada siapa?

Menyikapi hal ini, pemerintah seharusnya mendengarkan keluhan rakyat agar tidak ada impor beras. Terlebih, beberapa daerah menyatakan surplus beras. Selain itu, banyak pula kepala daerah yang lebih memilih untuk membeli dari daerah-daerah lain. Kebijakan impor beras, tidak mensejahterakan petani dan bertentangan dengan program nawacita yang digagas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terutama soal kedaulatan pangan.

Carut marutnya kondisi perberasan di Indonesia merupakan implikasi dari politik beras yang telah diterapkan pemerintah. Perburuan rente ekonomi merupakan faktor utama yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan perberasan di Indonesia. Supply dan demand (mekanisme pasar) semata.

Akibatnya ketika harga beras melambung penyebabnya disandarkan pada tingkat supplydemand masyarakat. Sehingga untuk mengatasi gejolak harga solusi yang ditempuh dengan menyeimbangkan tingkat supply.

Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras. Dengan berlindung di balik argumentasi melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau oleh masyarakat, pemerintah hanya melihat harga beras dan pemenuhan pasokan beras dari sisi beras lokal yang tidak mampu memenuhinya. Pola pikir mekanisme pasar serta supply dan demand merupakan watak Kapitalis yang menjadi asas kebijakan pemerintah.

Dalam kasus kenaikan harga beras awal tahun ini, pemerintah seperti yang dinyatakan wapres Jusuf Kalla menganggap kenaikkan harga beras antara Rp 5.000 – Rp 6.000 sebagai cermin mekanisme pasar telah berjalan dengan baik. Untuk menurunkan harga beras yang telah naik tersebut, harus ditempuh dengan menambah pasokan beras. Karena petani belum panen, pemerintah menganggap impor beras sebagai jalan terbaik.

Menurut pemerintah kebijakan impor beras sangat diperlukan tidak hanya untuk mengembalikan harga beras pada tingkat yang dapat dijangkau oleh masyarakat tetapi juga untuk menekan angka kemiskinan. Sebab dengan menjaga harga beras melalui pasokan beras impor, pemerintah berupaya mengurangi beban hidup orang miskin termasuk di kalangan petani sendiri.

Dengan kata lain pemerintah menjadikan impor beras sebagai salah satu solusi untuk mengurangi tingkat kemiskinan.

Memang benar kenaikkan harga beras sangat berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah. Tetapi kemiskinan yang terjadi bukanlah disebabkan oleh pelarangan impor beras melainkan karena struktur ekonomi yang timpang sebagai akibat kebijakan Kapitalisme pemerintah.

Adalah sangat menggelikan jika negeri ini dalam menuntaskan kemiskinan melalui metode impor beras dan pencabutan subsidi. Masalahnya daya beli masyarakat juga betul-betul sangat rendah akibat penerapan berbagai kebijakan ekonomi pro kapitalis/pro liberal yang berhasil memiskinkan rakyat secara structural.

Kenaikan harga BBM, privatisasi sector-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak semisal pendidikan kesehatan, listrik, air dll adalah contoh kebijakan-kebijakan pro lib, di bawah diktean WTO, IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah membawa dampak yang begitu berat atas kondisi ekonomi masyarakat.

Adanya kenaikan harga pangan dunia tentunya kian memperburuk keadaan. Masyarakat kian kesulitan mendapatkan kebutuhan pokoknya yang berarti tambahan daftar panjang orang miskin di Indonesia. Terkait hal ini Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick menuturkan, ”Sebuah penilaian terkini di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 3/4 orang miskin merupakan pembeli beras sepenuhnya.

Peningkatan harga beras relatif sebesar 10 % akan menghasilkan tambahan dua juta orang miskin, yakni sekitar 1% dari jumlah penduduk”.

Tak hanya itu, kondisi krisis diatas diperparah dengan fakta kelangkaan barang akibat problem distribusi dan produksi komoditas pangan. Tak jarang untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya masyarakat harus antri berjam-jam.

Terkait masalah distribusi, pola/rantai distribusi pertanian senyatanya memang masih sangat panjang yang tak jarang berpengaruh terhadap tingkat harga. Panjangnya rantai distribusi ini bisa diakibatkan oleh bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah antar musim serta jarak dan aksesibilitas antar wilayah yang belum terpecahkan, maraknya praktek penimbunan yang dilakukan para spekulan, maupun akibat pola distribusi pangan yang diterapkan pemerintah saat ini.

Sebagaimana diketahui, untuk mempermudah distribusi bahan pangan pokok, pemerintah telah menetapkan Bulog sebagai penanggungjawab resmi. Sayangnya pola distribusi yang dijalankan lembaga ini selain belum efektif pelaksaannya, juga sangat kental dengan unsur kapitalistik.

Bulog yang seharusnya berfungsi sebagai stabilisator ketersediaan bahan pangan pokok untuk kepentingan rakyat (Public Service Obligation/PSO) malah bertindak sebagai pedagang yang cari untung. Adapun terkait masalah produksi, pada faktanya tingkat produktivitas pangan di Indonesia memang terus merosot. Tercatat, rata–rata produktivitas padi hanya 4,4 ton/ha, sementara jagung hanya 3,2 ton /ha.

Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Dalam hal ini, Pemerintah sebenarnya bukan tidak berusaha sama sekali. Hanya saja berbagai program yang dicanangkan alih-alih mampu meningkatkan produksi pangan, malah arahnyapun kian tidak jelas.

Program ekstensifikasi pertanian yang dulu –antara lain—digalakan melalui program transmigrasi dan pembukaan lahan sawah sejuta hektar misalnya, nasibnya juga tidak jelas, terutama pasca penerapan otonomi daerah, dimana tak sedikit daerah yang justru menolak program-program tersebut. Disisi lain, konversi lahan di daerah-daerah subur terus terjadi.

Di Pantai Utara, Barat sampai Timur Pulau Jawa misalnya, tiap tahun terjadi konversi lahan pertanian beririgasi tidak kurang dari 500 ha. Padahal, lahan beririgasi Indonesia yang sebesar 10.794.22 ha setengahnya berada di pulau Jawa, dan telah menyumbangkan padi sebanyak 48.201.136 ton, lebih dari setengah kebutuhan padi Indonesia. Dapat kita bayangkan, konversi lahan beririgasi tentu berdampak nyata terhadap penurunan produksi pangan.

Begitupun dengan program intensifikasi pertanian yang tetap tak mampu mendongkrak tingkat produksi pangan. Ditengarai, tetap rendahnya produktivitas ini terjadi karena pilihan terhadap metode peningkatan produksi seringkali tidak didasari oleh pertimbangan ketepatan dengan kondisi setempat, melainkan didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian Negara-negara maju atasnama program bantuan pertanian FAO, Bank Dunia dan Bank – Bank pembangunan nasional lainnya.

Diketahui, mulai dari penggunaan bibit unggul, system pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida) memang di dominasi oleh perusahan-perusahaan besar yang menguasai 60 % pasaran dunia seperti Ciba-Gergy, Monsanto, Pfizer, Sandoz, Cargill, Shell, ITT, General Foods.

Kondisi ini dikuatkan oleh keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan yang juga sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impornya dan akibat desakan Bank Dunia, IMF dan Lembaga Bantuan Internasional lainnya demi kelancaran pembayaran bunga dan cician utangnya.

 Tidak mengherankan jika dana dan perhatian terhadap pertanian tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food crops) sering tersisihkan oleh tanaman untuk dijual (cash crops). Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan kebijakan swastanisasi penguasaan air sebagai milik umum, atau pada kondisi tertentu pemerintah menyerahkan pengurusan air dan sarana irigasi kepada petani, padahal umumnya kemampuan mereka terbatas.

Dalam bidang pertanian Indonesia dan negara-negara berkembang terperangkap dalam jebakan negara-negara maju dalam bentuk perdagangan bebas dan pasar bebas yang dinaungi oleh organisasi World Trade Organization (WTO). Negara-negara berkembang didesak oleh negara-negara maju agar membuka pasar dalam negeri mereka dengan menghilangkan proteksi pertanian nasional baik dengan pencabutan subsidi maupun dengan penghapusan hambatan tarif.

Sebaliknya negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman dan Prancis melakukan proteksi luar biasa terhadap para petani mereka dalam bentuk subsidi, hambatan tarif, dan halangan-halangan impor lainnya. Negara-negara maju tersebut menyadari betapa pentingnya pertanian bagi perekonomian dan vitalnya ketahanan pangan untuk kemandirian negara.

Tanggung Jawab Negara Mensejahterakan Rakyat (Petani)

Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.

Oleh karena itu tentunya, kebijakan pangan Negara harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Oleh karenanya perhatian negara pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini,agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat khilafah Islam tanpa terkecuali.Peningkatan produksi pertanian dalam Khilafah akan ditempuh melalui kebijakan:

Kebijakan pertanian: intensifikasi dan ekstensifikasi 

Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.

Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan IPTEK yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Negara harus melindungi air sebagai milik umum, dan sebagai input produksi pertanian. Karenanya, air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.

Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan:

Mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Lahan baru bisa berasal dari lahan hutan, lahan pasang surut, dan sebagainya sesuai dengan pengaturan Negara. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak tampak ada bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, maupun yang lainnya.

Menghidupkan tanah mati artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah yang mati, jika telah dihidupkan oleh seseorang, adalah menjadi milik yang bersangkutan. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ»
Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaklah dia menanaminya, atau hendaklah ia memberikan kepada saudarnya. Apabila ia mengabaikannya, hendaklah tanahya diambil. [HR al-Bukhari dan Muslim].

1. Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. 
Bagi siapa saja yang membutuhkan biaya untuk perawatan tanah tersebut, akan diberi modal dari Baitul Maal (kas Negara), sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan:

 “Orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanah yang dipagarinya setelah membiarkannya selama 3 tahun”.

2. Kebijakan distribusi: cepat, pendek, dan merata
Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebuthan-kebuthan primernya secara menyeluruh. Penataan distribusi kekayaan oleh negara Khilafah dilaksanakan dalam keseluruhan sistemnya, mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya.

Bahkan apabila masyarakat mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan kemerataan/ keseimbangan harta dalam masyarakat, dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.

3. Kebijakan ketersediaan pangan
Ketersediaan kebutuhan pangan merupakan hal penting yang dijamin oleh negara. Oleh karenanya negara harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta pelarangan terbengkalainya tanah.

Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian, agar stok kebutuhan pangan selalu tersedia untuk rakyatnya. Dan sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini
negara melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan bahan bahan kebutuhan pokok tersebut.

4. Jaminan Kesejahteraan negara yang meringankan beban masyarakat 
Kesejahteraan merupakan sesuatu yang didambakan kita semua, jaminan inipun selayaknya akan diberikan oleh negara kepada seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Apalagi yang menyangkut kebutuhan vital, maka dalam pelaksanaannya negara tidak dibenarkan membuat kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyatnya.

Syariat Islam telah menetapkan pembiayaan atas berbagai keperluan dibebankan kepada negara dari baitul mal, hal ini pun dilakukan ketika mekanisme penjaminan kebutuhan itu belum dipenuhi secara layak melalui hukum nafkah.

Dalam konteks hubungan internasional, Islam juga menetapkan adanya kewajiban syar’i bagi negara untuk membantu negara lain yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid saat memimpin Kekhilafahan Turki Ustmani. Pada tahun 1845, terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan lebih dari 1,000,000 orang meninggal.

Untuk membantu mereka, Sultan Abdul Majid berencana mengirimkan uang sebesar 10,000 sterling kepada para petani Irlandia. Akan tetapi, Ratu Victoria meminta Sultan untuk mengirim 1,000 sterling saja, sebab dia sendiri hanya mengirim 2,000 sterling. Maka, Sultan pun mengirim 1,000 sterling. Namun, secara diam-diam beliau juga mengirim 3 kapal penuh makanan.

Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi meski demikian makanan tersebut sampai juga ke pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para pelaut Ustmani. Dengan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal di Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki.

Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya simbol-simbol Usmani di kota tersebut. Jadi ketahanan pangan di era ketika Islam diterapkan sebagai satu institusi bukan suatu ilusi belaka.

Khatimah
Jadi jelas, impor beras/pangan  dan kenaikan harga-harga nya yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan kurangnya (bahkan tidak adanya) tanggungjawab negara dalam sistem rusak seperti ini.

Nah, belum saatnyakah bagi kita untuk kembali pada solusi yang paripurna, yaitu sistem Islam(Khilafah) yang akan mensejahterakan rakyat, yang telah memberikan solusi dengan sistem syariahnya, untuk mengatasi masalah krisis pangan sekaligus dapat memacu peningkatan produksi pertanian untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan?? Sistem ini bukan saja telah teruji, tapi juga terberkahi dunia-akhirat.[MO/sr]


Ibu Rumah Tangga,
Jl. Jamrud No.10/106 Amaco. Kalsel 70712
HP. 082156951974




























Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close