Revolusi| Mediaoposisi.com- Masalah mengenai ulama dan penguasa di dunia Islam akan selalu menyorot perhatian untuk didiskusikan. Keduanya memiliki peranan dan posisi yang penting bagi umat. Ulama bagi kaum Muslimin merupakan sosok yang dijadikan rujukan ketika mencari tahu kejelasan hukum syariah, meminta fatwa, membela kepentingan umat dan agama, dll.
Sedangkan penguasa secara umumnya memiliki amanah untuk menjalankan pemerintahan secara adil, melanjutkan tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengatur urusan rakyat di dunia. Namun, ada hal yang menarik terkait pembahasan hubungan antara ulama dan penguasa.
Arab Saudi, sebuah negeri yang di dalamnya terdapat kiblat bagi umat Islam di seluruh dunia adalah satu contoh yang dapat kita lihat pada tataran praktisnya.
Jika menilik kembali sejarah pembentukan Arab Saudi modern, akan didapati fakta bahwa negara ini merupakan gabungan dari dua pemerintahan otoritatif di bawah kekuasaan Utsmaniyah, yaitu Hijaz dan Najad yang kemudian disepakati untuk bergabung membentuk sebuah kerajaan pada tahun 1932. Resminya Arab Saudi menjadi satu negara baru ini terjadi delapan tahun pasca runtuhnya Kekhilafahan terakhir kaum Muslim di Turki pada tahun 1924. Negara ini dibentuk sesuai dengan nama pendirinya, Ibnu Saud.
Di sisi lain, Arab Saudi juga dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki kaitan erat dengan paham Wahabisme, baik dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan sosial rakyatnya. Mengakarnya paham Wahabisme di Arab Saudi tentu mengalami suatu proses dalam jangka waktu yang tidak sedikit.
Paham ini memang sudah lama terkemuka di Arab, namun kemudian menjadi lebih populer dan dikenal bahkan tidak hanya di jazirah Arab, karena dibawa oleh seorang ulama, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang juga merupakan Mufti sekaligus besan dari peletak pemerintahan awal Kerajaan Arab Saudi modern, Ibnu Saud.
Dalam berbagai pembahasan ilmiah di bidang politik, data sejarah menuliskan bahwa di Arab telah terjadi “persilangan” antara kaum agamawan dan kaum politisi, antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Ibnu Saud. Abdul Wahhab bertemu dengan Ibnu Saud dalam rangka mencari perlindungan yang hubungan keduanya semakin menguat dengan menikahnya putri Abdul Wahhab dengan putra sekaligus penerus Ibnu Saud.
Atas dasar kefaqihan ilmu dan kemampuannya memberikan fatwa, ajaran Abdul Wahhab dalam mempurifikasi dan menyucikan ajaran Islam berdasar pemahaman ulama salaf telah membantu Ibnu Saud dalam membangun basis Kerajaannya di Semenanjung Arab kala itu. Abdul Wahhab membuat sebuah perjanjian bahwa ia akan menangani masalah keagamaan dan Ibnu Saud-lah yang menjadi pemimpin baik dari segi politis dan militer.
Kerajaan Arab Saudi Kontemporer
Setelah sekian lama perjanjian antara Abdul Wahhab dengan Ibnu Saud tersebut disepakati, aspek “religiusitas” dalam pemerintahan Arab Saudi memang masih dapat dilihat hingga saat ini. Namun seiring berjalannya waktu dan dinamisnya kepentingan politik di Saudi secara khusus dan Timur Tengah secara umum, para penguasa Saudi saat ini menunjukkan posisinya yang cenderung ke arah liberal dalam pemerintahannya.
Selain dari apa yang diketahui oleh dunia internasional terkait kedekatan Saudi dan Amerika Serikat (AS), liberalnya Saudi ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang baru ditetapkan, seperti akan dibolehkannya wanita mengendarai mobil sendiri, dibukanya kembali bioskop, serta dibolehkannya wanita untuk menonton pertandingan dan pertunjukan. Seluruh kebijakan tersebut menurut beberapa analis politik tentu tidak terlepas dari unsur kepentingan ekonomi yang ingin dicapai Saudi.
Perlu untuk diketahui, bahwa di Arab Saudi terdapat sebuah Majelis Ulama (Majlis Hay’at Kibar al ‘Ulama) yang memiliki fungsi untuk membantu dan menasihati Raja dalam menjalankan pemerintahan, termasuk dalam menentukan kebijakan. Keberadaan para ulama dalam majelis ini juga digaji oleh kerajaan. Berbagai keputusan yang diambil Raja dan penguasa Saudi dapat dikatakan begitu dipengaruhi oleh majelis ini.
Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Arab Saudi termasuk dalam negara yang terpengaruh pemikiran sekularisme yang secara nyata digaungkan oleh dunia Barat. Gagasan sekularisme ini jelas menginginkan adanya pemisahan agama dari kehidupan, bahkan negara.
Terpatrinya sekularisme di berbagai negeri kaum Muslimin dapat dikatakan berdampak pada peran agama, dalam hal ini Islam menjadi dipinggirkan karena ada banyak kepentingan-kepentingan lainnya. Tidak hanya agama, namun posisi sentral ulama sebagai penyampai risalah Islam dari Rasulullah dulu kini didegradasi demi tujuan politik ataupun ekonomi semata.
Dapat dikatakan bahwa pemerintahan Saudi memang sangat dekat dengan ulama, mengingat sentralnya peran Saudi sebagai penjaga kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Tetapi fakta lain yang tidak bisa dinafikkan oleh publik adalah keterlibatan militer Saudi dalam menyerang negeri-negeri kaum Muslimin dan dekatnya “ikatan persahabatan” yang dijalin Saudi dengan berbagai pihak yang secara nyata memerangi dunia Islam.
Keputusan-keputusan tersebut sudah pasti merupakan keputusan yang bersifat politis dan ditetapkan dalam rangka menjaga kepentingan Arab Saudi. Sekularisme tentu saja meniscayakan semua itu terjadi. Namun, jika kembali pada pernyataan sebelumnya terkait ulama dan penguasa, apakah pemerintahan Saudi tersebut tidak mengetahui betapa Allah subhanahu wa ta'ala sangat murka jika darah seorang Muslim tertumpahkan di dunia?
Refleksi Hubungan Penguasa, Ulama, dan Umat
Fenomena yang terjadi dalam tubuh dunia Islam, termasuk di dalamnya adalah Indonesia yakni banyaknya ulama yang memiliki kedekatan khusus dengan penguasa telah membuyarkan pandangan umat tentang posisi ulama terhadap agama dan umat. Padahal melalui lisan mulianya,
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan “al ‘ulamaa-u waratsatul anbiyaa” atau ulama adalah pewaris nabi, bukan waratsatul hukkam atau pewaris penguasa.
Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya juga lebih lanjut mengklasifisikan ulama menjadi dua, yakni ulama akhirat dan ulama dunia (ulamaus suu). Beberapa karakter ulama dunia menurut beliau adalah menyalahgunakan ilmunya untuk tujuan-tujuan duniawi (kekayaan, kekuasaan, ketenaran) dan selalu mengukur perjuangannya dengan materi.
Seorang sahabat, Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu pernah menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang memerintahkan kaum Muslimin untuk menghindari pintu-pintu penguasa, “Salah seorang dari kalian mendatangi penguasa kemudian membenarkan kedustaannya dan berkata tentang hal-hal yang tidak ada pada dirinya” (Al Adab Asy Syariyyah 3/459), terlebih jika penguasa tersebut adalah penguasa yang dzalim.
Tidak hanya itu, imam Bukhari rahimahullahu pun begitu menjaga dirinya untuk tidak dekat dengan penguasa dan duduk bersama mereka. Beliau meyakini bahwa istiqamah dalam beragama akan sulit dicapai oleh seseorang yang dekat dengan para penguasa.
Kefaqihan ulama dalam beragama sepatutnya menjadikan mereka atau siapapun yang berilmu untuk berkomitmen dalam membela kepentingan umat dan agama. Dukungan yang diberikan oleh ulama kepada penguasa yang dinggap dzalim oleh umat tentu akan mengaburkan pandangan umat terkait ulama mana yang harus didengar dan diikuti.
Ulama dengan ilmunya yang begitu “mahal dan berharga” juga tidak semestinya mudah untuk dibeli oleh penguasa dan pihak manapun demi memuluskan keinginan duniawi mereka.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan dan dijadikan sebagai pengingat bahwa ulama-lah yang seharusnya menjadi tameng utama dan garda terdepan dalam menjaga kejernihan pemikiran, perasaan, dan aqidah umat, bukan justru menjadi dalil justifikasi bagi penguasa untuk melancarkan kepentingannya. .[MO/im]