Oleh : Arimbi Nikmah Utami, S.Farm., Apt
Mediaoposisi.com-Hari ini, semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu mendapat reaksi dari masyarakat, terjadi pro kontra, perpres TKA salah satunya.
Perpres yang diteken oleh presiden pada tanggapan 26 maret 2018 tersebut dinilai tidak berpihak terhadap rakyat. Rakyatnya banyak yang pengangguran dan bahkan sampai mencari sesuap nasi dengan hengkang di luar negeri sebagai TKI, eh, malah lapangan kerja diberikan kepada orang asing.
Pro dan kontra
Tentu yang mendukung kebijakan itu memiliki 1001 alasan, dikutip Dari sindonews.com, anggota komisi IX DPR Irma suryani chaniago menyatakan bahwa TKA yang boleh masuk hanya level manajer ke atas dengan masa kerja tertentu.
Tapi yang tidak mendukung pun punya dalih, seperti yang disampaikan oleh Fahri Hamzah, wakil ketua DPR tersebut menyatakan bahwa dirinya sudah mengecek fakta di lapangan dan meyakini bahwa penerbitan perpres itu untuk level buruh.
Potret pengangguran di Indonesia
Berdasarkan bps.go.id, pada agustus 2017, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,5%. Definisi TPT adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. TPT 5,5% artinya, dari 100 pendidikan usia 15 tahun ke atas yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa (angkatan kerja), sebanyak 5,5 orang merupakan pengangguran.
Jika memang benar TKA yang masuk hanya level medium ke atas seperti manajer, general manajer dan direktur, mungkin masyarakat bisa memaklumi. Namun jika pada faktanya yang masuk adalah level buruh, maka sangat mengherankan, apakah di Indonesia tidak ada tenaga yang sesuai untuk itu?
Mengambil contoh di Blora, Jawa Tengah, dimana peta pengangguran sudah berubah. Jika sebelumnya lulusan SD dan SMP merupakan lulusan yang paling banyak menganggur, saat ini pengangguran terbanyak adalah lulusan SMA/SMK dan sarjana (Diva,19/2/2018).
Pemerintahan dalam Islam
Pemerintah seharusnya lebih mendahulukan untuk mengurangi pengangguran di Indonesia daripada membuka peluang kerja bagi tenaga asing, terlebih untuk level bawah/buruh. Tidak heran jika masyarakat berpikir ada kepentingan tersembunyi di balik perpres tersebut.
Dalam Islam, kepemimpinan dalam konteks bernegara adalah amanah untuk mengurus rakyat.
Rasul SAW bersabda "Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus". (HR Bukhari Dan Ahmad).
Mengurusi kemaslahatan rakyat harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Selalu merujuk pada syariah Islam, tidak boleh didasarkan pada aturan kapitalis seperti saat ini yang berlandaskan hawa nafsu dan kepentingan semata.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al-Qur'an dan Rasul (As-Sunnah)..." (TQS An-Nisa' 59).
Allah SWT pun mencela orang yang cenderung tunduk pada kehendak kaum kafir dan munafik.
"Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mengikuti keinginan kaum kafir dan kaum munafik. Sungguh Allah adalah Maha tahu lagi Maha bijaksana" (TQS Al-Ahzab 1).
Tanpa syariah Islam, mustahil para penguasa dan pemimpin negeri ini bisa amanah dalam mengurus rakyat. Tanpa syariah Islam, kesejahteraan rakyat jauh dari genggaman.[MO/sr]