Ilustrasi |
Oleh Lilis Marlina
(Anggota Revowriter)
Mediaoposisi.com-Pembubaran pengajian kembali terjadi. Pada 19 Maret lalu, aparat Kepolisian Resor Banggai membubarkan blokade pengajian ibu-ibu majelis taklim dengan menembakkan gas air mata. Polisi juga membubarkan massa dengan menggunakan water cannon. Insiden tersebut terekam dan videonya viral di media sosial (nasional.tempo.co, 23/3/2018).
Wakapolri Komjen Syafruddin mengaku sangat geram setelah mengetahui kabar pembubaran ibu-ibu pengajian yang diduga dilakukan anggota Polres Banggai (nasional.jpnn.com, 23/3/2018)
Syafrudin menyesalkan aksi tersebut. Menurut dia, meski dalam konteks penegakan hukum, namun aparat harus tetap memperhatikan nilai keadilan. "Tindakan tersebut intoleran," ujarnya (nasional.tempo.co, 23/3/2018).
Menurut Syafruddin, tindakan aparat yang menggunakan gas air mata tidak dibenarkan lantaran tidak sesuai dengan prosedur tetap kepolisian (nasional.tempo.co, 23/3/2018).
Akibat pelanggaran prosedur tersebut, Kepolisian Indonesia mencopot Kepala Polres Banggai, AKBP Heru Pramukarno, dari jabatannya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Kepala Divisi Humas Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto. Menurut Setyo, ada indikasi pengamanan tak dilakukan sesuai prosedur.
"Yang jelas kami punya SOP (Standard Operation Procedure) kalau mau bubarkan itu ada negosiasi dulu. Lalu setelah itu lakukan pendekatan humanis. Kalau itu tidak bisa dilakukan, kita tidak boleh langsung melakukan penembakan gas air mata, ada prosedurnya," jelas Setyo (Kumparan.com 29/3/2017).
Peran yang Tereduksi
Kasus ini menunjukkan betapa arogansinya aparat penguasa (polisi) dalam rezim neolib ini. Seharusnya polisi berperan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Apalagi saat itu, ibu-ibu di Tanjung Sari sedang menyampaikan aspirasi secara damai dalam bentuk pengajian.
Pengajian ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan Pengadilan Negeri (PN) Luwuk, Kabupaten Banggai. Warga menilai penggusuran ini cacat hukum, karena adanya dugaan kekeliruan putusan hukum. Kasus ini murni berasal dari perkara perdata dua pihak, yakni antara Ny. Berkah Albakkar dan ahli warisnya dengan beberapa pihak lain.
“Konflik perdata kedua belah pihak itu seharusnya tidak mencakup lahan dan pemukiman warga yang tergusur sekarang ini,” kata Adi Prianto, Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulawesi Tengah, kepada Berdikarionline.com, Rabu (21/3/2018).
Sementara itu, Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia (DPN SRMI) sebagai sebuah bentuk arogansi Pemerintah kepada rakyatnya. SRMI juga menganggap bahwa peristiwa tersebut sebagai bentuk ketidakadilan dalam hukum.
Ketua Umum SRMI Baharuddin Upa melalui pesan tertulisnya kepada Redaksi, Kamis (22/3/2018)
mengungkapkan bahwa setidaknya ada 1411 Jiwa dan 343 Kepala Keluarga yang memiliki sertifikat hak milik, atas tanah yang digusur tersebut.
Rumah dan bangunan yang ditempati mereka sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu telah rata dengan tanah akibat digusur secara sepihak oleh Pengadilan Negeri (PN) Luwuk, Kabupaten Banggai yang dikawal oleh aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP (www.indeksberita.com, 22/3/2018).
“Bagi kami, Penggusuran kampung warga tersebut semakin memperlihatkan bahwa aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung dan mengayomi masyarakat malah menjadi alat perusahaan,” ujar Upa (www.indeksberita.com, 22/3/2018).
Miris, kondisi ini menunjukkan bahwa polisi dalam Rezim Neolib cenderung berpihak pada kelompok yang kuat dibanding masyarakat yang lemah. Tidak hanya polisi, penguasa dalam Rezim neolib pun tidak lagi menjadikan kekuasaan yang dimilikinya sebagai penjaga dan pelindung masyarakat.
Dalam Rezim neolib peran penguasa hanya sebagai pembuat kebijakan (regulasi) bukan pemelihara dan pelindung masyarakatnya. Bahkan kerap kali penguasa dengan kebijakan yang dimilikinya mengangkat aparat penguasa (polisi) pada level jabatan tertentu hanya untuk menjaga eksistensi kekuasaannya.
Kekuasaan Dalam Islam
Islam sebagai agama yang paripuna memiliki pandangan yang khas tentang kekuasaan. Dalam Pandangan Islam, kekuasaan bukan semata memperoleh jabatan dan dukungan rakyat, akan tetapi lebih dari itu. Kekuasaan sejatinya merupakan milik Allah SWT yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Allah SWT sebagai pemilik kekuasaan memberikan amanah kepada manusia sebagai khalifah (penguasa) dimuka bumi.
Fungsi utama khalifah (Imam) dalam Islam adalah ar ro’in (pengurus) dan al junnah (pelindung) umat. Berkaitan dengan pengurusan umat, Rasulullah saw. bersabda:
…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Sedangkan berkaitan dengan pelindung umat, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Dalam hadis tersebut jelas tugas khalifah itu sangat mulia di sisi Allah, karena menjadi pengurus dan pelindung (perisai) umat. Berbeda sekali dengan rezim neolib yang hanya mencintai kekuasaannya saja. Demi kekuasaan masyarakatnya pun tidak mau diurusi dan dilindungi.
Islam Jadikan Peran Polisi Mulia
Dalam Islam peran (syurthah) polisi sangat mulia. Tugas utama polisi adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Selain itu, mereka juga ditugasi untuk menjaga system, mensupervisi keamanan di dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi.
Adapun maksud polisi berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah (wali/’amil), mereka akan malaksanakan apa saja yag dibutuhkan oleh Khalifah/kepala daerah sebagai pasukan eksekusi untuk mengeksekusi pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga system, keamanan, patrol, ronda malam hari, mengintip pencuri, mencari pelaku kriminal dan orang yang dikhawatirkan keburukannya (Ajhizat Daulah al-Khilafah, hal 95, 96 dan 99; Anwar ar-Rifa’I, al-Insan al-‘Arabi wa al-Hadharah, hal 235).
Polisi dalam sistem Islam berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap wilayah/daerah yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah tersebut.
Adapun yang layak menjadi kepala polisi (syahib as-syurthah), menurut Ibn Abi ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, adalah orang yang sabar, berwibawa, tidak banyak bicara, berpikir panjang dan mendalam, tegas, cerdas, hidupnya bersih, tidak grasa-grusu, sedikit senyum dan tidak mudah memberi ampun.
Inilah fakta kepolisian dalam sistem Islam. Tugas dan tanggung jawab mereka memang berat, tetapi dengan ketakwaan dan tsaqofah Islam yang ditanamkan secara mendalam kepada mereka, maka tugas berat itu pun bisa mereka jalankan dengan keikhlasan sebagai ibadah kepada Allah. Mereka melindungi dan mengayomi masyarakat tanpa melihat kaya dan miskin, tinggi dan rendah derajat mereka. Sosok polisi seperti inilah yang umat dambakan. Dan ini hanya bisa terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyyah.