Oleh: Dwi Rahayuningsih
Mediaoposisi.com- Ujian Nasionak Berbasis Komputer untuk SMA sederajat dan SMP sederajat baru saja usai. Namun desas-desus kontroversi soal High Order Thinking Skils (HOTS), masih hangat dibicarakan. Dalam status medsosnya, para pelajar mengeluhkan sulitnya soal UN yang mereka kerjakan.
Senada dengan hal itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap adanya malpraktik terhadap soal-soal UNBK.
Pasalnya soal-soal yang diujikan tidak pernah diajarkan. Jumlah soal HOTS dalam UN berkisar antara 10-15% dari keseluruhan jumlah sial untuk tingkat SMP.
Terlepas dari jumlah soal HOTS apakah sebagaian atau keseluruhan, tetap saja membuat siswa kelimpungan. HOTS Merupakan tuntutan kurikulum agar siswa mampu memperoleh keterampilan berpikir sesuai dengan perkembangan zaman.
Sisi Lain HOTS
Keterampilan tingkat tinggi, dalam rumusan Anderson Krathwohl (2001), merujuk pada dimensi proses berpikir pada level menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi ide. Hal ini dapat diwujudkan dengan HOTS.
HOTS adalah kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif yang merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Ranah dari HOTS adalah analisis yang merupakan kemampuan berpikir dalam menspesifikasi aspek-aspek dari konteks tertentu.
Dalam kurikulum 2013 menuntut adanya materi pembelajarannya hingga metakognitif yang mensyaratkan siswa tidak hanya mengingat dan menjabarkan suatu materi. Namun harus mampu untuk memprediksi, mendesain, dan memperkirakan.
Sedangkan latar belakang diberlakukannya pengembangan soal HOTS dalam UN adalah karena rendahnya kemampuan siswa dalam survey yang dilaksanakan oleh Benchmarking Internasional seperti PISA (2009) dan PIRLS (2011).
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan soal HOTS. Karena ini akan melatih siswa untuk berpikir kritis, logis, dan reflektif. Hanya saja, sistem Pendidikan Indonesia belum siap untuk menerapkan hal ini. Kebijakan yang sering kali berganti, mengikuti pergantian Menteri menambah daftar Panjang polemic Pendidikan di Indonesia.
Kurikulum yang selalu berganti. Beban administrasi guru yang bejibun. Target nilai akademis dalam bentuk angka. Serta orientasi dunia kerja adalah faktor kegagalan Pendidikan di Indonesia. Disatu sisi pemerintah ingin menghasilkan output siswa yang mampu berpikir kritis dan logis. Namun di sisi lain, siswa tidak disiapkan untuk itu.
Berpikir logis dan kritis tidak bisa diperoleh secara instan. Butuh pembiasaan yang panjang. Sayangnya pemerintah menginginkan segala sesuatu termasuk HOTS dengan cara instan pula. Sekolah-sekolah belum memiliki kesiapan untuk ini, baik dari kurikulumnya, siswanya maupun gurunya.
Sistem Pendidikan Dalam Islam
Dalam Islam Pendidikan adalah masalah yang asasi. Pendidikan merupakan jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Islam tidak saja mewajibkan manuisa untuk menuntut ilmu. Namun juga mendorong untuk menemukan kebenaran melalui ilmu itu, serta memanfaatkan ilmunya untuk jalan kebenaran.
“Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Asas Pendidikan dalam Islam adalah aqidah Islam. Aqidah adalah dasar kurikulum yang diberlakukan oleh negara. Konsekuensi dari aqidah Islam adalah terikat dengan hukum syariat Islam. Ha ini berarti bahwa tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan harus terkait pada syariat Islam.
Pendidikan Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis untuk membentuk manusia yang berkarakter. Yaitu berkepribadian Islam dan menguasai tsaqafah Islam serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kepribadian Islam ini terdiri dari dua aspek, yaitu pola piker Islam (aqliyah Islamiyah) dan pola sikap Islam (nafsiyyah Islamiyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Sedangkan untuk mengembangkan kepribadian Islam, ada 3 langkah yang harus dilakukan.
Menanamkan aqidah Islam kepada semua orang (termasuk siswa) dengan jalan berpikir. Sehingga akan terbentuk aqidah aqliyah yaitu aqidah yang diperoleh dari proses berpikir.
Menanamkan sikap konsisten dan istiqamah agar cara berpikir dan perilakunya tetap berjalan di atas pondasi aqidah Islam.
Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk dengan senantiasa mengisi pemikiran dengan tsaqafah Islam dan mengamalkannya dengan penuh ketaatan kepada Allah SWT.
Sistem Pendidikan Islam adalah sistem yang terpadu. Artinya Pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Melainkan harus memadukan seluruh aspek pembentuk sistem Pendidikan yang unggul.
Aspek tersebut adalah:
Adanya sinergi yang kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketika ketiga unsur itu masih berjalan masing-masing, maka tidak akan terbentuk siswa yang unggul. Beban sekolah akan sangat berat ketika keluarga menyerahkan sepenuhnya urusan Pendidikan kepada pihak sekolah.
Belum lagi lingkungan masyarakat yang tidak mendukung, maka akan menjadi tugas yang berat bagi sekolah untuk membentuk siswa yang berkepribadian Islam dan cerdas dalam saintek.
Kurikulum yang terstruksur dan terprogram dari tingkat TKhingga perguruan tinggi. Muatan tsaqafah dan ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian dan keterampilan) harus disesuaikan dengan daya serap dan tingkat kemampuan siswa berdasarkan jenjang pendidikannya.
Pendidikan berorientasi pada pembentukan tsaqafah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, makin jelas kemana arah Pendidikan yang akan diwujudkan. Kurikulum Pendidikan yang jelas dan tidak mengikuti negara-negara asing akan menciptakan manusia berkepribadian dan berkarakter.
Orientasi Pendidikan juga bukan untuk memperoleh pekerjaan semata, sehingga tidak dikejar nilai-nilai akademis dalam bentuk angka.[MO]