Ilustrasi |
Oleh: Dwi Rahayuningsih, S.Si
Mediaoposisi.com- Banyaknya pejabat dan calon wakil daerah yang tersandung kasus korupsi bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menemukan sejumlah kasus korupsi menjelang pilkada. Setidaknya ada 38 orang anggota DPRD Sumatera Utara telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi.
Ke-38 anggota DPRD tersebut yang menjabat pada periode 2009-2014 & 2014-2019. Semuanya diduga terlibat dalam kasus suap interpelasi dan pengesahan APBD Sumut oleh mantan Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho.
Penetapan kasus tersangka tersebut diketahui dari surat pemberitahuan bernomor B/227/DIK.00/23/03/2018 yang ditujukan KPK kepada Ketua DPRD Sumut, Warigin Arman tertanggal 29 Maret 2018 yang ditandatangani Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman (Okezonenews.01/04/2018).
Demokrasi Lahirkan Pejabat Korupsi
Mahalnya biaya Pilkada dalam demokrasi mejadi penyebab utama tindak korupsi oleh pejabat. Bagaimana tidak? Jika dalam proses pemilihan wakil rakyat saja sudah mengahabiskan dana milyaran rupiah. Dana tersebut digunakan untuk biaya kampanye berikut team sukses dan lain-lainnya.
Sudah menjadi hal wajar jika akhirnya para wakil rakyat yang terpilih akhirnya terjerat kasus korupsi. Untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan saat proses pemilihan, cara yang paling mudah dan instan adalah dengan korupsi.
Pasalnya jika mereka mengandalkan gaji saja jelas tidak akan mampu menutupi kerugian materi yang telah dikeluarkan.
Sistem kapitalis sekuler terbukti sudah melahirkan banyak koruptor. Tidak hanya di Indonesia bahkan di negara-negara lain yang menerapkan sistem kapitalis juga melahirkan koruptor. Jabatan sebagai wakil rakyat yang sering berhubungan langsung dengan keuangan menjadi iming-iming tersendiri bagi calon pejabat. Sehingga mereka rela mengejar posisi tersebut meski harus merogoh kocek dalam-dalam.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo mengaku selalu mengingatkan pemangku kebijakan, termasuk DPRD, untuk selalu memahami area rawan korupsi. Menurut dia, salah satu lahan yang kerap dijadikan praktik rasuah yakni perencanaan dan penyusunan anggaran. Ia pun bingung masih banyak oknum pemangku kebijakan yang 'bermain' pada sektor ini. Padahal, sudah banyak yang ditangkap oleh KPK. (Okezonenews.com)
"Sudah banyak contoh, harusnya itu jadi pelajaran berharga bagi semuanya untuk hati-hati. Tapi masih saja ada yang bermain. Saya kira harus hati-hati karena area itu yang dicermati oleh KPK, Kejaksaan termasuk BPK dalam audit anggaran ini juga yang berkaitan dengan perencanaan anggaran," ujarnya.
Sanksi yang terlampau ringan juga menjadi salah satu penyebab tumbuh suburnya korupsi di negara demokrasi. Hukuman penjara dengan fasilitas bak rumah pribadi tidak mampu membuat para koruptor jera. Justru sebaliknya, mereka merasa nyaman dengan kondisi seperti itu. Toh tidak terasa seperti penjara.
Pejabat Adalah Amanah
Sistem Islam meminimaliris adanya praktek korupsi. Dalam Islam dipilih menjadi wakil rakyat adalah amanah, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. Karena beratnya tanggung jawab yang akan dipikulnya, maka setiap orang yang terpilih menjadi wakil rakyat ini akan menganggapnya sebagai musibah. Bukan anugerah yang harus dikejar dan diperjuangkan agar terpilih. Rasulullah saw bersabda dalam Hadistnya:
"Kekuasaan itu adalah amanat, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim).
Apabila seseorang telah terpilih menjadi pejabat atau wakil rakyat, maka dia harus menjalankan amanat tersebut sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Haram hukumnya bagi pejabat yang tidak mengurusi rakyatnya, yang hanya menumpuk harta dan memperkaya diri melalui jalan korupsi. Allah juga mengingatkan dalam al-Qur'an terkait hal ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Dengan demikian, satu-satunya cara untuk menghentikan kasus korupsi yang sudah turun temurun ini hanya dengan penerapan syari'at Islam. Koruptor dalam sistem Islam dihukumi sama dengan pencuri. Yakni dengan menerapkan hukum potong tangan yang akan membuat jera para pelaku korupsi ini.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38)
Dari Manshur, dari Hilal bin Yasaf, dari Salamah bin Qais, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ingatlah bahwa larangan itu ada empat:
1) Janganlah berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun,
2) Janganlah membunuh jiwa yang Allah haramkan,
3) Janganlah berzina,
4) Janganlah mencuri.” (HR. Ahmad 4: 339, Thabrani 6316-6317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1759)
Selain itu juga mampu membuat pejabat lain yang bersih untuk tetap waspada dan tidak berani untik melakukannya. Sehingga, pemimpin dan pejabat yang amanah akan terwujud dengan penerapan Sistem Islam Kaffah dalam bingkai negara Khilafah.[MO/br]