Oleh: , Shofiyyah Hanun, S.KM., M.Epid.
Mediaoposisi.com-Dunia pendidikan Indonesia kembali mengalami sebuah tantangan. Dalam waktu dekat pemerintah akan kembali mengimpor tenaga pengajar untuk perguruan tinggi di tanah air. Saat ini tercatat 30 orang tenaga dosen asal luar negeri telah resmi mengajar di Indonesia.
Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, Indonesia memerlukan tambahan lagi 200 dosen asing.
Langkah ini diambil sebagai salah satu respon terhadap penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) oleh Presiden Joko Widodo.
Kemenristekdikti menyebutkan bahwa kebijakan impor dosen asing ini merupakan strategi untuk meningkatkan reputasi dunia dalam bidang pendidikan melalui mekanisme staff mobility (Katadata, 11/4).
Jika ditilik dari sisi urgensitasnya, kebijakan impor tenaga dosen asing ini tentu tidak tepat mengingat jumlah pengangguran di negeri ini sudah sangat banyak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 10.000 dalam satu tahun terakhir dengan total pengangguran mencapai 7,04 juta orang per Agustus 2017.
Dengan adanya kebijakan impor tenaga dosen asing ini berarti semakin mengurangi jumlah lapangan pekerjaan bagi anak negeri.
Selain itu, untuk meningkatkan reputasi Indonesia dalam bidang pendidikan dapat dilakukan tidak hanya dengan merujuk pada indikator staff mobility.
Wibowo dalam Jurnal Manajemen, vol.13, no.2, tahun 2014, menyebutkan bahwa sebuah universitas perlu memiliki kinerja riset (research performance) yang baik dan unggul jika ingin menjadi sebuah universitas dengan reputasi hebat di tingkat global.
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah seharusnya lebih difokuskan untuk memberikan dukungan bagi dosen lokal dalam meningkatkan kinerjanya di bidang riset ketimbang mendatangkan dosen asing.
Sayangnya kinerja riset hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Terbukti dari total anggaran 41,28 T yang diterima Kemenristekdikti dari APBN tahun 2018, hanya teralokasi sekitar 253 M saja yang diperuntukkan bagi riset dosen.
Menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, M, Dimyati, anggaran riset di Indonesia masih sangat jauh dari cukup. Idealnya anggaran riset antara 1-2% dari GDP, namun sekarang masih 0,25% saja (Vivanews, 28/10/2017).
Staff mobility sebagai salah satu indikator pengukuran reputasi dunia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu dampak dari diterapkannya sistem Kapitalisme global yang dicirikan dengan adanya mekanisme pasar bebas (free trade).
Mekanisme pasar bebas memungkinkan pertukaran barang dan jasa di dunia menjadi lebih mudah karena semua hambatan dan syarat-syarat yang menyulitkan dihapus sehingga produk-produk luar bebas masuk dan bersaing dengan produk lokal.
Termasuk tenaga kerja asing akhirnya dapat dengan mudah melamar pekerjaan di Indonesia layaknya warga negara sendiri.
Mekanisme pasar bebas tentu sangat berbahaya sebab membuka peluang besar bagi negara-negara Kapitalis-yang notabene merupakan negara-negara maju seperti Amerika-untuk dapat dengan mudah menguasai negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam berbagai sektor termasuk pendidikan. Negara yang seharusnya mampu memberikan proteksi terhadap tenaga kerja lokal menjadi kehilangan kedaulatan dan akibatnya Indonesia kembali menjadi negeri yang terjajah.
Dalam pandangan Islam, negara memegang peran dan tanggungjawab penuh untuk mengurusi urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
"Pemimpin (kepala negara) adalah pengrus rakyat dan ia bertanggungjawab atas pengurusan mereka" (HR Muslim).
Dalam hadist tersebut jelas dinyatakan bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat terutama kebutuhan primer yaitu sandang, pangan, papan termasuk kesehatan dan pendidikan.
Hal ini bisa diwujudkan antara lain melalui tersedianya lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat. Kelayakan tersebut diukur setidaknya dari dua aspek yaitu upah yang diterima dan beban kerja.
Pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar Ibn Khatab, tenaga pengajar mendapatkan upah yang sangat tinggi.
Khalifah Umar menetapkan gaji bagi setiap pengajar sebesar 15 dinar setiap bulan. Dinar merupakan mata uang di dalam negara Khilafah yang terbuat dari emas.
Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika dikonversi ke dalam nilai tukar rupiah, maka gaji pengajar semisal dosen kala itu sama dengan 35.508.750,- setiap bulannya.
Bandingkan dengan gaji dosen saat ini yang hanya berkisar 5.002.000,- yaitu bagi dosen dengan jabatan akademik guru besar/profesor dan golongan IVe.
Sekalipun telah ditambah dengan tunjangan kinerja tertinggi yaitu 22.842.000,- tetap belum setara dengan gaji pengajar pada masa Khalifah Umar.
Apalagi mengingat tenaga dosen yang ada saat ini hampir 50 persennya belum memiliki jabatan akademik, yaitu sebanyak 109.110 dari total jumlah tenaga dosen di Indonesia sebesar 237.837 (Kemenristekdikti, 2017).
Dengan gaji yang tak seberapa, dosen diberikan beban kerja yang sangat berat.
Setidaknya setiap dosen harus melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dimana setiap dosen diwajibkan untuk menyelesaikan 2 riset dan 2 program pengabdian masyarakat setiap tahunnya.
Belum lagi ditambah dengan beban mengajar 12 sks setiap minggunya. Alih-alih sejahtera, kehidupan dosen di era Kapitalisme sungguh memilukan.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah ekonomi pasar bebas-termasuk kebijakan impor tenaga dosen asing di dalamnya-harus ditolak sebab bertentangan dengan Islam.
Mekanisme pasar bebas berasal dari ideologi Kapitalisme yang saat ini tegak di dunia.
Ideologi Kapitalisme bertentangan dengan ideologi Islam baik dari ide dasarnya yaitu sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan dari negara, serta dari aturan-aturan yang dilahirkannya.
Selain itu, mekanisme pasar bebas telah terbukti menjadi alat bagi negara-negara komprador untuk kembali menjajah negeri ini.
Sudah saatnya kita beralih kepada sistem Islam yang terbukti telah berhasil memberikan kesejahteraan bagi umat. Islam merupakan solusi yang sempurna bagi kehidupan karena bersumber dari wahyu bukan dari akal manusia yang serba terbatas.
Penerapan Islam yang sempurna (kaffah) dalam berbagai aspek kehidupan akan menjadi perisai bagi umat yang melindungi dari derasnya arus pasar bebas.
Penerapan ini tidak akan dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari negara.Oleh karenanya penerapan Islam secara kaffah juga harus diaplikasikan dalam lingkup negara.[MO/un]