Oleh: Ida Teliyana S.Pd
Mediaoposisi.com-Miras oplosan telah membuat miris masyarakat. Bagaimana tidak, hingga saat ini korban akibat miras oplosan mencapai ratusan orang meninggal.
Wakil Kepala Polri Komjen Syafrudin menyebut, korban meninggal minuman keras (miras) oplosan secara nasional ada sekitar 112 orang. (Kompas.com/20/4/2018).
Dari ratusan korban miras oplosan tersebut, korban jiwa terbanyak berada di wilayah Jawa Barat, total 60 orang korban meninggal, terdiri dari 45 orang meninggal di Cicalengka, Kab.Bandung; 7 orang di Kota Bandung; 7 orang di Kabupaten Sukabumi; 2 orang di Kabupaten Cianjur dan 1 orang di Kabupaten Ciamis. Sementara korban lainnya tersebar di seluruh Indonesia, seperti DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan.
Kejadian ini pun sempat membuat Pemkab Bandung menetapkan status KLB (Kejadian Luar Biasa) pada tanggal 10 April 2018. Total pasien yang dirawat di RSUD sampai mencapai 307 pasien. Rentang usia mulai 15-46 tahun.
karena pasien korban miras oplosan yang datang ke RSUD Cicalengka mulai mereda dan bos besar miras oplosan Cicalengka pun sudah tertangkap hari Rabu (18/4) di Sumsel, bukan berarti permasalahan miras oplosan ini telah usai. Ada PR besar yang harus dituntaskan hingga akarnya.
Tidak sekedar sebagai ajang komoditas politik, dikoarkan dalam materi kampanye atau dijadikan kesempatan menjatuhkan lawan politik.
Tragedi miras oplosan tersebut menimbulkan tanda tanya besar kenapa bisa menimpa masyarakat Indonesia yang notabene umat Islam terbesar? Padahal jelas-jelas agama Islam mengharamkan segala jenis khamr, baik bentuknya miras oplosan maupun miras murni.
Aparat pun baru bergerak menyasar peredaran miras oplosan ini ketika sudah banyak korban yang berjatuhan. Padahal bisnis miras oplosan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan kasus miras oplosan Cicalengka, seperti yang ditulis kriminologi.id (20/4/2018) Syamsudin Simbolon mulai membuka bisnis miras oplosan sejak tahun 2009.
Inilah yang terjadi di alam demokrasi, gaya hidup bebas tidak terikat aturan agama. Pesta miras menjadi suatu hal yang wajar di tengah masyarakat dalam memenuhi kesenangan sesaat mereka atau sekedar ingin melupakan beban kehidupan yang terus menghimpit.
Miras oplosan yang harganya ramah di saku masyarakat bawah akhirnya menjadi pelampiasan dari gaya hidup hedonis yang telah merasuk dan pelarian sesaat dari kesulitan hidup.
Aparat pemerintah pun baru terjun ketika jatuh korban saja. Sedang ketika miras itu tidak memakan korban tentu tidak ada upaya serius untuk memberantasnya. Jangan ditanya miras-miras yang berjejer di cafe-cafe ternama atau hotel-hotel berbintang bisa dikatakan tidak tersentuh dari razia aparat karena miras tersebut legal di kacamata hukum negeri ini.
Disamping itu aturan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan diantaranya kebebasan berperilaku dan kebebasan berpemilikan menjadikan eksistensi miras ini akan tetap lestari. Sehingga perilaku mabuk-mabukan dan bisnis yang menggiurkan yang dihasilkan dari jual beli miras ini terlindungi oleh aturan kebebasan demokrasi.
Padahal, miras baik oplosan ataupun bukan merupakan minuman yang sangat tidak layak beredar di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Sudah jelas keharamannya dan membawa kemudhorathan di tengah masyarakat. Aturan Islam secara tegas akan menindak 10 pihak yang berkaitan dengan miras.
Persoalan miras ini tentu akan tuntas teratasi jika kembali kepada aturan Islam yang membawa kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat.
Aturan Islam akan mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang mulia yang tidak menyia-nyiakan hidup hanya untuk kesenangan sesaat. Serta tegas dalam menindak hal-hal yang dilarang dalam agama tanpa memandang apakah hal itu menguntungkan dari segi materi.[MO/un]