-->

Menghentikan Euforia Hari kartini

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
 

Oleh : Eni Mu’tamaroh Imami
(Pendidik, Anggota Revowriter dan Aktivis El-Mahira Jombang)

Spesial Redaksi| Mediaoposisi.com- April identik dengan hari Kartini. Sosok perempuan Jawa yang ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional di negeri ini. Karena di anggap berjasa dalam perjuangan martabat perempuan. Padanya juga disematkan gelar pejuang emansipasi perempuan.

Sebagai bentuk penghormatan, setiap tanggal 21 April di peringati sebagai hari Kartini. Di berbagai instansi pendidikan, pemerintahan, kantor-kantor bahkan pertokoan turut memperingati.

Entah hanya sebatas mengenakan pakaian ala kartini, yakni Kebayak, jarik dilengkapi konde. Bagi yang berkerudung pun tak ketinggalan melakukan modifikasi penampilan. Atau turut dalam berbagai event yang di gelar. Seperti karnaval TK, lomba fashions show, beberapa Polwan juga berdandan ala Kartini saat bertugas di jalan.

Dan diperkirakan sekitar 7.000 peserta bakal meramaikan acara Kartini run yang diselenggarakan di kawasan Monumen Nasional (Monas) pada 22 April nanti.

Perjuangan Salah Arah
Sejak di bangku sekolah kita dikenalkan Kartini sebagai pejuang kaumnya. Gigih menuntut pendidikan bagi para perempuan. Tapi sayangnya perjuangan Kartini ditafsirkan jauh melenceng dari kehendaknya. Cita-citanya bukan untuk meraih kesetaraan di segala bidang dengan laki-laki. Sebagaimana di pahami oleh kebanyakan perempuan masa kini.

 Tapi Kartini hendak menguatkan peran perempuan. Karena Kartini memahami tugas mulia memajukan peradaban terletak di tangan Ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Jadi, perjuangan Kartini agar perempuan mendapat akses pendidikan, kelak supaya mampu menjalankan perannya dengan sempurna.

Hal ini tampak jelas dalam suratnya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi Ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Tapi sayangnya, hal ini ditafsirkan kebablasan. Setelah banyak perempuan mendapat akses pendidikan, lantas mereka menuntut lebih. Masuk dalam ranah publik bersaing dengan laki-laki demi mengejar materi. Bukan hal asing lagi, istri berkarir melebihi jam kerja suami.

 Ibu mengajar di sekolah A, anak di kirim ke sekolah B. Ibu mendidik anak orang, anak sendiri di asuh pembantu. Ibu makan siang dengan relasi, anak asyik bermain sesuka hati. Ibu sibuk terjun di dunia politik, rumah tangga sendiri tak terurusi.

Andai Kartini masih hidup, mungkin akan menangis melihat peran perempuan yang diperjuangkan telah terbajak emansipasi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.  Atas nama hak asasi perempuan di giring untuk sejajar dengan laki-laki. Mendapatkan hak yang sama, jika laki-laki bisa berdaya dan berjaya di luar rumah kenapa perempuan tidak.

 Maka tak heran, profesi Ibu rumah tangga di anggap rendah karena hanya berkutat di dapur, sumur, dan kasur. Padahal perempuan juga bisa mandiri dan menghasilkan materi. Alhasil, banyak perempuan di eksploitasi habis-habisan di berbagai lapangan kehidupan dan mengabaikan tugas utamanya.

Keluarga menjadi kacau, banyak rumah tangga karam di tengah lautan kehidupan. Dampaknya pun menimpa masa depan anak-anak yang tak bersalah.

Kebangkitan Perempuan
Fenomena perjuangan emansipasi yang salah arah telah memperburuk kiprah perempuan. Kebangkitan perempuan yang diperjuangkan Kartini agar darinya lahir generasi unggul pembangun peradaban, rasanya tak mungkin terwujud jika perempuan sibuk mengejar kesetaraan dengan laki-laki.

Kebangkitan perempuan sejatinya tidak diukur dari prestasi perempuan di luar rumah tapi gagal di dalam rumah. Kebangkitan perempuan ditentukan dari kualitas pola pikir dan pola sikapnya.

 Dan pendidikan merupakan salah satu cara membentuk pola pikir. Jika pola pikir yang terbentuk benar akan berpengaruh pada pola sikap seseorang.

Demikian halnya dengan Kartini dalam makna “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Terinspirasi dari ayat al-qur’an yang beliau pelajari bersama guru ngajinya. Hingga Kartini menulis usrat pada sahabatnya Ny Abendanon Mandri, 12 Oktober 1902. “Kami ingin mengabdi kepada Tuhan dan bukan kepada orang.’

Maka tampak jelaslah “Megabdi kepada Tuhan” maknanya menjadi hamba Allah Swt. Menyadari hakekat dirinya tidak ada dengan sendirinya, tapi diciptakan Allah. Menjalankan misi kehidupan di jalan Allah, yang apada akhirnya akan kembali kepada Allah. Inilah pemikiran mendasar pada diri manusia. Darinya akan lahir pemikiran-pemikiran dan aturan yang benar.

Inilah kebangkitan yang sejati, menjadikan perempuan tunduk kepada Allah. Ada hak dan kewajiban yang telah Allah gariskan bagi hambaNya. Berbeda bukan bentuk diskriminasi tapi untuk saling melengkapi. Ketinggian ilmu yang dikuasai perempuan juga akan ditundukkan pada peran yang teah digariskan.

Dengan tugas utamanya sebagai ummu warobatul bait. Andai pun perempuan mengambil peran lebih berkiprah di luar rumah, maka tidak akan melalaikan tugas utamanya tersebut.

Pejuang Kebangkitan
Peran perempuan dalam kebangkitan tak diragukan sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Perempuan turut berjuang dalam kebangkitan pemikiran. Memerangi kebodohan, pemikiran jahiliyah menuju pola pikir Islami. Bahkan mereka pun berani turun ke medan pertempuran. Jadi jelas berbeda dengan pejuang feminisme dalam emansipasi perempuan yang salah kaprah. 

Sejarah telah mencatat nama-nama besar pejuang muslimah. Diantaranya, Sayyidah Khadijah r.a  perempuan cantik yang kaya raya. Pengorbannya begitu fenomenal dalam mendukung perjuangan Rasulullah Saw mengemban risalah Islam. Begitupun Aisyah r.a, cendekiawan muda yang termasuk golongan al-Mukatsirin (Orang yang terbanyak meriwayatkan hadits).

Hingga banyak para shahabat yang mendulang ilmu kepada beliaunya. Adapula Asma’ binti Yazid, perempuan pemberani yang terjun ke medan perang dan membinasakan Sembilan tentara Romawi di perang Yarmuk. Beliau gugur menjadi Mujahidah.

Jika kita mau menyelami sejarah peradaban Islam masih banyak Shahabiyah dan muslimah setelah masa Rasulullah yang layak dijadikan ikon pejuang perempuan.

Hebatnya pada waktu bersamaan, mereka juga berhasil menjadi Ibu yang mendidik dan mencetak generasi terbaik. Ibu para Mujahid dan Mujtahid yang membangun peradaban Islam, hingga Islam berjaya selama 13 abad lamanya. Jika bukan karena kecerdasan pola pikir dan pola sikapnya yang tunduk kepada Allah dalam aturan Islam mustahil ini akan terjadi.[MO]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close