muslim Srilanka |
Oleh: Anisa Fitri Mustika Bela
Namun, dapat kita pahami bahwa kerusuhan dan kekerasan pun dapat menjadi terror bagi warga Muslim disana yang ketakutan.
Sejak Minggu malam hingga Selasa (06/3) kasus kerusuhan dan kekerasan telah marak terjadi di distrik Kandy, Sri Langka. Sejumlah masjid, rumah dan toko hancur selama aksi kerusuhan kurang lebih selama tiga hari di Kandy.
Pemerintah mengumumkan kondisi darurat selama tujuh hari untuk meredam situasi yang kian pelik sekaligus mencegah penyebaran kekerasan komunal. Sekolah di distrik Kandy yang biasanya beroperasi pun ditutup pada keesokkan harinya (07/3).
Juru bicara kabinet, Rajtha Senaratne, menjelaskan kepada wartawan BBC bahwa pemerintah meminta penyedia jasa internet memblokir media sosial setelah munculnya pesan-pesan yang menyerukan serangan atas Muslim di Facebook.
Dua orang Muslim dilaporkan tewas sementara lebih dari 150 rumah, toko dan mobil dibakar dalam kerusuhan sejak Minggu malam dan hari Selasa.
CCTV menunjukkan bantuan Polisi Sri Langka terhadap para pembuat terror dari ekstrimis Budha. Korban dan saksi, yang sebagian akunnya didukung oleh rekaman CCTV yang dilihat oleh Reuters, menggambarkan anggota unit polisi, paramiliter elit, dan Special Task Force (STF) menyerang seorang Imam dan pemimpin Muslim.
Komandan STF setempat menolak berkomentar. “Mereka datang untuk menyerang” kata AH Ramees, seorang Imam di sebuah masjid di mana para jamaah mengatakan mereka dipukul oleh polisi yang seharusnya melindungi mereka.
“Mereka berteriak. Ada bahasa kotor, mereka mengatakan semua masalah adalah karena kami, bahwa kami terrorist.” Lucu sekali perkataan polisi kepada Jamaah Masjid tersebut, padahal terrorist adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, dan biasanya untuk tujuan politik.
Sehingga seharusnya yang patut dilabel terrorist adalah polisi yang melakukan kekerasan dan menimbulkan rasa takut umat Muslim disana. Ruwan Gunasekara, juru bicara kepolisian nasional, termasuk STF, mengatakan unit investigasi khusus “sedang menyelidiki kekurangan polisi dalam insiden ini”.
Salah satu pemicu munculnya kerusuhan tersebut adalah meningkatnya Nasionalisme Budha dan Islamophobia di Kandy dan telah membuat khawatir pemerintah Koalisi Multietnis Sri Langka, yang menyingkirkan Mantan Presiden Mahinda Rajapaksa dalam pemilihan tahun 2015, menurut analisis dan dua sumber yang akrab dengan pertimbangan pemerintah.
Menteri Hukum dan Ketertiban Sri Langka Rajith Madduma Bandara mengatakan kekerasan di Kandy “terorganisir dengan baik” dan menunjukkan jari pada anggota Sri Langka Podujana Paramuna (SLPP), sebuah partai politik yang didukung oleh Rajapaksa yang mencetak kemenangan pada pemilihan lokal bulan lalu.
Pada konferensi pers yang diapit oleh para pemimpin senior awal bulan ini, Rajapaksa mengatakan tuduhan itu bermotif politik. Menurut dia, pemerintah menggerakkan kekerasan untuk “mendapatkan suara Muslim” dan mengalihkan perhatian dari ketidakmampuannya, (Aljazeera.com. 26/3).
Insiden tersebut membawa dampak yang sangat memprihatinkan bagi keadaan kaum Muslimin di Sri Langka. Dan aksi itu disinyalir akibat meningkatnya Nasionalisme Budha. Perlu diketahui bahwa Nasionalisme merupakan suatu paham yang muncul sebagai bentuk eksistensi diri dan pertahanan diri. Bak seekor singa yang ingin menjadi raja diantara hewan rimba dan berupaya terus mempertahankan tahta.
Nasionalisme Budha dapat diklasifikasikan sebagai bentuk mempertahankan diri pada sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan hanya berupa ‘Stereotip’ atau sentiment negative terhadap umat Islam.
Nasionalisme adalah buah pemikiran Barat yang ingin menjadikan bangsanya unggul diantara bangsa lain hingga berakhir dengan upaya penjajahan negeri-negeri Eropa di berbagai belahan dunia. Nasionalisme merupakan ikatan yang lemah sebab mudah goyah dan berujung pada hasrat untuk berkuasa serta menjajah.
Begitupun para ‘terrorist’ Budha yang melakukan tindakan brutal terhadap kaum Muslim sebagau bentuk Nasionalisme yang cenderung ingin terlihat berkuasa.
Selain itu, muncul pula keterlibatan politik yang kental dalam tragedy di Kandy. Analisisnya, aksi terror selalu diwarnai upaya politik yang cenderung mengarah pada hasrat berkuasa dan bertahta. Lantas, bisa dianalisa pula bahwa aksi-aksi terrorist lainnya, termasuk yang terjadi di Indonesia didalangi oleh kepentingan politik yang menyudutkan salah satu pihak, terutama Islam.
Dan War On Terorisme yang biasanya disuarakan secara lantang oleh pihak Amerika dan sekutunya tampak bungkam saat umat selain Muslim yang jadi pelakunya.
Maka bisa dianalisis pula bahwa ada kemungkinan pelaku-pelaku terrorist yang mengatakan dirinya muslim sebenarnya merupakan orang suruhan dan bisa jadi juga hanya tuduhan sepihak para penguasa.
Kunci permasalahannya adalah pada merasuknya ide Nasionalisme dan Islamophobia pada pemikiran ekstrimis Budha. Sehingga tidak bisa memberikan upaya berupa kutukan atau sekedar hukuman penjara, tetapi juga menghalau tumbuh suburnya dua ide tersebut di dalam masyarakat.
Untuk itu, perlu diterapkan sistem pendidikan yang baik serta sistem sosial yang harmonis sehingga mampu menghalau masuknya ide-ide yang dapat merusak keharmonisan antar masyarakat.
Dan dalam penerapannya tidak bisa apabila pemerintahan masih mengekor pada negara-negara Barat, Amerika maupun Negara kiri yang imbasnya harus mengikuti rule dari negara-negara tersebut.
Sehingga sistem pemerintahan juga perlu diganti secara menyeluruh hingga negara mampu Berdikari dengan ideology terbaik sebagai solusi segala persoalan kehidupan. Dan ideology tersebut bukanlah ideology negeri kanan tempat tumbuhnya ide Nasionalisme dan Islamophobia, buka pula ideology negeri kiri akar dari Fasisme, yakni Nasionalisme yang kebablasan.
Melainkan, ideology terbaik yang telah terbukti mampu membawa suatu negeri menjadi negeri yang meliputi hampir 2/3 dunia dengan keadaan seluruh rakyatnya sejahtera, yakni ideology Islam.[MO/br]