Oleh: Aminudin Syuhadak - Dir. LANSKAP
Politisi PDI Perjuangan Maruarar Sirait mengatakan, Jokowi dan Prabowo memiliki kekuatan yang sama-sama besar. Baik kekuatan di basis pendukung maupun partai yang mendorong mereka. Jika disatukan sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 2019, ia memastikan pasangan tersebut akan menang telak mengalahkan calon lainnya. "Realita politik sekarang memang Jokowi dan Prabowo kok. Itu fakta dari berbagai data, dari survei yang ada, selalu ada dua nama itu," ujar Maruarar di Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (2/4/2018). https://nasional.kompas.com/read/2018/04/20/23341411/politisi-pdi-p-sebut-jokowi-dan-prabowo-bisa-bersatu-asalkan
Catatan Sabtu
Yah, pernyataan Maruarar Sirait, Politisi PDI Perjuangan mungkin-mungkin saja. Masyarakat sudah terbiasa melihat fenomena ini. Berbagai partai politik berkoalisi dengan berbagai alasan. Ada yang mengklaim berkoaliasi atau tepatnya bekerja sama tanpa syarat, sementara yang lain diprediksi membangun koalisi di atas kepentingan bagi-bagi kekuasaan hanya karena wujudnya yang terlalu gemuk. Ada yang menyeberang ke kubu lawan. Ini model politik apa? Sebagian pengamat mengatakan konsep pragmatisme politik adalah basis fenomena-fenomena ini.
Inilah realitas politik paska reformasi yang dulu digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya.
Satu dasawarsa, korupsi yang terungkap meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi, sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkeraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asing pun masih terasa sangat kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik.
Sejenak perlu kita renungkan, demokrasi selalu menjanjikan perubahan, namun demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukkan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.
Adapun perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang terjadi. Di sinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat diasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah satu hal yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih mencerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukkan lebih sering justru kepentingan pihak lainlah yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal itu karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinvestasi melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan menentukan.
Ironisnya semua itu selalu diatasnamakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.
Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Mereka menilai bukan pada topik pembahasan mendasar untuk perubahan hakiki sebenarnya bukanlah figur pemimpin Prabowo atau Jokowi atau yang lain, namun lebih mendasar demokrasi bukan jalan mewujudkan perubahan yang hakiki.
Menggantungkan harapan terjadinya perubahan hakiki kepada demokrasi hanya akan mendatangkan kekecewaan. Fakta yang terjadi di negeri-negeri Islam selama ini sudah menegaskan hal itu. Karena itu, masihkah kita menaruh harapan pada demokrasi? [IJM]