Oleh: Rima N. Safitri, S.Kom.
(Pegiat Revowriter)
Tudingan tersebut disampaikan dalam pidatonya di acara Prabowo Menyapa Warga Purwakarta dan Karawang di Cikampek pada 31 Maret lalu.
Walaupun tudingan tersebut dinilai sebagai serangan pra pilpres 2019, namun jika melihat realitas Indonesia saat ini tudingan tersebut tidaklah berlebihan. Faktanya, bukan sebuah rahasia lagi jika demokrasi melahirkan pejabat bermental maling.
Begitu banyaknya pejabat terjaring KPK telah menjadi bukti. Mulai lahan eksekutif hingga wakil rakyat, elite pusat hingga daerah tidak ada yang steril dari praktek maling (korupsi).
Pada tahun 2018 saja telah tercatat 8 kepala daerah di Indonesia ditangkap karena terjegal kasus korupsi. Terbaru, akhir maret lalu 38 anggota DPRD Sumatera Utara turut ditetapkan sebagai tersangka kasus suap interpelasi dan pengesahan APBD.
Bola panas mega korupsi E-KTP pun masih terus menjalar membidik pentolan elite politik, partai berkuasa, yang hingga kini belum terusut tuntas. Kasus-kasus tersebut hanyalah segelintir bagian dari kasus korupsi negeri ini.
Berbagai upaya dilakukan untuk memutus mata rantai korupsi di negeri ini. Payung hukum hingga komisi khusus pemberantasan korupsi sudah dibentuk. Forum-forum diskusi hingga operasi tangkap tangan sudah digencarkan. Namun korupsi di negeri ini tetap tumbuh subur. Bahkan praktek maling tersebut saat ini tidak hanya dilakukan sendiri-sendiri tetapi berjamaah.
Banyaknya pejabat dan elite politik bermental maling adalah hal lumrah dalam sistem demokrasi. Sebab sejak awal demokrasi telah membudayakan praktek maling untuk meraih kekuasaan. Bagaimana tidak, sistem demokrasi sejak lahirnya tegak atas asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Pemisahan peran agama dari kehidupan ini meniscayakan manusia membuat aturan sendiri berdasar otoritas akal dan nafsu bukan pada wahyu. Hal ini sama saja merampas hak Allah SWT sebagai pembuat hukum dan aturan kehidupan.
Dari asasnya saja meniscayakan perampokan terhadap hak Allah, maka tidak dipungkiri sistem tersebut hanya akan mencetak orang-orang yang bermental maling. Orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, mengambil hak orang lain secara diam-diam ataupun terang-terangan.
Tidak segan mereka mengejar kekuasaan sebagai wasilah untuk meraup kekayaan, melalaikan amanah rakyat. Bahkan memainkan regulasi hukum sehingga lemah tak bertaji pada para elite dan penguasa.
Ditambah lagi, ongkos politik demokrasi yang mahal harus dibayar jika ingin naik ke kursi jabatan. Karenanya seketika duduk di kursi jabatan, mereka pun beraksi untuk mengembalikan modal dengan cara maling harta rakyat, mark up anggaran dan mengantongi harta sebanyak-banyaknya, bukan fokus menjalankan amanah mengurus rakyat.
Tidak heran jika banyak pejabat publik, elite dan wakil rakyat yang tertangkap KPK pada masa memangku jabatannya ataupun setelah lengsernya.
Meski telah banyak elite tertangkap KPK, namun koruptor tidak pernah habis. Menyeret nama dari golongan grassroot hingga elite penguasa. Menjamurnya praktek korupsi di negeri ini tidak lepas dari hukum buatan manusia yang lemah dan berbelit serta terkesan tebang pilih.
Jerat hukum seringkali tumpul tak bertaji pada elite politik kelas kakap ataupun penguasa. Hal tersebut terlihat dalam sederet kasus megakorupsi century dan hambalang yang sampai hari ini tidak kunjung tuntas bahkan tenggelam.
Vonis hukuman yang ringan, yakni pidana penjara paling singkat 1-4 tahun hingga maksimal hukuman penjara seumur hidup tidak mampu memberi efek jera kepada pelaku korupsi. Pelaku korupsi pun masih bisa melenggang bebas ataupun menjabat.
Meski telah banyak menyebabkan kerugian negara, pelaku korupsi masih tetap "kaya" karena masih bisa mengamankan aset kekayaannya dengan aman. Alhasil, tindakan maling uang rakyat tumbuh subur dalam lingkaran demokrasi yang menjerat elite politik atau siapapun didalamnya.
Hal tersebut tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Sebab, sistem Islam menanamkan paradigma ketaqwaan sehingga seseorang memahami bahwa jabatan adalah amanah. Memangkunya adalah hal berat. Sebab ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Sehingga seseorang tidak menjadikan jabatan sebagai suatu hal yang dikejar-kejar. Karena kekuasan dipahami sebagai sarana upaya mensejahterakan rakyat sejalan dengan hukum dan aturan Allah, bukan sebagai wasilah untuk meraup kekayaan.
Selain itu, sistem Islam akan menerapkan mekanisme syar'i yang mampu meminimalisir kasus korupsi. Seseorang yang terbukti melakukan korupsi diharuskan mengembalikan uang hasil korupsinya.
Selain itu, penerapan hukum yang tegas dan sanksi yang berat tanpa tebang pilih akan ditegakkan bagi pelaku curang ataupun maling uang rakyat kelas teri atau kakap. Sehingga memberi efek jera dan menutup celah aktivitas korupsi.
Mekanisme tegas tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah dan para khalifah dengan adil, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah 188 yang artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta antara kamu dengan cara yang bathil. Dan jangan kamu suapkan harta itu kepada pembesar negeri (pejabat), supaya dengan jalan itu (kamu) dapat mengambil harta orang lain dengan cara dosa. Padahal kamu mengetahui akibatnya”.
Karena itu, jika ingin memutus mata rantai korupsi negeri ini, maka sudah saatnya menanggalkan harapan pada sistem demokrasi. Sebab ia hanya akan melahirkan maling-maling berdasi. Saatnya negeri ini kembali kepada Islam, sebuah sistem buatan Pencipta dimana kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan akan mendominasi kehidupan. [MO]