Oleh: Ahmad Khozinudin S.H.
Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Rezim memang tidak akan pernah puas dengan satu kedzaliman. Setelah selesai satu kedzaliman, rezim berusaha merealisir kedzaliman yang lain.
Pengadilan telah memvonis Ujaran kritisme Barisan Emak Militan dengan menghukum Asma Dewi melalui Vonis yang dipotong masa tahanan. Kini kembali, seorang ibu berputra 4 (empat) dua diantaranya masih kecil (berusia 10 dan 8 tahun), ditangkap dan ditahan divisi cyber Polda Metro Djaya hanya karena mengupload konten meme bertuliskan "PDIP TIDAK BUTUH SUARA UMAT ISLAM".
Kritisme atas PDIP sebenarnya wajar, karena dinamika penolakan Perppu Ormas telah menguatkan PDIP menjadi sasaran kritik publik, karena dianggap sebagai pihak pendukung Perppu diktator.
Dinamika opini itu menyeret perdebatan sengit PDIP melawan publik, dimana mayoritasnya adalah umat Islam. PDIP bahkan menyebut tidak khawatir atas posisi politiknya yang mendukung Perppu Ormas.
Rini Sulistiawati Binti Djoko Warsito, adalah barisan emak kedua setelah Asma Dewi, yang menjadi pesakitan karena didakwa melanggar ketentuan pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45 ayat (2) UU nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE. Bahkan, Ibu empat ini juga didakwa dengan dakwaan kedua pasal 35 jo 59 ayat (1) UU nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.
Terdakwa Barisan Emak Militan kedua ini, diancam pidana 6 (enam) dan 12 (dua belas) tahun penjara.
Sejak sidang perdana pemeriksaan saksi dari penyidik Polda dan tim cyber Polda, banyak terdapat keganjilan dalam fakta persidangan. Pada sidang pertama, saksi pelapor yang berprofesi penyidik memberi pengantar bahwa dirinya tidak ada hubungan dengan PDIP, pelaporan murni inisiatif pribadi dalam kerangka menjalankan tugas.
Keanehan pertama, saksi pelapor mengaku tanpa sengaja menemukan konten yang dianggap bernada SARA (PDIP tidak butuh suara umat Islam) saat menghidupkan HP dan membuka akun jejaring sosial media (Facebook).
Saat ditanyakan beberapa pertanyaan, keterangan saksi ini diragukan. Saksi mengaku memiliki akun Facebook, tetapi tidak berteman dengan akun Facebook terdakwa, tidak di tag oleh upadate status terdakwa, tidak mendapat laman yang dibagikan terdakwa, namun secara tiba tiba bisa melihat konten meme.
Padahal, sepengetahuan penulis yang juga memiliki akun Facebook, pengguna facebook tidak mungkin bisa melihat konten update dari pengguna Facebook lainnya, kecuali mereka memiliki relasi hubungan pertemanan, ditandai dalam kiriman (tag) atau mendapat share (pembagian) konten kiriman.
Jadi sangat aneh jika pelapor bisa melihat konten meme terdakwa secara tidak sengaja kecuali pelapor berniat mencari tahu dengan mendatangi laman Facebook terdakwa atau melalui searching di Facebook. Berkali kali ditegaskan, pelapor tetap keukeuh bahwa konten meme yang dilihat terjadi secara tidak sengaja saat terdakwa mengaktifkan sosial media.
Keanehan Kedua, pelapor menuding terdakwa melakuan manipulasi (mengubah bentuk) konten meme hanya berdasarkan data pembanding berupa konten meme baliho yang di posting akun Facebook masjid jogokariyan Jogjakarta.
Meme asli diklaim bertuliskan "pesan istri kepada sang suamiku, carilah rezeki yang halal saja. Aku dan anak anakmu rela lapar dengan sedikit tetapi halal daripada kenyang namun dibakar api neraka".
Kemudian pelapor menuding terdakwa mengedit dan mengubahnya menjadi "PDIP TIDAK BUTUH SUARA UMAT ISLAM, PDIP Megawati Soekarno Putri".
Padahal, pelapor dan penyidik tidak pernah memanggil dan memeriksa pemilik akun masjid jogokariyan, tidak pernah melakukan ferifikasi faktual ke Jogjakarta untuk memastikan benar tidaknya keberadaan spanduk, tidak pernah pula secara langsung melihat terdakwa mengedit atau mengupload konten dimaksud.
Lantas apa dasar pelapor dan tim cyber menuding terdakwa mengubah bentuk konten meme ?
Keanehan ketiga, sejak ditetapkan tersangka Terdakwa ditahan dan barang bukti berupa HP milik terdakwa disita penyidik. Namun, saksi pelapor dan penyidik tim cyber hingga sidang ke empat tidak juga mampu menunjukan konten meme yang diperoleh dari sumber URL sesuai hasil BAP penyidik. Kemana raibnya konten meme yang dipermasalahkan ? Siapa yang bertanggung jawab ? Sebab saat BAP awal disebut URL konten meme masih bisa diakses.
Artinya fakta persidangan justru membuktikan absurdnya dakwaan jaksa atas terdakwa. Terdakwa tidak pernah mengedit konten meme, yang aneh lagi pelapor menyebut Redaksi meme dianggap ujaran kebencian terhadap PDIP yang dengan dasar tafsir itu pelapor yang notabene penyidik membuat laporan polisi.
Penulis berkeyakinan majelis hakim akan objektif melihat kasus. Melihat lemahnya bukti dan saksi yang dihadirkan dipersidangan, penulis selaku Penasehat Hukum terdakwa optimis hakim akan membebaskan terdakwa atau setidaknya melepaskan dari seluruh tuntutan. [].
from Pojok Aktivis