Ilustrasi |
Oleh: Winda S.
(Aktivis Mahasiswi Universitas Jember)
Selain itu, Menteri Keuangan juga mengatakan bahwa utang yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur. Uang dari utang juga digunakan untuk melakukan perbaikan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam hal ini, katanya, pemerintah perlu untuk melakukan investasi di bidang pendidikan dan SDM dan ini tidak bisa ditunda lagi.
Di jaman sekarang dengan sistem yang sengit dan menggigit, Negara tidak bisa lepas dengan yang namanya utang kepada Negara lain. Tak tanggung-tanggung, Negara berani utang dengan jumlah yang tidak sedikit hanya untuk kepentingan infrastruktur, dan infrastruktur sekarang ini bukan untuk mensejahterakan rakyat, justru itu akan membuat rakyat semakin terjepit, menjerit kesakitan. Dengan utang yang banyak dan keuangan yang dimiliki Negara tidak mencukupi untuk melunasinya, jalan yang dipilih untuk menutup lobang ialah dengan utang lagi dengan Negara yang lain.
Akhirnya yang jadi sasaran untuk melunasi utang adalah rakyat, dari pajak, dan sebagainya. Tidak semua rakyat mampu, di negeri ini masih banyak rakyat yang memegang perutnya karena kelaparan. Utang yang digadang-gadang untuk investasi di bidang pendidikan dan SDM ternyata hanya sebuah bayangan. Pendidikan justru semakin mahal, akibatnya banyak yang putus sekolah.
Begitu pula dengan SDM, karena mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak yang putus sekolah, maka SDM pun juga rendah. Alhasil, SDM tidak menjamin perubahan bagi Negara.
Dari data yang ada, Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen (yoy) menjadi 357,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS). Adapun rinciannya adalah 183,4 miliar dollar AS atau setara Rp 2.521 triliun utang pemerintah dan 174,2 miliar dollar AS atau setara Rp 2.394 triliun utang swasta. Pertumbuhan utang luar negeri Indonesia per akhir Januari 2018 bersumber dari pertumbuhan utang luar negeri sektor swasta sebesar 6,8 persen (yoy) serta sektor pemerintah dan bank sentral sebesar 13,7 persen (yoy).
Secara tidak langsung, utang yang diemban oleh pemerintah tidak hanya dari fokus pemerintah saja, swasta pun turut menyumbang utang. Bulan ke bulan, tahun ke tahun utang semakin membabi buta. Pemerintah sendiri dalam melunasi utang harus melakukan angsuran sebesar Rp 450 miliyar per tahun. Angka yang menunjukkan jumlah nominal yang cukup tinggi.
Pertanyaannya, dari mana pemerintah mendapatkan dana untuk melunasi utang, sedangkan penerimaan Negara tak sebanding dengan pengeluaran? Tentu pemerintah ini tidak kurang akal, untuk itu pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan mendorong penerimaan dari perpajakan.
Lagi lagi pajak dari rakyat yang jadi andalan. Rakyat akan semakin terbebani dengan ini. Bukannya Negara menjamin rakyatnya, tetapi justru rakyat diikutsertaan dalam masalah utang, yang utang pemerintah, yang membayar rakyat.
Menteri Keuangan bahkan sempat mengatakan bahwa utang Indonesia terbilang kecil atau rendah dibandingkan dengan Negara lain. Ia juga menuturkan bahwa tidak usah takut utang, Indonesia punya banyak kekayaan.
Memang Indonesia punya banyak kekayaan alam, tetapi kekayaan tersebut tidak dikelola oleh Negara, ada investor asing dan banyak perusahaan asing yang menjamur di Indonesia mengolah sumber daya alam Negara. Negara hanya mendapatkan 1% saja dari hasil pengolahan kekayaan alam tersebut.
Rusaknya Sistem Demokrasi
Semua pemikiran dari Barat asal berlaku secara internasional itulah yang dijadikan patokan dan diambil sebagai acuan. Tidak peduli pemikiran itu rusak yang penting ada banyak Negara yang mengambilnya. Mudah sekali bagi Barat dalam mengekspor pemikiran-pemikirannya ke berbagai Negara, seolah-olah halus tetapi tanpa disadari merusak peradaban.
Termasuk pula dengan sistem demokrasi ini. sistem demokrasi asalnya dari Barat. Demokrasi merupakan buah pemikiran Barat. Seakan-akan covernya bagus, semua mengedepankan rakyat, akan tetapi rakyat yang punya kuasa dan berkantong tebal yang dikedepankan, sedangkan rakyat kalangan bawah hanya bisa menonton.
Bukti rusaknya sistem ini tidak bisa ditutupi lagi.
Semakin lama semakin nyata kerusakannya, yang terjadi Negara bukannya memberikan keadilan bagi rakyat, tetapi Negara ibarat musuh dalam selimut. Terlihat seperti mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan, tetapi secara diam-diam justru yang terjadi saat ini kepentingan golongan yang dikedepankan di atas kepentingan rakyat banyak.
Sistem yang digadang-gadang sebagai sistem yang baik ternyata berbuah busuk. Pemikiran yang disebarkan bukanlah pemikiran yang didasarkan pada akal, tetapi merujuk pada pemuasan hawa nafsu semata. Utang yang tidak ada titik temu merupakan hasil dari sistem ini. Semua serba luar negeri, akhirnya Negara pun tidak bisa melepaskan diri dan membuat ketergantungan utang dengan Negara lain.
Harapannya dengan utang bisa melancarkan segala kebutuhan Negara, justru yang terjadi asset-aset Negara yang menjadi jaminan untuk melunasi utang. Seperti Cina, Indonesia banyak utang ke Cina, jika Indonesia tidak bisa melunasi utang ke Cina yang terjadi bisa saja Cina yang akan mengambil alih Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sistem yang seperti ini lahir atas kehendak manusia, peraturan yang dibuat adalah peraturan dari manusia. Semua dari manusia dan manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas, apabila manusia itu lemah dan terbatas, begitu pula dengan peraturan yang dibuat oleh manusia, semakin lemah yang bertambah-tambah. Yang ingin dicari adalah titik temu dan menyelesaikan masalah, akan tetapi yang didapat bukannya masalah berkurang, masalah akan semakin bertumpuk-tumpuk.
Perlukah Ganti Sistem?
Sistem yang sudah rusak sudah selayaknya diganti. Diganti dengan sistem yang lebih baik lagi, bukan sistem yang lemah. Alhasil, Negara tidak akan ketergantungan utang lagi hingga triliunan rupiah, karena sistem pengganti yang lebih baik ini punya strategi sendiri dalam mengatur dan mengelola tata Negara.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50) [MO]