Ilustrasi |
Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com- Era digital telah merubah pola komunikasi politik, termasuk kampanye politik. Era dimana keterbukaan menjadi syarat mutlak untuk berkomunikasi politik. Era dimana statement politik harus dipertimbangkan ribuan kali, sebelum akhirnya menjadi arsip digital. Dalam era sosmed, muncul adagium "Jejak Sosmed itu Perih Jenderal!".Ya, era sosmed menjadikan informasi politik terarsip secara rapih. Jika ada statement politik yang ambivalen, statement kontroversi, maka Netizen (sebutan lain warganet) dapat dengan mudah melacak arsip politik melalui layanan Simbah Google.
Simbah Google begitu cekatan menyajikan puluhan bahkan ratusan laman kantor berita atau sumber media, yang menyajikan arsip politik yang diinginkan. Era, dimana kliping koran telah digantikan dengan mode screenshot.
Politik era digital, menjadikan konsistensi dan kejujuran sangat mudah dipertanyakan. Pola politik "Esuk Dele Sore Tempe" sangat mudah ditelanjangi publik, sehingga politisi kutu loncat dan pragmatis mudah sekali ketahuan belangnya.
Era dimana spanduk, baliho, poster dan selebaran politik tergantikan oleh meme. Meme menjadi media politik paling ampuh untuk menyampaikan pesan politik. Sebab, meme bisa hadir langsung dari HP ke HP, dari Gadget ke Gadget, dari satu pasang mata ke mata lainnya. Baliho dan spanduk, hanya mampu menjangkau pengguna jalan, bahkan itupun yang kebetulan meliriknya.
Sementara meme bisa menerobos celah jalan, masuk ke dalam setiap rumah, bahkan ketika seorang sedang berasyik ria di toilet, meme bisa menerobos masuk. Sosok yang mungkin terbiasa menyentuh layar persegi panjang saat menunaikan hajatnya di toilet, berpeluang besar dijangkau oleh meme-meme politik.
Realitas politik sosmed ini menimbulkan 2 (dua) problem bagi partai politik.
Pertama, partai akan mengalami kesulitan beradaptasi dalam menggunakan sarana komunikasi politik melalui sosmed. Apapagi, mayoritas partai dipenuhi politisi kolot yang "Gagap Teknologi". Kondisi ini memaksa beberapa petinggi partai bahkan pejabat negara, menyewa komunikator politik sosmed, konsultan IT, agar mereka tidak tertinggal kereta.
Meskipun demikian, karena proses adaptasi dan migrasi teknologi ini tidak terjadi secara alamiah, tidak terjadi secara natural, sering kita temui status sosmed tokoh partai atau pejabat justru menjadi bunder.
Itu ditingkat elit. Ditingkat akar, juga lebih parah. Partai, umumnya dikerumuni massa bukan kader. Partai politik mayoritas adalah partai masa bukan partai kader. Sehingga, anggota partai yang modalnya hanya copy KTP, menggunakan kaos atau jas partai, lebih tidak memahami lagi lika-liku dunia sosmed.
Paling banter, kelompok massa partai ini hanya menjadi follower. Liker atau Sharer. Bukan menawarkan ide partai, bahkan jatuh pada perdebatan murahan seputar dukung mendukung dan hujat menghujat.
Disinilah, jagat sosmed kadang ramai oleh seruan-seruan dungu dari masa partai politik. Mereka jarang sekali menggunakan otak untuk berkomentar, yang paling sering mereka menggunakan sentimen kepartaian untuk mengomentari satu isu politik tertentu.
Kedua, partai akan kesulitan menggarap konten politik. Konten agitasi yang menjadikan publik mengerubuti partai dan memberi dukungan kepada partai.
Era digital, mewajibkan partai harus bersikap jujur dan konsisten. Tidak bisa mencla-mencle, tidak boleh oportunis apalagi pragmatis.
Tetapi realitas politik partai adalah politik pragmatis, politik machiavelli. Pada era Old, Hipokritme politik dan pragmatisme bisa ditutupi partai setelah berkolaborasi dengan media. Kontrol politik, nyaris hanya dilakukan oleh media, sementara media -tidak akan pernah steril- dari kepentingan dan motif ekonomi.
Kolaborasi kepentingan politik partai dan motif ekonomi media, menjadikan partai mampu mengubur bau busuk Hipokritme partai, termasuk mampu memoles citra partai agar anggun dan ayu laksana bidadari.
Era Now, era digital, era sosmed, kontrol politik justru dilakukan oleh jutaan netizen. Para pegiat sosmed, justru lebih sadis menghabisi partai karena mereka murni menyuarakan aspirasi publik, dan bisa dikatakan steril dari kepentingan dan motif ekonomi.
Akhirnya, betapapun tebal bedak citra yang dipoles oleh media, pegiat sosmed melalui penelusuran jejak digital dan langsung menelanjangi aib partai dan tokohnya, kemudian mengabarkannya kepada khalayak.
Contoh saja Ruhut Sitmpul, ketika dia berlagak "Sok" mengoreksi kekuasan, menagih janji politik, netizen mencibir dan membanjirnya dengan meme politik "Potong Kuping" untuk membungkam borok Ruhut.
Ketika PDIP sepakat kenaikan BBM di era Jokowi, netizen menamparnya dengan meme air mata buaya PDIP ketika walk out dari gedung Senayan karena menolak kebijakan kenaikan BBM di era SBY.
Demokrat ketika berbusa meminta Jokowi merevisi UU ormas yang baru disahkan, netizen menamparnya dengan meme politik dukungan Demokrat pada pengesahan Perppu Ormas saat Paripurna.
PPP ketika berujar kampanye mengingatkan bahwa PPP adalah rumah besar Umat Islam, warganet langsung membanjiri dengan komentar PPP mengusung Penista agama dalam gelaran Pilkada DKI Jakarta.
Golkar ketika menyatakan berkomitmen untuk mendukung pemberantasan korupsi, meme laporan detik.com tentang aliran duit e KTP menampar Golkar, karena Setya Novanto yang kala itu ketum Golkar justru tertabrak tiang listrik gegara kasus korupsi e KTP.
Demikianlah, realitas politik sosmed ini akan mampu meruntuhkan ikhtiar politik yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Kondisi ini, kadangkala memaksa partai untuk tiarap, tidak melakukan Ujaran politik. Tetapi ini tentu akan menjadi sangat aneh !
Sebenarnya, realitas ini tidak perlu membikin galau partai politik. Sebab, ungkapan Jawa yang menyebut "BECIK KETITIK OLO KETORO" mampu memandu partai untuk bersikap dalam dinamika politik sosmed.
Hanya saja, kuncinya adalah kejujuran dan konsistensi. Padahal, dua hal itulah yang justru hari ini telah hilang dari partai politik.
Penulis berkeyakinan, politik kepartaian akan segera digeser oleh politik keormasan, karena hari ini publik lebih melihat unsur "KEJUJURAN DAN KONSISTENSI" ada pada ormas, bukan pada partai. Politik keormasan, dalam dunia sosmed, akan menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik.
Sebenarnya urusan ini kecil, sederhana dan sangat mudah, jika saja partai politik mau berkonsultasi pada Nasrudin Joha. Dengan membawa beras putih, gula putih, telur putih, dan rokok gudang garam hijau, urusan kegalauan sosmed yang dialami partai selesai sudah. [MO].