Oleh: Haris Rusly Moti - Aktivis Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)
FRASA copas, dibaca kopas, adalah bahasa gaul di media sosial, singkatan dari copy paste atau salin dan tempel. Copas dilakukan oleh seseorang yang ingin menyalin suatu teks atau dokumen, tanpa diedit terlebih dahulu, dan ditempelkan di media aplikasi lain.
Istilah copas tersebut sengaja kami pakai untuk menggambarkan "sindrom latah" yang mewarnai arah dari pembangunan negara kita sepanjang 20 tahun reformasi, baik itu pembangunan sistem politik maupun pembangunan infrastruktur.
Fakta bahwa elite bangsa kita, baik elite politik, elite intelektual hingga elite aktivis LSM, dipastikan telah terjangkit "sindrom latah", baik latah ideologi dan teori yang di-copas dari negeri barat, latah ekstrimisme beragama yang di-copas dari timur tengah, hingga latah pembangunan infrastruktur yang di-copas dari negeri tirai bambu.
Sebagai contoh adalah pembangunan infrastruktur yang digeber di era Presiden Joko Widodo. Sejak awal kami yakini berpotensi mangkrak dan akan berunjung membebani negara, baik keuangan maupun kedaulatan ekonomi dan politik negara.
Menyusul sebelumnya nasibnya sistem negara era reformasi yang lebih dulu nyungsep. Puluhan tahun merana tak berunjung, yang ditandai oleh benturan antar institusi, tumpang tindih aturan, hingga rusaknya moralitas dan akhlak para elite penyelenggara negara. Kini negara reformasi yang dibanggakan itu dalam tahap menuju ambruk total menjadi artefak dan puing-puing sejarah.
Salah satu diantara puluhan sebab dibaliknya mangkraknya pembangunan infrastruktur dan runtuhnya sistem negara reformasi, lantaran keduanya dibangun ber-basis latah, "sindrom latah", yang menjangkit para pemimpin dan elite bangsa kita.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, "latah" mengandung pengertian diantaranya adalah: "pertama, menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain. Kedua, meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang lain atau bangsa lain".
Mengacu pada pengertian tersebut, maka sindrom latah yang kami maksudkan di dalam catatan ini adalah sebuah “kelainan perilaku sosial” yang dicirikan oleh perilaku mem-beo, ingin meniru atau men-copas setiap kemajuan, baik kemajuan dalam bentuk infrastruktur maupun kemajuan dalam wujud demokrasi yang sedang dicapai oleh bangsa lain.
Bahaya dari sindrom latah yang sedang menjangkit para pemimpin dan elite bangsa kita, diantaranya: Pertama, dapat menyebabkan lahirnya setiap rumusan kebijakan negara yang tanpa didahului oleh riset dan perencanaan yang utuh dan matang.
Kedua, dapat menyebabkan lahirnya setiap kebijakan negara yang tanpa didahului oleh pengkajian terkait kompatibelitas antara satu aspek kebijakan dengan aspek yang lain, baik aspek fisik maupun aspek non fisik.
Tidak kompatibelnya sebuah kebijakan dapat mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan struktural kelembagaan, maupun tumpang tindih fungsi infrastruktur. Terjadi juga kontraksi akibat tidak kompatibelnya struktur negara dengan kultur yang hidup dan melekat di dalam masyarakat.
Akibat yang lebih buruk dari keadaan tersebut adalah saling memangsa (kanibalisme) antara satu lembaga dengan lembaga lain, misalnya saling mangsa antara KPK dengan Polri. Demikian juga saling mangsa antara dua bentuk infrastruktur yang mempunyai kesamaan fungsi dan tujuan, misalnya KRL Jakarta Bogor versus LRT Jakarta Bogor.
Namanya juga sedang mengidap sindrom latah, kita selalu silau dan “lapar mata” ketika melihat, membaca dan mendengar kemajuan demokrasi yang dicapai bangsa barat, atau kemajuan infrastruktur yang dicapai oleh bangsa China.
Kita lalu men-copas model pembangunan infrastruktur di China tersebut untuk dijalankan di negeri kita, tanpa melihat keadaan lingkungan bangsa kita. Sebelumnya kita juga men-copas sistem demokrasi liberal dari barat yang sangat bertentangan dengan sejarah dan tardisi panjang bangsa kita.
Namanya juga sedang latah, kita ingin men-copas seluruh kemajuan yang sedang dicapai oleh bangsa lain untuk dapat kita wujudkan dalam waktu yang sekejap, tanpa mempertimbangkan bahwa setiap kebijakan mesti dijalankan secara bertahap, dengan melihat kemampuan dan kebutuhan.
Namanya juga latah, kita ingin meniru seluruh keberhasilan yang dicapai bangsa lain, tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan, sejarah, budaya dan tradisi yang hidup dan melekat di dalam jiwa dan raga bangsa kita.
Bahaya dari sindrom latah tersebut membuat mata kita menjadi buta, telinga menjadi tuli, untuk tak mau lagi mendengar, melihat dan membaca sebab dari kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain.
Kita menutup mata dan telinga kita untuk tak lagi menengok sejarah panjang, jatuh bangun dari setiap bangsa-bangsa besar dalam mencapai kemajuan peradabannya. Bukankah baik bangsa-bangsa di barat maupun bangsa China menjadi bangsa besar dengan melewati tahap yang panjang dan terjal?
Sindrom latah membuat kita terlihat maniak membangun, tapi kita tak mampu menata. Drama pembangunan infrastruktur terlihat di mana-mana, bangun jalan tol, bangun MRT, LRT, tol laut, dll. tapi tak terlihat adanya penataan. Tata ruang dan kewilayahan kita abaikan, AMDAL yang menjadi syarat dalam setiap pembangunan dibuang ke keranjang sampah.
Sindrom latah membuat kita selalu merasa kekurangan lembaga negara dan kekurangan kewenangan. Kita lalu membangun struktur politik, membuat lembaga baru, menambah tumpukan kewenangan, tapi tak ada penataan dalam sistem bernegara. Akibatnya terjadi tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara lembaga, juga tumpang tindih aturan.
Bayangkan saja jika Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa itu menciptakan manusia, tapi tak disertai oleh seni dalam menata, maka otak yang tempatnya mesti diletakan di dalam batok kepala, bisa saja diletakkan di dengkul. Bayangkan saja jika tempat kita membuang kotoran justru diletakan di wajah kita.
Bukankah untuk membangun rumah saja butuh feng shui dalam penataan tata letak dan tata ruang, agar terjadi harmoni antara manusia dan alam semesta. Demikian juga, bukankah kita juga membutuhkan seni dalam membangun rumah agar terlihat indah, tidak gersang dipandang.
Kenapa untuk membangun bangsa dan negara, membangun sistem negara dan infrastruktur, tak memperhatikan aspek penataan, tak ada feng shui dalam membangun infrastruktur di perkotaan, tak ada sama sekali seni.
Ibu kota negara makin terlihat gersang di era pembangunan infrastruktur, tak ada sama sekali seni. Semakin banyak ruas jalan dibangun di Ibu Kota, tapi kemacetan justru makin parah terjadi, lantaran tak ada penataan, tak mempertimbangkan AMDAL lalulintas dalam setiap pembangunan ruas jalan.
Bukankah penataan dan seni adalah cermin dari kemajuan sebuah peradaban? Sebuah bangsa dikenang peradabannya bukan karena banyaknya pembangunan infrastruktur, tapi dari penataan kota dan seni dalam membangun.
Kembali kepada sindrom latah, jika kita cermati lebih dalam, sesungguhnya adalah cermin dari mentalitas inlander. Kita adalah bangsa yang mengalami krisis kepribadian yang sangat akut, para pemimpinnya tak mampu berpikir mandiri, hingga harus men-copas cara bangsa lain membangun peradabannya.
Ketika kita telah terbiasa meniru bangsa lain, berbuat dan bertingkah laku seperti bangsa lain, maka bangsa kita telah kehilangan daya untuk mencipta, dan jatuh dalam kejumudan menjadi follower peradaban bangsa lain.
Kini kita telah menuai akibat dari ke-latah-an kita men-copas demokrasli leberal dari barat, yaitu ambruknya negara reformasi. Kini kita juga menanti dengan pasti, bakal ambruk nya projek infrastruktur, akibat dari ke-latah-an pemerintahan Joko Widodo dalam men-copas model pembangunan infrastruktur dari China. [IJM]