Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor
“Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) adalah pertaruhan komitmen kita terhadap sistem perdagangan multilateral di kawasan yang saling menguntungkan semua pihak. Saya ulangi, kemitraan yang menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, kita harus kuatkan komitmen untuk menyelesaikan perundingan RCEP di tahun 2018 ini,” katanya.
“Tentu dalam sebuah kesepakatan tidak semua yang kita inginkan dapat kita capai. Inilah sesungguhnya makna dari kerja sama, pendekatan win-win dan bukan zero-sum,” lanjut Presiden. (https://economy.okezone.com/read/2018/03/18/320/1874415/pertemuan-puncak-ktt-presiden-asean-australia-harus-jadi-lokomotif-perdagangan-bebas)
Demikianlah kutipan pernyataan Presiden Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Istimewa ASEAN-Australia 2018, yang digelar di International Convention Centre (ICC), Sydney, Australia.
Selama ini perdagangan bebas selalu dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara yang memiliki modal besar. Dalam kaitannya dengan Indonesia, sebagai negara berkembang senantiasa masih kerap melakukan impor barang dari luar. Kita bisa amati bagaimana Indonesia beberapa waktu lalu mengimpor beras dan garam, ini belum termasuk impor barang-barang lain yang dilakukan pada sebelum-sebelumnya. Dengan tren semacam ini apa yang dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo patut dipertanyakan, bagaimana cara pendekatan win-win dan bukan zero-sum?
Selain itu perdagangan bebas juga menyebabkan lebih kepada dependensi ketimbang interdependensi. Negara-negara maju sudah pasti dapat menghasilkan produk-produk dengan kualitas yang baik yang tidak dapat diproduksi oleh negara-negara berkembang. Ini menyebabkan barang-barang dalam negeri kalah bersaing dengan produk luar. Artinya, masyarakat Indonesia akan lebih menjadi masyarakat konsumtif atau setidaknya sebagai reseller barang-barang luar daripada menjadi produsen produk sendiri. Sekali lagi keuntungan besar akan senantiasa diraih perusahaan-perusahaan asing.
Berikutnya, liberalisasi pada sektor-sektor SDA akan semakin terbuka lebar. Telah menjadi rahasia umum bagaimana perusahaan-perusahaan asing mendominasi pengelolaan SDA dalam negeri, terutama pada komoditas strategis semacam sektor energi. Maka, bisa dipastikan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang hidup di negara berkembang justru akan semakin merasakan mahalnya kebutuhan pokok akibat adanya liberalisasi tersebut.
Lagipula, seharusnya kita memahami secara seksama. Konsep perdagangan pasar bebas hanyalah strategi dari perusahaan-perusahaan asing (negara asing) sebagai wujud pengembangan perekonomian mereka. Selain itu, juga semakin mengokohkan penjajahan mereka atas negara-negara miskin dan berkembang. Apakah Indonesia tidak memahami dan belajar dari hal tersebut? [IJM]