Ilustrasi |
Oleh: Siti Hariati Hastuti
Mahasiswi Tingkat Akhir, Universitas Brawijaya
Tim Penulis Pena Langit.
Mediaoposisi.com- Mungkin jika kita berbicara mengenai pembangunan yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah hari ini, tidak bisa dilepaskan pembahasannya dari apa yang disebut sebagai ‘Utang Luar Negeri’.
Utang dianggap dapat mensolusikan terkait modal pembangunan yang tidak mampu untuk dipenuhi negara, sehingga alternatif kebijakan yang diambil adalah dengan melakukan pinjaman luar negeri. Kebijakan Utang luar negeri (ULN) ini memang sudah lama dilakukan, bahkan sejak awal berdirinya bangsa Indonesia.
Dikatakan oleh Dani Setiawan, Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) dalam merdeka.com (9/7/2013), Indonesia telah mewarisi utang dari zaman Presiden Soekarno sebesar USD 2,3 miliar, di mana jumlah ini di luar utang yang diwariskan dari Hindia Belanda.
Ini menunjukkan bahwa ULN memang menjadi tradisi yang sudah sejak lama dilakukan, dan kian hari semakin sulit untuk terlepas darinya.
Indonesia tercatat per akhir Januari 2018 memiliki ULN sebesar USD 357,5 miliar atau setara dengan Rp 5.107,14 triliun (Merdeka.com, 15/3/2018). Angka ini dikatakan tumbuh lebih dari 10% dan diperkirakan kedepannya akan terus meningkat.
Tentu saja, peningkatan ini akan semakin membuat Indonesia tenggelam dalam ULN yang tak kunjung dapat dilunasi, ditambah dengan adanya bunga pinjaman yang juga nilainya akan bertambah seiring dengan peningkatan utang pokok.
Lalu Sebenarnya, Bisakah Indonesia Melakukan Pembangunan Negara Tanpa Adanya ULN?
Bagi negara yang berkacamata dengan sistem Demokrasi Kapitalis hari ini, sepertinya akan sulit untuk membayangkan pembangunan tanpa adanya ULN. Ini memang adalah sebuah doktrin yang ditanamkan bagi mereka yang menganut sistem ini.
Bahwasanya, suatu pembangunan yang tinggi dan cepat tidak akan mungkin terealisasi hanya dengan mengandalkan penerimaan negara tanpa adanya biaya yang ditutupi dari ULN. Sayangnya, lagi-lagi dalam sistem hari ini yang semua serba Kapitalis, ULN tidak diperoleh secara percuma, melainkan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan oleh negara peminjam kepada pemberi pinjaman.
Hal ini yang mengakibatkan suatu negara menjadi tak mandiri, seolah-olah disetir karena adanya kontrak dengan pihak-pihak yang berkepentingan tadi.
Ini juga seperti yang dijelaskan oleh Rayla Prajnariswari dalam sebuah artikel yang berjudul ‘Jebakan Utang Luar Negeri (Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia)’ yang dipublikasikan di laman resmi Universitas Airlangga tahun 2014, ia menuliskan bahwa ketika Indonesia meminta bantuan dana kepada IMF untuk menghadapi krisis 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam letter of intent (LoI), terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Dengan demikian, melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan dan dijajah oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Maka inilah buah cinta yang dihasilkan dari sistem demokrasi-kapiitalis, di mana ULN merupakan alat menjajah gaya baru bagi negara-negara berkembang untuk mereka meraih keuntungan yang lebih besar. Dan keadaan ini akan senantiasa berjalan bahkan akan semakin kuat cengkramannya apabila Indonesia dan negara-negara tadi tidak berlepas dari sistem yang mengikat mereka.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, Indonesia sesungguhnya mampu untuk membiayai pembangunan negara, asal sistem yang digunakan sesuai. Dalam sistem hari ini yang menaungi Indonesia, sangat kental dengan praktik dari sistem Demokrasi-Kapitalis.
Di mana dalam sistem tersebut kekuasaan layaknya dipegang oleh pimilik kapital (modal), dan dengan kapital tersebut mereka mampu untuk mengendalikan sebuah negara, termasuk Indonesia. Ini pula yang mengakibatkan kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah -dan mampu untuk membiayai modal pembangunan negara- dijarah habis oleh para kapital tersebut.
Jika menilik dalam Islam, telah ada solusi untuk mengatasi penjajahan bermodus hutang tadi. Dalam penerapan ekonomi Islam, tidak dibiarkan suatu negara untuk berhutang kepada negara asing apalagi dalam jumlah yang sangat besar, karena hal ini akan mengakibatkan ketidakmandirian negara.
Adapun terkait pembiayaan pembangunan, maka Islam pun juga telah mengatur hal tersebut. Secara umum, pembiyaan pembangunan diambil dari pendapatan negara yang diperoleh dari beberapa pos, salah satunya adalah pos pengelolaan kepemilikan umum.
Kepemilikan umum seperti sumber daya alam tidak boleh untuk dikelola oleh pihak individu maupun asing, melainkan oleh negara. Kemudian hasil pengelolaan tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang dibangun oleh negara.
Hal di atas baru dari pos pengelolaan kepemilikan umum. Terdapat juga sumber pendapatan negara yang lain berupa fa’i, kharaj, ghanimah, jiryah, dan harta zakat. Dan jika diakumulasikan semua pendapatan ini, sudah lebih dari cukup untuk membiayai seluruh pembangunan negara.
Hanya saja, pendapatan-pendapatan tersebut tidak mungkin diperoleh dengan menerapkan sistem yang ada sekarang, karena asas yang digunakan sudah berbeda. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara sempurna hanya mampu dibawah sistem pemerintahan Islam pula, karena ia saling terkait satu sama lain.
Tidak bisa hanya menerapkan ekonomi Islam sedangkan sistem pemerintahannya adalah demokrasi-kapitalis, karena keduanya bertentangan secara asas. Oleh karena itu, solusi tadi hanya mampu ditempuh dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam dalam sebuah naungan institusi yang menjamin penerapan Islam secara keseluruhan. [MO/br]