Penolakan terhadap Ustadz Abdul Somad untuk berceramah yang mengemuka ke publik terjadi tiga kali. Semua itu terjadi di Bali, Hongkong dan kantor PLN Disjaya, Jakarta. Kasus penolakan ini dianggap sebuah kemunduran dalam berdemokrasi dan berkumpul untuk di Indonesia. Padahal undang-undang telah melindungi masyarakatnya untuk berkumpul
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid, kejadian itu seperti era awal Orde Baru antara 1960-1970. "Zaman ada Pangkopkamtib yang membatasi ceramah dan khutbah," ujarnya melalui pesan singkat yang diterima JawaPos.com (INDOPOS.CO.ID Grup), Minggu (31/12).
Di era tersebut, ada pembatasan-pembatasan yang kuat dan represif. Hal itu hampir sama dialami Ustadz Abdul Somad belakangan ini. "Dalilnya juga sama dan klise, merongrong ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI," singung Sodik.
Dia berpendapat, hal tersebut merupakan kemunduran bagi bangsa Indonesia yang sudah menembus era reformasi. "Kemunduran yang luar biasa dari sisi HAM, sisi kemerdekaan berpendapat," tegas politikus Partai Gerindra itu.
Sodik menyinggung bahwa dahulu partai dan umat Islam, terutama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) banyak yang menjadi korban. Namun kini sebaliknya.
"Ketika PDIP berkuasa mereka melakukan apa yang dikerjakan lawannya dulu. Indonesia berputar bahkan mundur ke belakang, bukan maju ke depan," pungkas Sodik.
Sekadar informasi, pada Desember 2017, Ustadz Somad mengalami tiga kali penolakan ketika ingin berkhutbah. Awal Desember 2017 sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) menolak kedatangan Ustadz Abdul Somad di Bali.
Selepas itu, pada 27 Desember 2017, dia kedatangannya kembli ditolak. Bukan di Indonesia, melainkan pemerintah Hongkong. Ustadz Abdul Somad dideportasi dari sana.
Terakhir, ceramahnya di Masjid Nurul Fatah Kompleks PLN, Gambir, Jakarta Pusat, pada 28 Desember 2107 pun batal. Alasannya, PLN pusat tidak memberikan izin. (jpg)