Tokoh dalam aksi 2 Desember 2016 atau alumni 212, Muhammad Al Khathath, menanggapi koalisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Menurut Khaththath, koalisi antarpartai politik yang berbeda ideologi masih boleh asalkan calon kepala daerah yang diusung tetap mengedepankan nilai Islam.
“Kalau koalisi di pilkada lebih ke figur. Jadi, kalau figurnya punya keberpihakan dengan umat Islam, pertimbangan soal partai bisa dijadikan nomor dua,” katanya di Hotel Sofyan Inn Tebet, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Januari 2018.
Partai Gerindra dan PKS resmi berkoalisi dengan PDIP mendukung Saifullah Yusuf atau Gus Ipul sebagai calon gubernur. Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera mengatakan hubungan antara partainya dengan Gus Ipul telah terjalin sejak lama sebelum pemilihan kepala daerah.
Bahkan, kata dia, hubungan dengan Gus Ipul terjalin sebelum PDIP mendeklarasikan dukungannya. "Dengan Gus Ipul, PKS sudah lama berhubungan, harmonis. Belakangan, PDIP masuk, monggo," ujarnya.
Calon Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf, akan menantang pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, yang diusung Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai NasDem. Bergabungnya PKS dengan koalisi pendukung Gus Ipul meninggalkan rencana koalisi poros tengah, yang digagas Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Dalam pilkada 2018, alumni 212 diketahui mendukung empat partai politik, yaitu PAN, Gerindra, Partai Bulan Bintang, dan PKS. Selain dukungan untuk pilkada serentak, alumni 212 membentuk Garda 212 sebagai lembaga penyalur calon anggota legislatif.
Pengamat politik, Ubedilah Badrun, mengatakan koalisi antara partai Islam dengan partai sekuler terjadi karena partai Islam di Indonesia tidak sepenuhnya merepresentasikan ideologi Islam. Menurut Ubedilah, persoalan paradigma Islam menjadi masalah mendasar bagi partai Islam di samping kekurangan dana jika tidak berkoalisi. “Tidak ada musuh abadi dalam partai, yang ada hanya kepentingan abadi, maka partai Islam di Indonesia menjadi pragmatis,” ujarnya.
tempo/Jossss
tempo/Jossss